Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 : Kata yang dia sendiri ingin dengar.
Lian Hua berdiri di ambang pintu, matanya menelusuri lorong paviliun yang sunyi. Hanya beberapa obor yang menempel di dinding, cahayanya redup, berkedip tertiup angin malam. Bayangan bergerak di antara cahaya itu, membuat jalan terlihat samar.
Dengan langkah perlahan, ia meninggalkan ruangan yang selama ini mengurungnya. Tanah dingin menyambut telapak kakinya, menusuk hingga ke tulang. Udara luar seperti membawa secercah kebebasan, namun rasa sakit di sekujur tubuhnya membuatnya tak mampu menikmatinya.
Berjalan memutari paviliun, pandangannya tertuju pada pepohonan dan semak lebat di belakang bangunan. Tempat itu tampak tersembunyi, seolah menawarkan perlindungan. Namun ia lupa, tanpa dinding untuk menopang tubuhnya, kakinya tak akan sanggup menopang.
Begitu jarak antara dirinya dan tembok paviliun terputus, tubuhnya langsung terhempas ke tanah. Sakitnya seperti seribu duri yang menarik setiap luka di tubuhnya. Ia menelungkup, menggigit kain di bawah dagunya untuk menahan jeritan yang nyaris pecah di keheningan malam.
Napasnya memburu. Matanya berair, namun ia menggeleng keras, memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Di dekat semak, ia melihat sebatang kayu kering. Dengan tarikan napas berat, ia merangkak ke arahnya, menyeret kaki yang lemah, menolak untuk mencoba berdiri.
Sesampainya di sana, ia menggunakan kayu itu untuk menggali tanah. Setiap gerakan membuat perutnya terasa seperti diremas, memaksanya meringkuk, namun ia bertahan. Tangan satunya mengepal, memukul tanah berulang kali, melampiaskan sakit yang tak sanggup ia teriakkan.
Lubang yang cukup dalam akhirnya terbentuk. Seolah tubuhnya paham tujuan dari lubang itu, rasa mual langsung menyerang. Lian Hua tersentak, memuntahkan seluruh isi perutnya ke dalam lubang, bahkan roti busuk yang ia telan sebelumnya ikut terbuang.
Tubuhnya jatuh di samping lubang, napasnya terengah-engah. Dingin tanah menempel di pipinya, tapi ada senyum tipis yang muncul, ini adalah ketiga kalinya ia berhasil bertahan hidup.
Menutup mata, ia membatin, ternyata lebih mudah merawat orang lain… daripada mengurus diriku sendiri. Angin malam mengusap wajahnya, dingin namun anehnya membawa sedikit rasa nyaman. Perutnya tak lagi nyeri, dan luka-lukanya setidaknya sudah ia tutupi. Ia merasa sudah melakukan yang terbaik untuk mengurangi siksaan yang entah dari mana datangnya.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Di tengah hening malam, suara tangisan keras terdengar dari kejauhan. Matanya kembali terbuka, tubuhnya menegang, mencoba menangkap arah suara itu.
“Siapa disana?”
Suara tangisan itu, terisak lirih namun sarat kesakitan, menusuk hening malam. Naluri Lian Hua untuk beristirahat seketika sirna, digantikan dorongan yang sulit dijelaskan. Tanpa menyadari bagaimana, ia sudah beranjak berdiri. Tak ada dinding untuk menopangnya kali ini; tubuhnya bergerak sendiri, digerakkan oleh rasa cemas yang tiba-tiba membuncah.
Ia setengah berlari, tergesa menghampiri tembok paviliun, matanya menelusuri sekitar, mencari sumber suara. Isakan itu terdengar semakin jelas. Kakinya membawanya kembali melewati paviliun tempatnya dikurung, lalu lebih jauh lagi, menembus bayang-bayang malam.
Sampai pandangannya terhenti, di bawah sebuah pohon, seorang anak laki-laki meringkuk sendirian. Tubuh mungil itu melipat diri seakan ingin menghilang dari dunia, kedua tangannya memeluk erat tubuhnya sendiri.
Khawatir, Lian Hua mempercepat langkah, menempelkan satu tangan ke dinding untuk menjaga keseimbangan, sambil memanggil pelan, “Hei…” Suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup membuat anak itu menoleh.
Mata anak itu merah bengkak, penuh air mata yang menggantung di ujung bulu matanya. Sesuatu di dada Lian Hua seperti diremas. Ia melepaskan tumpuan dari dinding, memaksa kedua kakinya menopang seluruh berat tubuh, lalu berlari.
Sebuah akar menjulang di tanah membuatnya tersandung, tubuhnya terhempas, lututnya mencium tanah. Tapi rasa sakit itu tak berarti dibandingkan dorongan untuk sampai ke anak itu. Ia merangkak, tangan gemetar, lalu perlahan meraih pergelangan tangan mungil itu.
“Tidak apa-apa…” bisiknya nyaris patah, menarik anak itu ke dalam pelukan.
Tubuh mungil itu bergetar hebat di dekapannya, seolah memindahkan semua rasa takut dan dingin ke dalam dada Lian Hua. Ia menggenggam tangan kecil itu erat, merasai dinginnya yang menusuk kulit, sambil mengusap lembut kepala anak itu.
“Aku di sini…” ia membisikkan kata-kata yang bahkan ia sendiri butuh untuk mendengarnya, sebuah janji samar di tengah malam yang tak lagi terasa sepenuhnya sunyi.
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