Mursyidah Awaliyah adalah seorang TKW yang sudah lima tahun bekerja di luar negeri dan memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Tanpa dia tahu ternyata suaminya menikah lagi diam-diam dengan mantan kekasihnya di masa sekolah. Suami Mursyidah membawa istri mudanya itu tinggal di rumah yang dibangun dari uang gaji Mursyidah dan bahkan semua biaya hidup suaminya dan juga istrinya itu dari gaji Mursyidah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENENANGKAN DIRI
Aini dan Mbok Walijah duduk terdiam membiarkan Mursyidah yang masih larut dengan amarah dan juga kesedihannya. Wanita itu sudah tidak meraung lagi, yang terdengar hanya isak yang sesekali menggema dalam ruang tamu yang sepi itu. Lebih dari satu jam Mursyidah menangis meratapi nasib pernikahannya. Wanita itu bahkan sempat melempar beberapa barang yang ada di dekatnya. Entah pada siapa amarahnya dia tumpahkan. Untung saja rumah mereka jauh dari rumah yang lainnya hingga tetangga tidak perlu mendengar teraikan dan suara barang yang dibanting.
Sekarang Mursyidah terkulai lemah di atas tikar pandan yang ada di lantai, diam tidak bersuara.
Pandangannya yang kosong jauh menerawang. Kembali teringat olehnya beberapa bulan yang lalu saat menelepon dengan suaminya itu. Saat itu Mursyidah mengatakan sudah tidak sabar untuk pulang karena kontrak kerjanya yang akan segera berakhir.
[Sebaiknya tidak usah pulang dek, perpanjang saja kontrakmu di sana]
"Tapi aku kangen mas, sudah lebih empat tahun loh mas kita berpisah. Apa kamu nggak kangen sama aku?" tanya Mursyidah kala itu.
[Ya kangen lah dek, tapi kan kita masih perlu banyak uang untuk renovasi rumah dan juga biaya pesantren Amar. Mas udah terlanjur memasukkan Amar ke pesantren. Lima tahun lagi saja dek kamu di sana, uangnya akan mas tabung untuk modal usaha kita nanti]
Air mata Mursyidah kembali berderai saat teringat semua itu. Begitu kerasnya suaminya itu melarangnya untuk pulang. Ternyata ini jawabannya, dia sudah punya wanita lain dan dia membawa wanita itu tinggal di rumah mereka. Sakit rasanya hati Mursyidah membayangkan semuanya, membayangkan uang yang dia kirimkan selama ini dipakai untuk menikah lagi oleh suaminya dan menghidupi istri barunya.
Mursyidah bangun dari tidurnya dan menarik napas panjang. Dilihatnya Mbok walijah yang duduk di sebelahnya dan Aini yang duduk di ujung kakinya. Adiknya itu tadi sibuk memijit-mijit ujung kaki Mursyidah saat tengah menangis.
"Aini, mbok... ayo kita ke sana sekarang!" ajak Mursyidah tiba-tiba. Mata sembabnya memandang lemah pada Aini dan Mbok Walijah.
"Aliyah... nduk, tenangkan dulu dirimu, nanti kalau sudah tenang baru kamu datang ke sana. Kalau kamu ke sana sekarang hatimu akan bertambah sakit, apalagi kalau bertemu istri suamimu itu. Nanti di sana kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri terlebih lagi kalau dia lebih memilih melindungi istrinya itu. Sekarang hapus dulu air matamu, jangan kamu buang air matamu sia-sia. Tidak perlu menangisi lelaki pengkhianat itu," nasihat Mbok walijah sambil menahan tangan Mursyidah saat wanita itu akan berdiri.
"Hatiku sakit mbok, sakiiit!"
Mursyidah menepuk dadanya beberapa kali. Ada sesuatu yang perih di sana dan susah dia ungkapkan.
Setiap detak jantungnya terasa sakit, seperti ada beban berat yang menekan dadanya. Dalam diamnya air matanya seperti tidak mau berkompromi terus saja mengalir tanpa suara seolah mengungkapkan betapa besarnya rasa sakit yang dirasakannya.
