Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA5
Pagi menjelang siang, Alan tampak murung. Wajahnya lesu, semangatnya redup. Sebentar lagi ia akan memimpin rapat penting dengan para aliansi perusahaan, tapi pikirannya tersangkut pada satu hal yaitu Maya.
Sudah beberapa hari Alan tidak mendengar suara Maya. Sejak kepergian wanita itu, jiwanya seperti kehilangan amunisi juang.
Tatapannya tak lepas dari layar ponsel. Jemarinya beberapa kali ingin menekan nomor Maya, namun gengsi dan keraguan membuatnya mengurungkan niat.
Hingga akhirnya, ia punya ide. Alan menggunakan nomor asing untuk menghubungi Maya.
Telepon tersambung.
Tak lama, terdengar suara lembut dari seberang.
“Halo?”
“Halo?”
Alan hanya terdiam. Ia bersandar di kursinya, menikmati setiap nada suara itu. Hatinya bergetar, bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
“Halo? Ini dengan siapa?”
“Halo...?!” Nada suara Maya terdengar semakin bingung.
“Dasar aneh, enggak ada suara sama sekali, salah sambung kali ya!” gerutu Maya sebelum akhirnya sambungan terputus.
Alan masih terdiam. Namun senyumnya kini lebih lebar. Hanya mendengar suara itu saja, semangatnya seperti hidup kembali. Ia berdiri, membenarkan jasnya, lalu melangkah mantap menuju ruang rapat, dimana para petinggi perusahaan sudah lama menunggunya.
--
Di sebuah restoran mewah, Shela tampak bahagia bukan main. Ia menerima undangan bertemu dari Alan, dan kesempatan itu tidak ia sia-siakan.
Shela berdandan maksimal, makeup nya tampil sempurna mengenakan gaun elegan dan aroma parfum menggoda. Semuanya ia siapkan demi memikat Alan.
Langkah sepatu hak tingginya mengetuk lantai restoran. Suara itu membuat Alan yang telah duduk menunggu menoleh. Jacob dan pengawalnya tetap berjaga tak jauh dari sana.
“Alan...” sapanya lembut, disertai senyum genit. Ia duduk dengan anggun, menyilangkan kaki dan menatap wajah pria itu yang tampak datar tanpa ekspresi.
Tidak lama, seorang pelayan datang menyuguhkan cemilan ringan, lalu meninggalkan mereka.
Alan membuka percakapan tanpa basa-basi.
“Ternyata kau penyebab Maya pergi meninggalkanku.”
Shela terdiam sesaat, lalu berlagak bingung. “Apa maksudmu, Alan?” tanyanya berpura-pura tak mengerti, meski raut gugupnya mulai muncul.
Alan menyipitkan mata. “Dan jangan kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan tadi malam.”
Nada suaranya tenang, tapi tajam, tegas tanpa harus meledak-ledak. Tatapannya menusuk Shela dalam diam.
“Alan... mungkin kita bisa bicara lebih santai?” Shela mencoba mengalihkan suasana. “Lagipula, perusahaan papaku sudah bekerja sama baik dengan RVC. Aku rasa...”
“Kau salah,” potong Alan. “Tujuan aku memanggil mu siang ini bukan untuk basa-basi bisnis. Aku hanya ingin menyampaikan satu hal, apa arti Maya bagiku, dan betapa jahat tindakanmu padanya.”
Shela mulai kehilangan kendali. “Alan, aku sungguh tidak mengerti maksudmu.”
Alan hanya menatapnya. Dingin dan tegas. Hatinya sudah memilih untuk tidak membiarkan siapa pun lagi mengganggu ketenangan Maya.
"Aku berminat menjalin kerja sama dengan perusahaan keluargamu dan bahkan mengiklankan klinik mu secara besar-besaran di kalangan bisnis, semua itu semata-mata karena Maya," ujar Alan dengan nada dingin namun tajam.
"Maya yang merayu aku. Bukan untuk kepentingannya, tapi karena dia menghargai kamu. Maya tahu bagaimana berterima kasih atas bantuanmu ketika pertama kali datang ke Jakarta dan dia tidak pernah menjelekkan kamu, sedikit pun tidak. Apalagi bermain licik."
Alan menatap Shela tajam.
"Maya bahkan tidak lagi menganggap mu sahabat, melainkan saudara. Kau tahu apa itu artinya? Dia menyayangimu. Dia bangga padamu. Tapi kau malah tega membongkar aibnya."
"Sahabat macam apa kau ini?" Alan menghela napas pelan, namun sorot matanya tetap menusuk.
