Alden berjalan sendirian di jalanan kota yang mulai diselimuti dengan senja. Hidupnya tidak pernah beruntung, selalu ada badai yang menghalangi langkahnya.
Dania, adalah cahaya dibalik kegelapan baginya. Tapi, kata-katanya selalu menusuk kalbu, "Alden, pergilah... Aku tidak layak untukmu."
Apa yang menyebabkan Dania menyuruh Alden pergi tanpa alasan? Nantikan jawabannya hanya di “Senja di aksara bintang”, sebuah cerita tentang cinta, pengorbanan dan rahasia yang akan merubah hidup Alden selamanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NdahDhani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Niat tanpa batas
...“Jangan biarkan keadaan mempengaruhi masa depanmu, tapi buatlah keadaan itu menjadi peluang untuk mencapai impianmu.”...
...—Alden—...
Alden sedang duduk sendirian di taman kota, membuka ponselnya dan membuka video belajar seperti biasanya.
Hari itu, Alden tidak berjualan dan memutuskan untuk belajar sejenak. Suara materi video dari ponselnya membuat Alden merasa sedikit lebih santai.
Beberapa bulan lalu, ia dikeluarkan dari sekolah karena fitnah dan tuduhan yang sangat menyakitkan. Ia dituduh mencuri barang-barang berharga milik teman-temannya, seperti dompet, ponsel, dan bahkan laptop.
Bukan hanya itu, Alden juga dituduh memulai pertengkaran dengan murid SMA lain, padahal faktanya ia hanya ingin membela diri. Semua itu sangat menyakitkan baginya, terlebih sahabatnya dulu membencinya karena tuduhan itu.
Alden menghela nafas berat, mengingat masa SMA itu sangatlah menusuk hatinya. Alden memfokuskan diri pada ponselnya, mengabaikan suara hiruk-pikuk dari orang yang berlalu-lalang.
Doorr!
Tiba-tiba seseorang mengangetkan Alden dari belakang membuat pemuda itu hampir melompat. Alden menoleh ke arah orang itu dan ditanggapi dengan tawa dari si pelaku.
"Haha maaf-maaf, serius banget sih." ujar Dania, gadis yang tiba-tiba datang entah dari mana itu.
"Ngagetin aja, Dania." ujar Alden sambil menggelengkan kepalanya.
"Maaf," ujar Dania yang terkekeh dan duduk di sebelah Alden. "Kamu lagi apa sih?"
"Gak ada sih, cuma belajar aja." ujar Alden sambil menunjukkan layar ponselnya.
"Belajar?" tanya Dania bingung. "Iya, cuma ini cara aku agar bisa belajar lagi." ujar Alden dengan seutas senyum.
Dania terkejut, dan ia terdiam untuk beberapa saat. Ia tidak mengingat bahwa Alden putus sekolah. Tapi, ia kemudian tersenyum dan akhirnya berbicara.
"Aku kagum dengan semangat kamu. Niat kamu untuk belajar lebih tinggi daripada gengsi," jelas Dania yang merasa kagum dengan pemuda di hadapannya itu.
"Ya, gimana ya... Aku anak tunggal, kalo bukan aku yang bahagiakan ibu, siapa lagi?" ujar Alden dengan nada rendah dan penuh harapan.
Dania mengangguk perlahan, ia tidak pernah menemui orang yang mempunyai semangat tinggi seperti Alden. Antara kagum dan simpati, begitulah yang Dania rasakan saat ini.
"Aku yakin kamu bisa menggapai impian dan harapan itu," ujar Dania kemudian. "Makasih ya," balas Alden dengan seutas senyum.
"Sama-sama, aku juga mau belajar deh. Maaf, tadi ganggu kamu." ujar Dania merasa bersalah karena telah mengagetkan Alden.
"Gak apa, belajar bareng aja di sini." pinta Alden dengan suara lembut. "Oke," balas Dania singkat dan mengambil sebuah buku dari dalam tas nya.
Dania dan Alden akhirnya belajar bareng. Alden belajar melalui ponselnya, sementara Dania menjawab soal di bukunya.
"Aduh, gak ngerti. Susah banget lagi," Beberapa menit berlalu, Dania tiba-tiba mengeluh tentang tugasnya. Alden yang fokus pada ponselnya sontak langsung menoleh.
"Kenapa?" tanyanya penasaran. "Ini soalnya susah banget, aku gak ngerti." jelas Dania sambil menunjuk bukunya.
"Mana, coba liat," ujar Alden sambil meminta buku itu. Dania langsung memberikan bukunya dan menjelaskan soal yang tidak ia mengerti.
Alden membacanya dengan saksama, lalu mengangguk perlahan dan menjelaskan. "Oh, ini mudah kok, caranya gini..."