"Mbok tau nduk... mbok juga pernah merasakan apa yang kamu rasakan sekarang. Tidak ada yang patut kamu sesalkan. Mulai sekarang pikirkan baik-baik apa yang harus kamu lakukan ke depannya. Apakah kamu mau berpisah atau tetap bersama suamimu itu dan menerima pernikahannya dengan istri barunya itu?"
"Emoh! Aku nggak sudi mbok. Aku akan buat dia menyesal karena sudah mengkhianati aku!"
Dengan mata yang masih merah karena menangis, Mursyidah menatap jauh ke depan dengan tatapan yang tajam dan penuh kebencian. Wajahnya terlihat keras, bibirnya terkatup rapat menahan amarah dan sakit hati yang mendalam. Ada tekad kuat dibalik tatapannya, seolah dia telah siap untuk menghadapi apapun yang akan terjadi, dengan satu tujuan: membuat suaminya menyesali keputusannya.
Mursyidah mengatur napasnya, setiap detak jantungnya seakan menguatkan niatnya untuk membalas pengkhiatan yang telah dilakukan terhadapnya. Kini, dia bukan lagi wanita yang terluka dan lemah, tapi seseorang yang termotivasi untuk mengambil kendali dan menunjukkan kekuatannya. Tatapan Mursyidah berbicara banyak, seolah mengatakan, "Kamu akan menyesali apa yang telah kamu lakukan padaku!"
Mursyidah dan Aini berdiri di depan sebuah pesantren. Setelah puas seharian kemarin menangis dan meratapi nasibnya -Catat! Meratapi nasibnya, bukan meratapi pernikahan suaminya!- hari ini Mursyidah memutuskan untuk mengunjungi Amar, anaknya satu-satunya yang sudah sangat dia rindukan sekaligus juga untuk menenangkan dirinya. Mudah-mudahan saja setelah bertemu anaknya, hatinya bisa merasa lebih tenang.
"Waalaikumsalam Mbak Aini," jawab penjaga saat membukakan gerbang. "Mbak Aini mau menengok Amar?" tanyanya kemudian. Aini cepat mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Setelah beberapa saat berjalan mereka masuk ke sebuah ruang yang besar, di sana juga ada beberapa orangtua yang juga ingin bertemu dengan anaknya. Mursyidah dan Aini duduk menunggu Amar yang di jemput oleh pekerja di pesantren tersebut.
Seorang bocah lelaki delapan tahun yang memakai baju koko warna putih berjalan mendekat. Bocah tampan itu melambaikan tangan dan tersenyum ke arah Aini. Mursyidah meneguk salivanya saat anaknya itu tidak mengenalinya. Dulu, dia meninggalkan Amar ketika anaknya itu masih berumur tiga tahun. Meskipun mereka ada beberapa kali melakukan panggilan video, tapi tetap saja Mursyidah pangling pada anaknya itu. Demikian pula dengan Amar, pria kecil itu sama sekali tidak mengenali Mursyidah.
"Bulik..." sapa Amar, lalu menyalami Aini.
"Kenapa bulik lama nggak ke sini?" tanya Amar
Kemudian sambil memeluk erat adik ibunya tersebut.
Aini tersenyum dan membelai lembut kepala Amar yang tertutup peci berwarna putih. Dia memang sudah lama tidak mengunjungi keponakannya itu. Terakhir kali dia datang bersama ibunya lima bulan yang lalu kemudian mereka bertemu kembali saat pemakaman ibunya. setelah itu mereka tidak pernah bertemu lagi.
"Amar... Amar nggak kangen sama bunda?"
Suara Mursyidah terdengar bergetar. Amar melepas pelukannnya pada Aini lalu menoleh pada wanita yang ada di sebelah bibinya.
"Bu-bunda?"
Mata Amar beralih pada Mursyidah, menatapnya nanar. Dia tidak percaya jika wanita cantik yang ada di hadapannya saat ini adalah ibunya.
"Iya, ini bunda nak, ibu kamu!"
