Diselingkuhi sedih? Sudah tidak jaman! Angkat kepalamu, gadis, mari kita balas dendam.
Betari diselingkuhi oleh kekasih yang dia pacari selama tiga tahun. Alih-alih menangis, dia merencanakan balas dendam. Mantan pacarnya punya ayah duda yang usianya masih cukup muda. Tampan, mapan, dan kelihatannya lebih bertanggungjawab. Jadi, Betari pikir, kalau dia tidak dapat anaknya, dia akan coba merebut ayahnya.
Namun ditengah misi balas dendamnya, Betari justru dikejutkan oleh semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demam Cinta
Matahari belum muncul waktu Melvis kembali ke kamar. Semalam dia tidur di ruang kerja karena tidak yakin bisa tidur di samping Betari dengan dada yang bergemuruh.
Di ranjang, Betari masih meringkuk dalam balutan selimut. Melvis tidak bisa melihat seperti apa ekspresi wajah lelap Betari dari ambang pintu, tetapi dia cukup keheranan karena tidak biasanya istrinya itu belum bangun jam segini.
Setelah menutup pintu pelan-pelan, Melvis mengendap mendekat. Mulanya dia tidak ingin mengusik tidur Betari. Dia hanya akan bersiap-siap berangkat kerja dengan gerakan yang seminim mungkin menimbulkan distraksi. Tetapi saat tiba di sisi ranjang, dia menyadari wajah Betari pucat dan mengeluarkan terlalu banyak keringat.
Melvis membungkuk, lalu mengulurkan tangannya menyentuh dahi Betari. Benar saja, Betari demam.
“Be,” Pelan, dia menyibakkan poni yang menutupi dahi Betari. Makin terlihat jelaslah dahi perempuan itu berkerut gelisah seperti sedang menahan sakit dalam tidurnya.
“Be, kamu demam.” Melvis membelai pelan pipi Betari, bermaksud membangunkan istrinya untuk tahu bahwa Betari setidaknya bisa merespons ucapannya.
Betari menggeliat pelan dan terdengar rintihan kecil. Matanya terbuka perlahan, tampak lelah dan sayu.
"Hng... morning om. Ijin bangun siang ya." Suara Betari serak-serak berat.
"Morning juga, Be. Kamu demam." ulang Melvis. Dia duduk di tepi kasur, makin memperhatikan wajah pucat Betari. “Ke dokter yuk.”
Betari menggeleng lemah. “Aku nggak apa-apa, ini biasa terjadi di hari kedua siklus.” ucap perempuan itu, suaranya teramat pelan.
“Nggak apa gimana, kamu demam, muka kamu juga pucat banget.”
Biasanya nggak sampai demam, paling perut kaya di tusuk-tusuk doang. Ini kenapa demam ya? Apa karena abis di cium-cium sama Om Melvis? Gelinya itu emang nggak bikin nggak bisa tidur sih.
"Be,"
"Hng...iya om. Saya cuma butuh paracetamol sama pembalut aja kok."
Melvis tak menginginkan penolakan, jadi dia langsung menggotong tubuh Betari dari kasur, menggendongnya ala bridal style.
“Kita ke rumah sakit, ” finalnya.
Betari tidak lagi punya tenaga untuk menolak, jadi dia pasrah saja mengalungkan kedua lengannya di leher Melvis. Lelaki itu mengayunkan langkahnya lebar, terburu-buru menuruni tangga.
“Pak Hadi!” seru Melvis begitu tiba di lantai bawah.
Sang sopir yang dipanggil namanya muncul dari arah dapur setelah panggilan yang ke-tiga. Tergopoh-gopoh sambil sibuk mengancingkan seragam hitamnya.
“Tolong antar ke rumah sakit,” pintanya.
“Baik, Pak.” Pak Hadi dengan sigap berlari ke depan. Melesat cepat seperti kilatan cahaya.
