Married To Fierce Boss

Loralei menanggalkan pakaiannya. Dia berdiri tegap di depan cermin, memperhatikan seluruh leher hingga dada yang banyak memiliki bekas merah keunguan. Teringat lagi puing kenangan semalam. “Oh God ...! Ku rasa alkohol adalah musuhku,” keluhnya ketika bayangan betapa bodoh dirinya yang mendadak pergi ke club malam setelah resmi menikah, berharap melupakan seluruh kejadian mengenaskan di Badan Kependudukan.

Tapi, ternyata semua itu justru menarik Loralei ke kubangan yang lebih mengenaskan lagi. “Jadi, aku yang menyeret dia ke apartemen ini?” Kepala dibenturkan pelan pada wastafel ketika cuplikan apa yang ia lakukan pada Agathias mulai tersusun kembali.

“Bodoh! Bisa-bisanya kehilangan kendali saat mabuk, sekarang virginmu hilang sudah diambil bos galak itu.” Loralei malas sekali mengatakan Agathias sebagai suami.

Loralei terkulai lemas saat keluar dari kamar mandi. Dia duduk di tepi ranjang tanpa tenaga. Hidupnya berasa berhenti sekarang. “Seharusnya kemarin aku tidak langsung terkejut ketika di Badan Kependudukan. Sudah tahu memiliki jiwa penurut, masih saja berhasil kecolongan.” Menyesal karena mengatakan I do yang menandakan bahwa menerima Agathias sebagai suami.

Menyesal, hanya itu yang bisa diratapi oleh Loralei saat ini. “Setidaknya ada sisi bagusnya, Agathias kaya dan anakku kelak tidak perlu kekurangan.” Ya, paling tidak masih ada yang bisa dibanggakan menjadi istri bos galak.

Tunggu ... anak? Loralei lekas bangkit. Dia harus memastikan apakah semalam mereka bermain menggunakan pengaman atau tidak.

Wanita itu sampai membuka tempat sampah untuk mencari barang bekas bercinta. “Jangan sampai aku hamil, bisa mudah darah tinggi nanti kalau setiap hari menghadapi bos menyebalkan.”

Tidak risi karena tempat sampahnya bukan berisi sisa makanan maupun hal yang menjijikkan. Di dalam kamar tidak ada, Loralei harus memastikan di luar, siapa tahu Agathias membuang di dekat dapur.

Kini Loralei bisa bergerak tanpa takut dilirik buah dadanya. Ia telah mengenakan pakaian yang aman dari pandangan. Seolah tidak memperdulikan keberadaan bosnya, mengorek tempat sampah lagi.

“Kau mencari apa?” tanya Agathias dia sudah menyampirkan jas di lengan dan nampak hendak pergi karena ada kunci mobil di tangan.

“Pengaman, semalam kita ber—” Loralei ingin melanjutkan kata cinta, tapi sepertinya tidak cocok karena tak ada unsuri itu dihubungan keduanya. “Kau memakai pelindung kan saat melakukan itu denganku?” tanyanya sembari berbalik dan menatap Agathias.

“Tidak, mana sempat membeli ketika ada hidangan menarik disuguhkan depan mata secara cuma-cuma,” jelas Agathias sangat santai.

Sedangkan Loralei telah membulatkan mulut serta mata. Oke, anggaplah semalam memang kesalahannya. Dia yang menanggalkan pakaian dahulu di depan bosnya. Itu kesalahan fatal saat manuk, dan dia tidak akan pernah mau minum dalam volume banyak. Cukup malam itu adalah pertama dan terakhir.

Agathias tidak peduli dengan Loralei yang masih mematung. Dia mendekat, menutup mulut wanita itu supaya tidak terlalu lama menganga. “Aku pergi dulu, ada urusan dengan kembaranku,” pamitnya tanpa memberikan sentuhan apa pun lagi.

Loralei hanya mengangguk patuh. Aduh ... memang dasar jiwa-jiwa penurut, susah dihilangkan.

Sebelum meraih pintu, Agathias berbalik lagi. “Ingat, pamit dengan suamimu jika kau hendak keluar, sekali pun melangkah di supermarket depan apartemen.”

Agathias meninggalkan Loralei karena hendak bertemu Annora di sebuah private room restoran. Dia tidak mandi maupun membersihkan badan terlebih dahulu, untung tetap tampan dan menawan.

Kehadiran Agathias langsung mendapatkan sapaan berupa gelengan kepala oleh Annora. “Gila kau, bisa-bisanya menikahi sekretarismu di saat—”