"Semua itu karena Maya. Seharusnya kau berterima kasih kepadanya. Karena tanpa Maya, aku tidak akan pernah melirik perusahaan kecil Ayahmu, apalagi klinik mu itu."
Wajah Shela mulai pucat.
"Dengarkan ini baik-baik," lanjut Alan. "Jika kau berani melangkah sedikit... Aku akan hancurkan perusahaan dan klinik mu. Dalam tempo waktu yang cukup singkat," ancaman keras Alan.
"Alan... Alan!" suara Shela mulai bergetar. Air matanya menetes.
"Semua itu ku lakukan karena aku mencintaimu, Alan!" tangisnya pecah. "Kenapa cuma ada Maya, Maya, dan Maya di hatimu?! Dia cuma wanita kampung yang nekat datang ke Jakarta. Dia juga..." suaranya menggertak, "wanita murahan yang menjual diri demi uang! Maya tidak pantas bersanding denganmu, Alan!"
"Aku mencintaimu!" seru Shela, kini benar-benar histeris. Tangannya berusaha meraih tangan Alan. Namun Alan sigap berdiri. Ia merapikan jasnya dengan tenang, lalu menatap Shela untuk terakhir kalinya.
"Ucapan cinta dari wanita pengkhianat seperti mu... bagiku, itu tidak lebih dari gonggongan anjing! Sangat brisik mengganggu telinga."
Alan cukup alergi dengan perempuan yang memiliki sifat pengkhianat.
Dengan penuh wibawa, Alan berbalik dan melangkah pergi tanpa menoleh. Sementara Shela masih menangis dan memanggil-manggil namanya dengan putus asa.
"Alan... Alan... akulah yang mencintaimu sepenuh hati... Alan!"
--
Sementara itu, Maya tengah duduk sendiri di kamarnya. Ia memandang rindu deretan foto-foto bersama Shela yang masih tersimpan di galeri ponselnya. Senyuman, tawa, penuh kehangatan. Momen-momen indah yang dulu terasa tulus.
Wajah Maya mendadak murung.
"Kira-kira Shela sudah menghapus kabar miring itu atau belum, ya?"
Maya belum berani keluar untuk menyapa orang-orang desa. Dengan niat baik, ia mencoba menghubungi Shela, Maya tidak tahu bahwa sahabatnya itu tengah larut dalam tangis.
"Drrett...!" Ponsel Shela bergetar di atas meja. Matanya sembab, wajahnya masih memerah. Namun begitu melihat nama Maya, ia langsung menyambar ponsel itu.
"Shela!" suara Maya terdengar lembut dari seberang. "Apa kamu sudah membersihkan nama baikku di desa? Aku masih ragu keluar rumah..."
Shela menggertakkan gigi. Dadanya sesak oleh amarah yang belum tuntas.
"Aku tidak akan pernah menghapus jejak aibmu yang menjijikkan itu!" sembur Shela penuh kebencian." Dasar kau wanita murahan! Wanita kampung, miskin tidak tahu diri!"
Kata-kata itu menghantam Maya seperti badai. Ia terdiam, dadanya sesak.
"Shela... aku salah apa padamu? Kenapa kamu tega berkata kasar seperti itu?" ucap Maya dalam tangisnya.
"Karena kau yang menyebabkan Alan menolak cintaku!" bentak Shela. "Kalau kau sudah tahu aku mencintainya, seharusnya kau membujuknya untuk menjadi kekasihku!"
Suara Maya melemah, namun tetap mencoba bicara baik kepada Shela.
"Shela... kau tahu sendiri, siapa Alan? Dia tipe pria yang tidak memiliki komitmen untuk menikah dengan perempuan manapun. Aku sudah menjadi korbannya... Apa kau mau jadi simpanannya juga! Shel, masih banyak lelaki baik, yang pantas untukmu!"
"Cukuplah aku saja yang terluka,..." ucap Maya dalam hati penuh penyesalan.
"Itu hanya berlaku untukmu!" potong Shela tajam. "Karena kau wanita kampung! Alan pasti malu menjadikanmu sebagai istri, tapi tentu tidak dengan ku, karen aku punya reputasi, kehormatan, dan segalanya!"
"Hiks..." suara tangis Maya terdengar makin lirih, nyaris tenggelam.
Akibat rasa cemburu Shela yang besar, pertemanan mereka berakhir seperti musuh bebuyutan.
Shela menekan tombol merah. Sambungan terputus.
Beberapa detik kemudian, sebuah pesan masuk ke ponsel Maya. Singkat, dingin, dan menyakitkan.
"Jangan pernah anggap aku sahabatmu lagi. Aku jijik." Shela
serendah itukah Maya di matamu key...
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga