Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 : PENOBATAN DI ATAS DARAH
Dini hari sebelum matahari menyentuh ufuk Jakarta, Aluna terbangun di sebuah ruangan yang sangat asing. Bukan di kamar mewahnya di mansion Seraphine, bukan pula di gudang kumuh pelabuhan. Ia berada di sebuah ruang kantor minimalis dengan dinding kaca yang menghadap langsung ke arah Monumen Nasional. Ini adalah gedung pencakar langit pribadi milik keluarga cabang Paman Hendra, wilayah kekuasaan Valerie.
Tangannya tidak diikat, namun pintu baja di depannya tidak memiliki gagang dari dalam. Luna berjalan menuju jendela, menatap setiap refleksi dari wajahnya sendiri. Ia masih mengenakan jaket lusuh yang ia gunakan saat melarikan diri semalam. Wajahnya pucat, namun matanya memancarkan api yang tak kunjung padam.
"Sudah bangun, Tuan Putri yang Terbuang?"
Suara Valerie terdengar melalui interkom ruangan. Detik berikutnya, pintu terbuka dan Valerie masuk dengan gaun merah menyala, tampak sangat kontras dengan Luna yang kusam. Di belakangnya, dua pengawal bersenjata berjaga di ambang pintu.
"Kenapa kamu tidak membunuhku semalam, Valerie?" tanya Luna dengan suara serak namun tenang.
Valerie tertawa, sebuah suara yang terdengar seperti pecahan kaca. "Hahahaha... Membunuhmu adalah hal yang terlalu mudah, Aluna. Aku ingin kamu menyaksikan kehancuranmu sendiri secara legal dan itu terhitung saat ini juga. Tiga jam lagi, acara kelulusan di SMA Pelita Bangsa akan dimulai. Kamu akan hadir di sana, tapi bukan sebagai ahli waris."
Valerie melemparkan selembar kertas ke atas meja. "Ini adalah naskah pengakuanmu. Kamu akan berdiri di depan seluruh media dan mengatakan bahwa kamu telah memalsukan identitas Seraphine, mencuri dana yayasan, dan menyebabkan kematian ayahmu karena kelalaian. Jika kamu melakukannya, aku akan membiarkan bibimu dan Xavier tetap hidup."
Luna mengepalkan tangannya. "Xavier... apa yang telah kamu lakukan padanya?"
"Asisten setiamu itu? Dia sekarang sedang berada di sel bawah tanah mansion Nenek, dianggap sebagai pengkhianat yang mencoba membawamu lari demi uang," Valerie mendekat, mencengkeram dagu Luna dengan kasar. "Nenek tua renta itu sudah membuangmu, Aluna. Kamu tidak punya siapa-siapa lagi sekarang ini."
Luna tidak memalingkan wajahnya. Ia justru menatap Valerie dengan tatapan yang membuat gadis pirang itu merasa tidak nyaman. "Kamu lupa satu hal, Valerie. Aku pernah hidup di selokan selama sepuluh tahun. Kamu pikir ancamanmu yang seperti ini bisa menakutiku? Aku sudah sangat kehilangan segala-galanya sejak hari ibuku diusir. Hari ini... aku hanya akan mengambil kembali apa yang memang seharusnya hancur."
Sementara itu, di sel bawah tanah mansion Seraphine yang lembap dan gelap, Xavier tersentak bangun. Kepalanya terasa berat akibat hantaman popor senapan semalam. Darah kering menempel di pelipisnya, dan setiap inci dari tubuhnya terasa linu.
Ia mencoba menggerakkan tangannya, namun ia diborgol pada sebuah pipa besi di dinding. Di depannya, Madam Celine berdiri di balik jeruji besi, menatapnya dengan pandangan yang sangat sulit diartikan.
"Kamu telah sangat mengecewakanku, Xavier," ucap Madam Celine dingin. "Aku memberimu segalanya mulai dari pelatihan, posisi, kepercayaan. Dan semua itu hanya agar kamu menjaga Aluna tetap di bawah kendaliku. Tapi kamu justru membantunya melarikan diri."