Dania mengangguk perlahan, mendengarkan penjelasan Alden dengan serius. Ia tidak menyangka bahwa Alden bisa menjelaskan dengan rinci dan jelas.
"Udah ngerti?" tanya Alden setelah ia selesai menjelaskan. "Sangat mengerti, terima kasih." balas Dania dengan seutas senyum dan langsung menulis kembali di buku catatannya.
"Sama-sama," jawab Alden singkat dan mengalihkan pandangannya kembali ke ponselnya.
Alden sebenarnya termasuk salah satu murid yang pintar dan berprestasi di sekolahnya. Tapi, semua itu sudah percuma. Alden bukan lagi bagian dari sekolahnya, ia hanya bisa belajar sendiri tanpa bimbingan guru.
Nasibnya tidak seberuntung orang lain, tapi niat dan semangat dalam dirinya tidak mempengaruhi keadaannya saat ini.
Andai dan andai, hanya kata itu yang selalu mempengaruhi pikirannya. Tapi, berandai-andai saja tidak akan pernah merubah segalanya.
Alden hanya pasrah dan mensyukuri apapun yang terjadi di hidupnya. Ia tahu bahwa Tuhan selalu ada untuknya. Semua yang terjadi sudah kehendak-Nya.
...✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧...
Alden berada di perpustakaan kota setelah berpisah dengan Dania di taman. Niatnya ingin pulang dan beristirahat, tapi langkahnya justru tertuju pada sebuah tempat yang memiliki banyak buku di dalamnya.
Setelah mengisi daftar kunjungan, Alden langsung menuju ke lantai dua. Ia mencari buku bacaan yang menarik baginya. Matanya tertuju pada buku sejarah di rak tengah.
Tanpa pikir panjang, Alden langsung mengambil buku itu dan duduk sendirian di bangku dekat jendela. Ia bisa melihat jelas pemandangan kota yang sibuk dari sana.
"Nasibku mungkin tidak seberuntung mereka, tapi aku harus tetap mencapai impianku demi ibu," batin Alden sambil membuka halaman buku di hadapannya.
Lembar demi lembar dibukanya, Alden membaca dengan teliti setiap paragraf nya. Belajar sendirian tidaklah mudah, Alden harus membaca berulang-ulang agar ia bisa memahami apa yang sedang dibacanya.
Sementara itu, di sisi lain, Dania yang baru saja tiba di rumahnya langsung mendapat pesan yang membuat semangatnya hilang seketika.
Pesan itu berisi perhatian, tapi berhasil membuat Dania kesal dan kehilangan energi. Dania baru saja memasukkan ponselnya ke saku rok nya, tapi tiba-tiba ponselnya kembali bergetar.
Dania tidak memperdulikan untuk sejenak, lalu berjalan ke arah kamarnya. Setibanya di kamar, Dania mengambil ponselnya dan mendengus kesal ketika melihat isi pesan itu.
"Cantik, jangan lupa makan ya. Aku gak mau kamu sakit."
"Mau aku makan atau enggak gak ada urusan nya sama kamu!" gumam Dania kesal sambil melempar ponselnya di atas kasur.
Dania merasa kesal mendapati pesan terus-terusan dari Riza. Pemuda itu benar-benar mendekati Dania dengan berbagai cara, membuat gadis itu merasa risih.
Awalnya Dania menyukai Riza, tapi setelah mengetahui sifat aslinya Dania memilih untuk menjauh. Dania juga tidak ingin lagi terlibat apapun dengan pemuda berambut ikal itu.
Dania memutuskan untuk membuat karya sastra, mengesampingkan tentang Riza yang terus-menerus mengganggunya. Ia memasang headphone sambil mendengarkan musik favoritnya.
Tiba-tiba ponsel di depannya menyala, ia tahu bahwa itu adalah notifikasi masuk dari ponselnya. Dania mendengus kesal dan mengambil ponselnya tidak sabar.
"Apa lagi sih!" Tapi, rasa kesalnya sedikit berkurang ketika ia membuka ponselnya. Ia menyadari bahwa ia sudah salah sangka.
"Hai Dania, lain kali belajar bareng lagi ya?"
Dania mengira itu pesan dari Riza, ternyata pesan dari Alden. Dania menepuk jidatnya, merasa malu dengan kebodohannya sendiri.
"Bisa-bisanya langsung kebawa emosi," batinnya sambil menggelengkan kepalanya. Dania akhirnya mengetikkan balasan pesan ke Alden.
Baginya, belajar dengan Alden sangat menyenangkan. Dan ia tidak ingin melewatkan kesempatan belajar yang ditawarkan oleh temannya itu.
^^^Bersambung...^^^