Aurelia Nayla, tumbuh sebagai gadis lugu yang patuh pada satu-satunya keluarga yang ia miliki: Dario Estrallo. Pria yang dingin dan penuh perhitungan itu memintanya melakukan misi berbahaya—mendekati seorang dosen muda di universitas elit demi mencari sebuah harta rahasia.
Leonardo Venturi. Dosen baru, jenius, dingin, dan tak tersentuh. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, kecuali Dario—musuh lama keluarganya.
Yang tak diketahui Dario, kode untuk membuka brankas warisan sang raja mafia justru tersembunyi di tubuh Leo sendiri, dalam bentuk yang bahkan Leo belum ketahui.
Sementara Aurelia menjalankan misinya, Leo juga bergerak diam-diam. Ia tengah menyelidiki kematian misterius ayahnya, Alessandro Venturi, sang raja mafia besar. Dan satu-satunya jejak yang ia temukan, perlahan menuntunnya ke gadis itu.
Dalam labirin rahasia, warisan berdarah, dan kebohongan, keduanya terseret dalam permainan berbahaya.
Cinta mungkin tumbuh di antara mereka,
tapi tidak semua cinta bisa menyelamatka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak dibalik senyuman
Udara pagi di Universitas Arven tampak begitu bersih dan segar. Embun masih menempel di dedaunan, memantulkan sinar matahari yang mulai menghangat. Pepohonan rindang di sepanjang jalan menuju Fakultas Hukum seolah menyambut setiap langkah para mahasiswa yang terburu-buru masuk kelas. Tawa riang terdengar dari arah kantin, mencairkan udara pagi yang sempat dingin.
Gedung tua bergaya neoklasik itu berdiri megah, dengan pilar-pilar besar menjulang dan jendela kaca tinggi yang memantulkan kilau cahaya. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, ada satu sosok yang seperti berjalan di antara dua dunia: Leo Venturi.
Langkahnya tenang, nyaris tanpa suara. Jas hitam panjangnya berkibar tertiup angin, menyatu dengan kemeja abu-abu gelap yang dikenakannya. Tatapan matanya tajam seperti belati yang terasah, penuh perhitungan. Mahasiswa yang berpapasan dengannya spontan menunduk atau pura-pura sibuk dengan ponsel. Ada hawa dingin yang menyelimuti kehadiran pria itu—bukan dari suhu, melainkan aura. Leo Venturi. Dosen muda yang terkenal karena kejeniusannya, namun sama terkenalnya karena sifat dinginnya yang tak kenal kompromi.
“Pak Leo!” Suara nyaring itu memecah lamunan dan ketegangan udara di sekitarnya.
Lia berlari kecil menghampiri, langkahnya ringan dan senyum khasnya seperti mentari yang nekat menembus awan. Rambutnya tergerai, sedikit berantakan karena angin, tapi ia tidak peduli. Ia melambaikan tangan, seperti tak terpengaruh aura dingin Leo sama sekali.
Leo hanya menoleh sekilas. Alisnya bergerak sedikit. “Ada apa?” Suaranya datar, nyaris tanpa emosi.
“Apa hari ini ada kelas tambahan?” Lia bertanya sambil berusaha menyesuaikan langkah dengan pria itu. Nafasnya sedikit terengah karena berlari.
Leo mengangguk singkat. “Kelas debat hukum, jam empat.”
“Oke, aku siap!” jawab Lia cepat, sambil mengacungkan jempol dan tersenyum lebar. Namun, responsnya hanya dibalas dengan langkah Leo yang kembali melaju tanpa sepatah kata pun.
Lia berdiri diam sebentar, lalu menghembuskan napas panjang dan memutar tubuhnya. “Dingin banget sih, Pak…” gumamnya lirih, lalu berjalan ke arah taman belakang kampus, tempat Aurelie biasa duduk sambil membaca atau merenung.
---
Dario duduk diam di kursinya yang berlapis kulit hitam, menatap dalam cermin besar yang tergantung di dinding ruang kantornya. Ia mengamati bayangannya sendiri, tapi matanya menembus lebih dalam—melihat ke masa lalu. Sosok pria muda dalam setelan mahal, berdiri dengan senyum percaya diri, dan Isabella di sisinya. Wanita itu menatapnya seperti ia satu-satunya di dunia ini.
Senyum Dario perlahan memudar. Bayangan itu berganti menjadi sesuatu yang lebih gelap. Allesandro Venturi. Nama yang membuat rahangnya mengeras dan otot di tangannya menegang.
Ia berdiri perlahan, berjalan ke arah jendela besar dan membuka tirai. Cahaya masuk, tapi tak mampu menghangatkan hatinya.
“Suatu hari, semua ini akan menjadi milikku,” gumamnya, dengan suara rendah seperti janji yang ditelan malam.
Jari-jarinya mengepal. Napasnya berat. Sekarang waktunya menyusun langkah. Langkah pertamanya: Aurelie.
---
“Tunggu, jadi Papa nyuruh aku cari kunci yang Papa sendiri belum yakin itu kunci berbentuk kode atau kalimat?” Aurelie mengerutkan kening, suaranya meninggi karena frustrasi. Ia melipat tangan di dada, matanya menatap tajam ke arah Lia yang duduk di sebelahnya.