Mursyidah menarik anaknya itu ke dalam pelukannya. Mereke sama-sama menangis lalu saling merapatkan pelukan, sama-sama merasakan kehangatan dan kenyamanan yang telah lama dirindukan. Air mata mereka bercampur, jatuh bersamaan saat mereka saling memeluk erat, melepas kerinduan yang mendalam. Dalam pelukan itu, ada rasa lega dan bahagia yang tak terhingga, seolah dunia sejenak berhenti dan hanya ada mereka berdua. Tangisan mereka bukanlah hanya karena kesedihan, tapi juga karena kegembiraan bertemu kembali, menguatkan ikatan batin yang tak pernah putus. Dalam pelukan hangat itu, Mursyidah merasa anaknya adalah sumber kekuatan dan harapan baginya.
"Bunda... nenek sudah nggak ada, nenek sudah meninggalkan kita."
Amar terisak dalam pelukan ibunya. Kesedihannya setelah ditinggal sang nenek kini terobati dengan kehadiran ibunya.
"Bunda jangan pergi lagi ya, Amar nggak mau ditinggal sendiri. Ayah juga nggak pernah ke sini menengok Amar, kata orang-orang ayah sudah menikah lagi."
Amar meratap sedih dan mengadu pada Mursyidah, ibunya yang meninggalkannya sejak dia masih kecil untuk bekerja di luar negeri karena tuntutan ekonomi. Amar bahkan tidak tahu rasa hangatnya pelukan seorang ibu. Ternyata begini rasanya, sangat nyaman membuat Amar enggan melepaskannya.
"Amar dengar dari mana?"
Mursyidah merangkum wajah tampan anaknya, menatap kesedihan yang ada di mata itu.
"Amar dengar waktu di pemakaman nenek, ada yang mengatakan kalau ayah sudah menikah dan punya anak."
Mursyidah tertegun mendengar kata-kata Amar. Ini berita baru lagi yang dia dengar. Entah apa lagi nanti yang akan dia dengar selanjutnya.
"Bunda nggak akan pergi lagi kan? Bunda nggak akan meninggalkan Amar lagi kan?" tanya Amar penuh harap.
"Nanti kalau kontrak kerja bunda sudah selesai bunda akan membawa Amar pulang, kita akan tinggal bersama ya nak. Sekarang kamu jangan memikirkan apa pun dulu, tugasmu sekarang belajar. Tentang ayah biar bunda yang cari tau."
Mursyidah membelai lembut kepala anaknya sambil tersenyum menatap wajah yang sangat dirindukannya.
Betapa anaknya itu tumbuh sendiri tanpa kehadirannya.
Amar malu-malu saat ibunya terus saja menatapnya.
Rasanya aneh dan asing ditatap wanita cantik yang ternyata adalah ibunya sendiri, ibu yang telah lama tidak membersamainya. Ibu yang dia kenal setelah dia beranjak besar.
Mursyidah tidak bisa lama menemui anaknya karena bocah lelaki itu harus kembali ke dalam kelas. Dan untuk saat ini pun Mursyidah belum bisa mengajak anaknya itu keluar dari pesantren sekedar untuk jalan-jalan karena masih dalam masa ujian semester. Setelah memberikan beberapa hadiah Mursyidah dan Aini pun pamit pada Amar untuk kembali pulang. Mursyidah mengusap sudut matanya yang berair saat mereka akan berpisah, terlebih saat dia melihat wajah sedih Amar.
"Nanti kalau Amar sudah selesai ujian, bunda ke sini lagi buat jemput Amar ya," bisik Mursyidah saat memeluk putranya itu sebelum meninggalkan pesantren.
"Kita langsung pulang mbak?" tanya Aini sebelum menyalakan mesin motornya.
"Kita ke kota dulu sebentar, mbak mau main ke mall."
"Mbak mau ke mall? Ngapain?" Aini mengernyitkan dahinya.
"Menyenangkan hatilah," sahut Mursyidah sambil tersenyum penuh arti.
"menyenangkan hati atau menenangkan diri?" goda
Aini.
"Ayolah!" ujarnya kemudian.
aku suka cerita halu yg realitis.