Xavier mendongak, matanya berkilat penuh amarah. "Anda tidak melindunginya, Madam. Anda menggunakannya sebagai tameng untuk menutupi dosa masa lalu Anda terhadap ibunya. Anda membuangnya sepuluh tahun lalu, dan sekarang Anda membuangnya lagi demi kesepakatan politik dengan keluarga Hendra."
"Aku melakukan apa yang perlu dilakukan demi Seraphine!" bentak Madam Celine.
"Seraphine adalah sebuah nama, Madam. Tapi, ingat Aluna adalah seorang anak dari manusia!" Xavier berteriak, suaranya menggema di ruang bawah tanah yang sunyi. "Jika Anda benar-benar ingin menghancurkannya, maka Anda harus membunuh saya terlebih dulu. Karena selama jantung saya masih berdetak, saya tidak akan membiarkan dia menanggung semua penderitaan ini sendirian."
Madam Celine terdiam. Untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang lebih kuat dari kesetiaan profesional di mata Xavier. Ia melihat sebuah pengabdian yang melampaui rasa takut akan kematian.
Tanpa berkata apa-apa, Madam Celine berbalik dan pergi. Namun, saat ia melangkah menjauh, ia menjatuhkan sebuah kunci kecil di dekat kaki Xavier.
"Dua jam lagi acara itu dimulai," gumam Madam Celine tanpa menoleh. "Jika kamu terlambat, Aluna akan benar-benar menghilang untuk selamanya. Dan kali ini, aku tidak akan bisa menjemputnya lagi."
Xavier menatap kunci itu. Dengan sisa tenaganya, ia meraih kunci tersebut menggunakan kakinya. Ia tahu, Madam Celine sedang memberikan kesempatan terakhir, tapi bukan untuk Seraphine, tapi untuk Aluna.
Acara kelulusan SMA Pelita Bangsa dimulai dengan kemegahan yang berlebihan. Lapangan sekolah dipenuhi oleh para orang tua dari kalangan elit, pejabat pemerintah, dan puluhan wartawan nasional. Spanduk besar bertuliskan "Selamat Datang Pemilik Baru" masih terpasang, namun suasana di belakang panggung jauh dari kata damai.
Luna dibawa ke sekolah dengan mobil tahanan pribadi milik keluarga Hendra yang disamarkan. Ia dipaksa mengenakan jubah wisuda yang seharusnya menjadi lambang kemenangannya, namun hari ini terasa seperti kain kafan.
Di balik tirai panggung, Reihan berdiri menunggunya. Wajah Reihan masih diperban akibat luka semalam, namun senyum kemenangannya kembali. "Hai, Sayang. Ketemu lagi kita. Kamu liat polisi di luar sana? Mereka nggak sabar buat bawa kamu pergi setelah kamu bacain naskah itu."
Luna tidak menjawab. Ia menatap ke arah kerumunan murid di luar. Ia melihat Maya, Kevin (yang untungnya selamat namun duduk di kursi roda di barisan belakang), dan teman-temannya yang lain. Mereka semua menatap panggung dengan penuh antisipasi, menunggu siapa yang akan muncul.
"Luna," bisik Reihan, mendekatkan wajahnya ke telinga Luna. "Begitu kamu selesai ngomong, gue bakal pastiin bibi lo dapet 'hadiah' terakhir dari gue sebelum lo masuk penjara."
Tepat saat itu, pembawa acara mengumumkan nama "Perwakilan Seraphine Global". Valerie melangkah ke atas panggung terlebih dahulu, memberikan sambutan yang penuh kepalsuan tentang integritas dan kehormatan.
"Dan sekarang," suara Valerie terdengar lantang dan bergetar penuh drama. "Mari kita dengarkan pengakuan jujur dari seseorang yang selama ini mengaku-ngaku sebagai bagian dari keluarga kami. Seseorang yang telah menipu kita semua."
Luna ditarik paksa untuk maju ke podium. Lampu sorot menghantam wajahnya, menyilaukan pandangannya. Ribuan mata menatapnya sebagian dengan rasa benci, sebagian dengan rasa penasaran.
Luna menatap mikrofon di depannya. Di sakunya, ia merasakan hard drive yang diberikan Kevin semalam masih tersimpan dengan aman. Ia juga merasakan sebuah perangkat kecil lain, sebuah pemancar yang diberikan Xavier saat di Zurich yang baru saja ia temukan di lipatan jubah wisudanya. Perangkat itu bergetar pelan.
