Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 6
"Mereka itu tidak sendirian, mereka saling mempunyai, sedangkan aku cuma memiliki dirimu." Kalimat itu terngiang ngiang dalam kepala Jeane. Ya, Edgar hanya memiliki dirinya dan kawin lari agaknya menjadi satu satunya pilihan bagi Jeane. Selama ini ke dua orang tuanya, terutama ayahnya tidak pernah setuju menerima Edgar sebagai calon menantunya. Ibunya juga sama, walaupun dikemas dengan kalimat yang lebih lembut.
Edgar menarik tangan Jeane sehingga gadis itu duduk di atas lututnya, kemudian tangan pria itu memegang pinggangnya.
"Pergilah denganku, Jeane," Edgar berkata dengan nada memerintah, kembali menjadi Edgar yang asli.
"Ya," penerimaan Jeane tidak memerlukan penjelasan.
Ke dua tangan Edgar yang berada di punggungnya, menarik tubuh Jeane condong ke depan. Mulut pria itu mencium Jeane dengan sebuah ciuman penuh gairah. Jeane merasakan dan menjadi hangat dengan cumbuan itu, kehangatan itu menjalar dan mengalir dalam pembuluh pembuluh darahnya. Belum pernah ia berkencan dengan seseorang yang sepandai Edgar dalam membangkitkan gairahnya.
Ketika bibir pria itu menjelajahi pipi, mata, lalu mengikuti lengkungan indah keningnya dan kulit peka di bawah daun telinganya, perasaan Jeane menjadi gaduh karenanya, menjadi mabok. Dengan sedikit memutar badan Jeane, Edgar menekan Jeane ke belakang sehingga kepala Jeane bersarang di atas bantal, sedangkan belaian tangannya merambat naik dan membangkitkan nafsu dalam diri gadis itu..
Ketika Jeane merasakan jari jari tangan pria itu melepaskan sebuah kancing kemeja tidurnya, Jeane menyadari bahwa ia sedang kehilangan kontrol atas dirinya. Tempat tidur besar yang nyaman itu merupakan tempat yang sangat akrab untuk memenuhi dorongan nafsu.
"Jangan, Ed," protes Jeane, mencoba menghentikan pria itu.
"Ya," pria itu menjawab tapi tidak menghiraukan tangan Jeane yang mencoba menghalangi dilepaskannya sisa kancing yang masih terpasang. Edgar mengangkat kepala dan memandang pada Jeane, gelora nafsu tampak jelas dalam matanya. "Aku benar benar menginginkan dirimu, Jeane, memiliki dirimu selengkapnya. Tidak lama lagi," bisiknya.
Sambil berkata dalam bisik bisik rayuan dan bujukan itu, tangan pria itu bergerak nakal ke balik kemeja tidur yang selembut satin, membuat gejolak darah Jeane meningkat dengan cepat. Ya, ia tidak dapat lagi mengendalikan dagingnya sendiri.
"Jangan," dengan sia sia ia mencoba menghalangi tangan pria itu, bertolak belakang dengan nafsunya. Ada sesuatu dalam diinya yang menghendaki pelepasan.
"Jangan menolakku, manis," mulut pria itu kembali mencium bibir Jeane. "Tubuhmu begini indah, begini padat.. Aku ingin menyentuh, melihatnya dan mengetahui bahwa sebentar lagi tubuh indah ini hanya akan menjadi milikku seorang."
Kemeja tidur Jeane sudah teronggok ke satu sisi. Belaian pria itu seperti melucuti dirinya dari segala kemauan. Jeane mengerang, ia tidak mampu lagi menyatakan perlawanannya. Sentuhan Edgar benar benar menjadikan panca inderanya bergolak liar dan tak terkontrol.
"Kau menyukai itu, manis?" mata Edgar melihat Jeane dan bibirnya tersenyum puas, melihat demam yang memerahkan pipi Jeane.
"Ya, ya," Jeane berbisik dalam siksaan gairah. Kepalanya berputar putar di atas bantal ketika Edgar menciumi tubuhnya dengan penuh gejolak nafsu. Hal itu berlangsung beberapa lama, membawa Jeane ke dalam siksaan nafsunya sendiri, sebelum secara tiba tiba Edgar menarik kepalanya, bernapas memburu, dan tampak suatu kemarahan bersinar di matanya.
"Ah, seharusnya kuselesaikan permainan ini," katanya dengan suara serak. "Di sini. di tempat tidurmu, tepat di depan mata ayahmu. Itu setimpal sekali baginya."
Tangan pria itu meluncur turun dan menemukan lingkaran pinggang celana dalam Jeane.
"Ed, jangan." Kali ini Jeane menolak dengan tegas. Sorotan mata Edgar membuat Jeane memprotes dengan sungguh sungguh.
Edgar tertawa serak. "Aku tidak berniat menidurimu.... sebelum kau sendiri yang memintanya. Ingat?" Edgar menarik tubuhnya dari atas tubuh Jeane. "Lagipula kalaupun aku memiliki tubuhmu sekarang, aku belum akan yakin selama kau belum menikah denganku. Apakah kau mempunyai gaun putih untuk kau pakai pada upacaranya, Jeane ku yang perawan?"
Jeane merasa ketegangannya mengendor, tidak merasa terancam lagi. "Aku mempunyai gaun putih. Hanya agak terlalu mencolok untuk musim panas."
"Kita tidak akan terlalu menghiraukan tentang mode." Edgar mencium pipi gadis itu dan bergulir dari atas tubuh Jeane untuk berbaring di sampingnya. Dengan malu Jeane memakai kembali kemeja tidurnya. Di satu sisi ia kecewa karena gejolak nafsu yang dibangkitkan oleh Edgar tidak menemukan pemuasan, tetapi di sisi yang lain ia bersyukur karena Edgar tidak sampai menodai kesuciannya sebelum mereka menikah.
"Kau mau kan menikah denganku besok?" Eh tidak besok kukira, karena ini sudah pagi. Besoknya besok."
"Tidak ada orang yang dapat menghalangiku," bisik Jeane dengan tersenyum.
"Aku telah bertanya tanya dan mencari keterangan untuk kita, ketika masih bertugas. Yang kita perlukan untuk menikah di Spanyol hanyalah identitas diri dan visa turis."
"Soal identitas, aku punya banyak," kata Jeane. "SIM, pasport, kartu mahasiswa. Ya kita akan berbahagia bersama," Jeane menghela napas dan meletakkan kepalanya pada lengan pria itu. Ia merasa tenteram ketika Edgar melingkarkan tangan dan memeluknya sambil berbaring bersisian. "Aku yakin kita akan berbahagia."
"Sebelum itu menjadi kenyataan, kita harus menikah. Dan itu berarti kita harus membuat rencana." Sambil berkata demikian, Edgar bangkit dan duduk di atas pinggiran tempat tidur. Dengan enggan, Jeane juga berbuat serupa.
"Lalu bagaimana rencananya?" Jeane bertanya, yakin bahwa pacarnya itu telah memikirkan segalanya.