Melvis mengekor tanpa kesusahan. Tubuh Betari hanya terasa seperti buntelan kapas di gendongannya—ringan. Terlebih dalam keadaan panik seperti sekarang.
Di mobil, Melvis memangku tubuh Betari, membiarkan perempuan itu mengistirahatkan kepala di dadanya, sambil dia peluk dan diusap-usap lembut kepalanya. Ada dua rasa yang bercampur aduk sekarang. Rasa lega karena omongan Nando yang berputar-putar dikepala terhempas, sebab Betari tidak sedang mencari-cari alasan. Juga rasa panik karena kondisi Betari yang tidak baik-baik saja.
Pak Hadi di balik kemudi menjalankan mobil cukup kencang, namun tidak sembarangan. Tidak asal banting setir atau serobot kiri-kanan. Terima kasih pada kondisi jalanan yang masih cukup lengang.
Dua puluh menit berkendara, mobil tiba di depan pintu masuk UGD salah satu rumah sakit swasta kepercayaan keluarga Melvis. Lelaki itu terburu turun dan melangkah lebar. Tidak memerlukan waktu lama sampai Betari ditangani oleh dokter jaga. Dibaringkan di ranjang selagi Melvis menunggu diagnosa selesai dilakukan.
Melvis berdiri gugup, berkali-kali mengusap dagunya dalam kecemasan yang kentara. Pak Hadi standby di mobil in case mereka perlu segera pergi ke tempat lain lagi.
Masih sedang menunggu Betari diperiksa, sebuah panggilan masuk menginterupsi. Melvis merogoh saku celana tidurnya, menemukan nama Nando terpampang di layar.
“Halo?” sapanya setelah menggeser log hijau.
“Papa pergi ke mana pagi-pagi begini? Tadi Nando denger suara mobil.”
“Rumah sakit,” sahut Melvis cepat.
“Papa sakit? Pusingnya kumat?” Nando kedengaran panik. Beberapa waktu terakhir, anak itu tahu Melvis sering mengeluhkan sakit kepala.
“Bukan,” jawab Melvis. “Betari demam, sekarang lagi ditangani di UGD.”
Terdengar ohh panjang yang seakan tak berkesudahan. Sehabis itu, tak ada lagi pertanyaan dari Nando. Entah anak itu tak tahu harus bertanya apa, atau hanya sesederhana bahwa ia tidak peduli pada Betari.
“Kamu cuma mau tanya itu aja? Atau ada yang perlu diomongin lagi?” tanya Melvis setelah hening yang terlalu lama.
“Nggak ada. Nando cuma khawatir Papa kenapa-kenapa karena pergi pagi-pagi banget.”
“Kalau gitu Papa tutup teleponnya.” Tak menunggu dijawab, Melvis memutuskan sambungan sesuka hati. Bertepatan dengan selesainya pemeriksaan Betari. Dalam sekejap dia jadi fokus pada keadaan istrinya alih-alih pada Nando.
“Gimana, Dok?”
...*******...
Hening langsung menyergap ketika sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Melvis. Nando memandang ponselnya sebentar, lalu menyakuinya lagi dan kembali fokus memandang ke luar jendela kamarnya.
Dia baru bangun ketika tak sengaja mendengar suara deru mobil keluar dari garasi rumahnya. Tidak ada waktu untuk melihat siapa saja yang ada di dalamnya karena mobil ayahnya itu sudah terlanjut melaju keluar gerbang.
“Kamu ngapain berdiri di situ, Sayang?”
Nando menoleh sekilas, tersenyum sekenanya pada Andara yang tampak mengucek kedua matanya dan berusaha turun dari kasur.
“Nggak apa, cuma tadi denger suara mobil Papa keluar makanya aku cek.”
Wajah Andara mendadak segar, kantuknya menghilang. “Papa pergi ke mana sepagi ini?” tanyanya penasaran.
“Rumah sakit.”