Xavier sudah dekat.
Luna tidak membuka naskah dari Valerie. Ia justru menatap langsung ke arah kamera utama, ke arah seluruh dunia yang sedang menyaksikannya.
"Nama saya adalah Aluna Seraphine," suara Luna terdengar stabil, mengejutkan Valerie yang berdiri di sampingnya. "Dan hari ini, saya bukan datang untuk mengaku salah. Saya hanya datang untuk mengungkap bagaimana keluarga ini membunuh ibu saya dan mencoba membunuh saya dua kali."
Valerie panik. "Matikan mikrofonnya! Cepat!"
Namun, sebelum petugas teknis bisa bergerak, layar raksasa di belakang panggung mendadak mati, lalu menyala kembali menampilkan rekaman cctv semalam saat Valerie memerintahkan penculikan Luna dan penyuapan polisi.
Suara raungan motor sport membelah kesunyian acara. Dari gerbang utama, Xavier melesat masuk dengan motornya, menerjang barisan pengamanan dan berhenti tepat di depan panggung dengan ban yang berasap.
Layar raksasa di belakang panggung masih memutar rekaman suara Valerie yang dingin, merencanakan pelenyapan Aluna di pelabuhan. Suara itu menggema di seluruh lapangan SMA Pelita Bangsa, memantul di antara dinding-dinding gedung kelas, dan menghujam jantung setiap orang yang hadir. Para jurnalis yang tadi hanya diam, kini berebut maju, kamera mereka memotret wajah Valerie yang mulai pucat pasi.
"MATIKAN! SAYA BILANG MATIKAN!" teriak Valerie histeris. Ia mencoba merampas mikrofon dari tangan Luna, namun Luna menghindar dengan satu langkah anggun, tetap berdiri tegak layaknya seorang ratu yang sedang menghakimi rakyatnya yang berdosa.
"Kenapa, Valerie? Takut dunia tahu bahwa Seraphine yang kamu banggakan dibangun di atas darah dan air mata?" suara Luna terdengar dingin, stabil, dan mematikan. "Selama sepuluh tahun kamu hidup dalam kemewahan yang kamu curi dari ibuku. Kamu memalsukan semua surat sakit jiwanya, lalu kamu mengusirnya ke jalanan, dan sekarang kamu mencoba melakukan hal yang sama padaku."
Xavier, yang baru saja melompat dari motornya, kini sudah berada di atas panggung. Ia berdiri di samping Luna, menepis tangan pengawal Valerie yang mencoba mendekat. Napas Xavier masih tersengal, luka di pelipisnya kembali mengeluarkan darah karena aksi nekadnya tadi, namun matanya yang tajam mengunci setiap gerakan musuh di sekeliling mereka.
"Siapa pun yang berani melangkah maju, akan saya pastikan dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi!" ancam Xavier dengan suara yang menggetarkan panggung.
Di barisan depan, para donatur dan pejabat mulai berdiri, merasa tidak nyaman. Mereka menyadari bahwa mereka sedang menyaksikan kehancuran salah satu keluarga paling berpengaruh di negeri ini secara langsung.
Reihan, yang melihat rencananya hancur berantakan, mulai kehilangan kendali diri. Ia merasa tidak ada lagi yang bisa menyelamatkannya. Dengan mata yang merah penuh kegilaan, ia berlari ke arah sudut panggung, tempat anak buahnya masih memegangi Bibi Siti yang terikat.
"BERHENTI! ATAU GUE BUNUH WANITA TUA INI SEKARANG!" raung Reihan. Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dari sakunya dan menempelkannya ke leher Bibi Siti.
Bibi Siti menangis ketakutan, tubuhnya gemetar hebat. Luna tersentak, langkahnya tertahan. "Reihan, lepaskan dia! Urusanmu denganku, jangan bawa-bawa dia!"
Valerie, yang menyadari ia punya posisi tawar kembali, tertawa terbahak-bahak di tengah kekacauannya. "Ya! Bunuh saja dia, Reihan! Biar Aluna tahu bagaimana rasanya kehilangan orang terakhir yang dia cintai!"