Mereka duduk di bangku kayu tua di sudut taman. Hembusan angin menerbangkan helaian rambut Aurelie, tapi ia tak menggubris. Wajahnya tegang.
Lia melirik sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar, lalu membisik, “Papa bilang... itu semacam angka. Mungkin... pola. Sesuatu yang hanya bisa dilihat kalau aku dekat dengan dia.”
Aurelie menatap Lia lama, lalu mendengus. “Dekat? Sama Leo? Yang kayak gunung es hidup itu? Kamu pikir dia bakal tiba-tiba buka bajunya dan nyuruh aku perhatiin tubuhnya?”
Lia nyaris tersedak tawa, menutup mulut dengan tangan. “Papa bisa aja mikir sejauh itu…”
Dari kejauhan, sosok tinggi Dario berjalan mendekat. Wajahnya teduh tapi penuh aura tekanan. Tatapan matanya menusuk.
“Kamu harus cari tahu,” katanya pelan tapi tegas. “Pelan-pelan, jangan gegabah.”
Aurelie hanya mengangguk, meski hatinya tak tenang. Ada sesuatu tentang Leo yang membuatnya selalu siaga. Tatapan pria itu... seolah bisa menelanjangi pikirannya tanpa menyentuhnya.
---
“Kenapa kamu selalu mandangi pria itu?”
Suara berat itu membuat Aurelie tersentak. Ia menoleh cepat.
Adrian. Mahasiswa senior dengan tatapan menyebalkan dan senyum licik. Ia bersandar di batang pohon, menatap Aurelie dengan rasa ingin tahu yang berlebihan.
“Enggak ada urusan sama kamu,” desis Aurelie, bangkit dari duduknya.
“Tapi kamu udah berhari-hari kayak gini. Ngelihatin dosen yang bahkan nggak tahu kamu ada.”
“Kalau kamu cuma pengen nyindir, mending pergi!” bentaknya, menatap Adrian dengan tajam.
Namun sebelum Adrian sempat membalas, Leo melintas tak jauh dari mereka. Langkahnya seperti biasa, tenang dan mematikan. Tanpa sengaja, mata Leo dan Aurelie bertemu.
Sekilas. Tapi cukup untuk membuat dada Aurelie bergetar. Wajahnya memucat, sementara Leo hanya sedikit mempersempit matanya, lalu kembali berjalan seperti tak terjadi apa-apa.
Tapi tidak bagi Aurelie. Tatapan itu... terasa seperti luka lama yang belum pernah dikenalnya.
---
Sore itu, sambungan video call masuk ke layar ponsel Aurelie.
“Bagaimana perkembangannya?” tanya Dario tanpa basa-basi.
Aurelie menyandarkan punggung ke kursi, memainkan ujung rambutnya. “Sama aja. Orang itu... terlalu misterius. Aku bahkan nggak yakin dia manusia normal.”
Dario menatapnya tajam. “Gunakan akalmu. Kamu pintar. Kamu bisa buat dia percaya padamu.”
“Papa…” suara Aurelie melembut, “Kalau memang ini penting, kenapa Papa nggak langsung kirim orang buat nangkep dia dan—”
“Cukup!” Dario membentak, nadanya seperti cambuk di udara.
Wajahnya berubah dingin. Bahkan melalui layar, aura mengintimidasi itu terasa. Matanya gelap, menyimpan ketakutan yang tak ia akui.
“Jangan pernah sentuh Leo Venturi tanpa strategi. Dia bukan orang biasa. Bahkan aku... belum cukup kuat untuk berhadapan langsung dengannya.”
Aurelie terdiam. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia belum pernah melihat Dario... takut.
“Maaf, Papa…” bisiknya.
Dario menghela napas panjang. “Sabar. Percaya pada rencana kita. Kamu satu-satunya harapan Papa.”
Aurelie mengangguk perlahan, namun dalam hatinya... mulai tumbuh rasa ragu. Apakah ini benar? Atau mereka tengah bermain dengan sesuatu yang lebih besar dari mereka?
---
Malamnya, Leo berdiri di balkon rumahnya, memandangi langit yang mulai dipenuhi bintang. Angin malam menerpa wajahnya, menyingkap sedikit rambut yang jatuh ke dahinya.
Suara batuk terdengar dari kamar sebelah.
Ia segera masuk. Isabella, sang ibu, terbaring dengan mata terbuka menatap kosong langit-langit kamar. Jemarinya menggenggam selimut seperti hendak menahan sesuatu yang tak kasatmata.
“Mama, mimpi buruk lagi?” tanya Leo lirih, duduk di tepi ranjang.
Isabella mengangguk lemah. Matanya berkaca-kaca, tapi tak setetes pun air mata jatuh.
Leo menggenggam tangannya, mengusapnya dengan lembut. “Aku akan cari tahu, Ma. Tentang Papa. Tentang semuanya.”
Tatapan Isabella bergerak ke arah Leo. Bibirnya terbuka sedikit, ingin bicara, tapi suara itu tak pernah keluar.
Leo menunduk. Di balik ketenangannya, ada badai yang terus bergemuruh. Ia tahu, malam ini hanya awal dari segalanya.
Dan ia akan mengungkap misteri yang telah menghancurkan keluarganya—dengan cara apa pun.
---