Andara menutup mulutnya, melebih-lebihkan keterkejutan. “Papa sakit apa, Sayang? Jangan-jangan syok sehabis kamu ajak ngobrol semalam ya?” cerocosnya sok tahu. Senyumnya terselip samar-samar, Nando tidak akan menyadarinya.
“Bukan Papa yang sakit.”
“Oh?” Andara menurunkan kembali tangan dari mulutnya, lalu menurunkan kedua kakinya dari kasur, duduk di pinggiran. “Terus?”
“Betari.”
Ah… lagi-lagi Betari.
“Ya ampun!” Lagi-lagi heboh seperti habis melihat penampakan. Kepalanya ribut mengambil ponsel, mengubek-ngubek isi di dalamnya, lalu kembali menatap Nando dengan sorot mata prihatin. “Pasti dia lagi dapet, Sayang.”
Nando menaikkan sebelah alis. “Dapet apa?” tanyanya tak mengerti.
“Menstruasi,” jelas Andara. Dia meletakkan lagi ponselnya di atas nakas, menyetel wajahnya ke image ibu peri baik hati dan penuh pemakluman. “Dia suka keram perut kalau hari-hari awal datang bulan. Pasti yang sekarang juga begitu, makanya Papa sampai bawa dia ke rumah sakit karena baru tahu. Siklus Betari emang nggak teratur, kadang suka mundur. Jadi, mungkin ini baru pertama kalinya Papa nanganin Betari, langsung panik."
Benarkah begitu? Tapi selama berpacaran, Nando tidak tahu bahwa Betari sampai kesakitan begitu setiap datang bulan. Paling mendadak mood swing dan suka hilang-hilangan saja—sulit dihubungi.
“Apa Papa langsung konfrontasi dia ya semalam? Soalnya sakitnya bisa parah kalau dia lagi stres banget,” celoteh Andara. Memanfaatkan segala hal yang dia tahu soal mantan sahabatnya itu.
Nando terlihat merenung sejenak. Satu sisi kepalanya mulai agak khawatir pada Betari, tapi di sisi yang lain keinginannya untuk mengamankan posisi membuatnya menenggelamkan rasa ibanya pada Betari begitu saja.
“Bukannya malah bagus kalau Papa langsung konfrontasi? Berarti kan omongan aku dipercaya?”
Andara manggut-manggut, tapi wajahnya masih sendu. “Tapi aku harap hubungan Papa sama Betari bisa berakhir tanpa terlalu banyak konflik. Fokus kita kan menyelamatkan Papa dan keluarga kecil kita. Aku juga nggak mau kalau sampai harus lihat Betari sakit begini.” Lagaknya sudah seperti makhluk paling suci sedunia.
Belum juga Nando sempat menyahut, Andara sudah melancarkan amunisi selanjutnya. Dia memegangi perutnya sambil merintih kecil, membuat pikiran Nando buyar seketika dan langsung fokus padanya.
“Kenapa hey?” tanya Nando panik. Secepat kilat dia sudah berada di samping Andara, menangkup kedua bahunya.
“Perut aku tiba-tiba sakit. Kayaknya gara-gara kepikiran soal Betari,” cicitnya.
“Nggak usah pikirin soal dia. Biar nanti aku yang urus, kamu fokus aja sama anak kita.”
Andara mengangguk lemah, lalu menghambur ke pelukan Nando.
“Jangan terlalu keras, ya. Aku mau menyelamatkan keluarga kita tanpa melukai siapa pun.” Dia berbisik lemah, tapi Nando tidak akan tahu kalau senyumnya merekah.
.
.
.
Bersambung.
Betari yang bisa menguasai dirinya sendiri.
Om Durenku-Melvis yang bijak dalam menghadapi masalah dan bersikap adil meski itu ke anak sendiri..
dan perubahan positif Nando Andara...
aku menantikan karya luar biasamu yang lain kak.. semamgat berkarya😘😘🥰🥰❤️❤️❤️❤️
di tunggu cerita2 lain na...