Xavier hendak bergerak, namun Reihan menekan pisau itu lebih dalam hingga kulit leher Bibi Siti sedikit tergores darah. "Jangan gerak, Xavier! Lo maju satu langkah, bibinya mati!"
Di saat kritis itu, Kevin, yang sejak tadi duduk di kursi roda di barisan depan, tiba-tiba berdiri dengan susah payah. Ia memegang sebuah tablet kecil yang terhubung dengan sistem audio sekolah.
"Reihan! Liat ke layar lagi!" teriak Kevin.
Layar di belakang panggung berubah. Kali ini bukan lagi rekaman Valerie, melainkan rekaman CCTV dari rumah sakit tempat ayah Reihan dirawat secara rahasia sebelum dipindahkan ke penjara. Terlihat di sana, Reihan sedang membicarakan sesuatu dengan dokter tentang mempercepat kematian ayahnya sendiri demi warisan yang tersisa.
Seluruh penonton berteriak ngeri. Reihan terpaku. "G-nggak... itu bohong!"
"Lo pembunuh ayah lo sendiri, Reihan! Dan sekarang lo mau nambah daftar korban lo?" Kevin memprovokasi, suaranya lantang meski tubuhnya lemah.
Kelengahan Reihan menjadi celah yang ditunggu-tunggu oleh Xavier. Tanpa suara, Xavier melempar sebuah pisau lempar kecil yang tersembunyi di lengannya. Pisau itu menghantam tangan Reihan yang memegang belati dengan akurasi yang mematikan.
"AAARGH!" belati itu terjatuh.
Xavier melesat seperti kilat, menjatuhkan Reihan dengan satu pukulan telak ke ulu hati. Para pengawal Seraphine yang asli yang baru saja tiba atas perintah rahasia Madam Celine segera merangsek naik dan meringkus sisa-sisa pengawal Valerie.
Luna berlari memeluk Bibi Siti, melepaskan ikatannya dengan tangan yang gemetar. "Bibi... maafkan Luna... maafkan Luna..."
Setelah memastikan Bibinya aman di tangan pengawal medis, Luna berdiri kembali. Ia berjalan menuju ke depan panggung, menatap Valerie yang kini terduduk lemas di lantai, dikelilingi oleh polisi yang baru saja tiba untuk melakukan penangkapan asli atas bukti-bukti yang disiarkan tadi.
Luna menatap seluruh murid, guru, dan media. Ia melepaskan jubah wisudanya yang penuh debu, memperlihatkan gaun hitam di baliknya yang melambangkan masa berkabungnya atas penderitaan selama ini.
"Hari ini, sekolah ini resmi ditutup untuk sementara waktu guna audit total," ucap Luna melalui mikrofon yang masih menyala. "Dan untuk kalian semua yang pernah tertawa saat aku diinjak-injak... ingatlah wajah ini baik-baik. Karena mulai besok, namaku bukan lagi nama yang bisa kalian sebut dengan hinaan. Namaku adalah hukum di kota ini."
Xavier berdiri di belakangnya, menunduk hormat. Dari kejauhan, Madam Celine yang menyaksikan melalui satelit memejamkan mata. Ia tahu, eranya telah berakhir, dan era Seraphine yang sesungguhnya yang lahir dari api dan penderitaan baru saja dimulai.
Luna tidak menoleh lagi. Ia berjalan turun dari panggung, melewati Valerie yang sedang diborgol, melewati Reihan yang pingsan, dan masuk ke dalam limusin hitam yang sudah menunggunya.
Aula luar SMA Pelita Bangsa kini berubah menjadi lautan kekacauan yang terorganisir. Polisi menyeret Valerie yang terus menjerit, mengklaim bahwa ia tidak bersalah, sementara Reihan dibawa dengan tandu dalam keadaan setengah sadar hancur secara fisik dan mental. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, Seraphine berdiri tegak di samping limusin hitamnya.
Xavier mendekat, langkahnya sedikit pincang. Ia berdiri di hadapan Seraphine, wajahnya yang penuh luka menatap sang "Ratu" dengan binar yang sulit diartikan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik jasnya yang robek. Kotak merah yang dijanjikan Madam Celine.
"Mahkota Anda, Nona," bisik Xavier parau.
Seraphine membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat sebuah cincin stempel kuno keluarga Seraphine, simbol otoritas tertinggi yang hanya boleh dipakai oleh kepala keluarga. Luna menatap cincin itu, lalu menatap sekolah di belakangnya. Tempat ini adalah saksi bisu transformasinya dari seorang budak menjadi penguasa.
"Pakai, Xavier," perintah Seraphine.
"Nona?" Xavier tertegun.
"Pakai di jariku. Aku ingin kamu yang melakukannya. Karena tanpamu, cincin ini hanya akan menjadi lambang keserakahan seperti milik Paman Hendra," suara Seraphine bergetar, namun ia menahan air matanya agar tidak jatuh di depan publik.
Dengan tangan yang gemetar, Xavier memasangkan cincin itu di jari manis Seraphine. Detik itu juga, secara simbolis, Luna bukan lagi sekadar ahli waris yang sedang diuji. Ia adalah The Matriarch. Pemimpin tunggal Seraphine Global.
Alih-alih langsung merayakan kemenangannya, Seraphine memerintahkan Xavier untuk membawanya kembali ke mansion utama. Ia tahu ada satu hutang penjelasan yang belum dibayar. Madam Celine menunggunya di perpustakaan, tempat yang sama di mana Luna pertama kali diajarkan tentang "Bahasa Keheningan".
Madam Celine duduk di kursi goyangnya, menatap perapian yang menyala. "Kamu melakukannya, Aluna. Kamu menghancurkan mereka semua di depan dunia. Kamu adalah Seraphine yang paling sempurna yang pernah aku bentuk."
Seraphine melangkah maju, membuang jubah wisudanya ke lantai. "Aku bukan bentukanmu, Madam. Aku adalah hasil dari sisa-sisa kehancuran yang kamu ciptakan sepuluh tahun lalu. Sekarang, katakan padaku sekarang juga, sebelum aku memutuskan apa yang harus aku lakukan padamu... apakah kamu menyesal telah membuang Ibuku?"
Madam Celine terdiam cukup lama. Api di perapian memantul di matanya yang mulai berkaca-kaca, sebuah pemandangan langka. "Menyesal? Setiap malam aku mendengar suaranya, Aluna. Tapi Seraphine adalah kapal besar. Jika aku tidak membuang ibumu yang 'retak' saat itu, kapal ini akan tenggelam oleh ambisi Hendra. Aku melindungimu dengan cara menjauhkanmu dari predator di rumah ini."
"Apa? Kau melindungiku... Dari apa Madam Celine... Melindungiku untuk apa? Apakah dengan membiarkanku kelaparan?!" suara Seraphine meninggi.
"Aku mengirim Xavier untuk mencarimu sejak hari pertama kamu menghilang," Madam Celine mendongak, menatap Xavier yang berdiri di ambang pintu. "Xavier tahu itu. Dia menemukannya lebih cepat dari yang aku duga, tapi aku memerintahkannya untuk mengawasimu dari jauh. Aku ingin kamu ditempa oleh api selokan sebelum aku menarikmu kembali ke atas takhta."
Seraphine menoleh ke arah Xavier. Pria itu menunduk, mengakui kebenaran pahit itu. Bahwa selama sepuluh tahun masa sulitnya, Xavier selalu ada di sana, di bayang-bayang, memastikan Luna tidak benar-benar mati, namun membiarkannya tetap menderita agar mentalnya terbentuk.
Rasa dikhianati yang baru muncul membuat Seraphine merasa sangat kesepian di tengah kemegahannya. Ia menyadari bahwa seluruh hidupnya, dari titik terendah hingga titik tertinggi, telah diatur sedemikian rupa oleh orang-orang yang mengklaim mencintainya.
"Kalian semua sama saja," bisik Seraphine. Ia memutar cincin di jarinya. "Kalian mencintai ide tentang 'Seraphine', bukan mencintai Aluna."
Seraphine berbalik menuju pintu. "Xavier, siapkan dokumen pengasingan untuk Madam Celine. Beliau akan menghabiskan sisa hidupnya di villa Zurich. Tanpa akses komunikasi, tanpa kekuasaan. Ini adalah harga yang harus dia bayar dari sepuluh tahun penderitaanku dan juga penderitaan yang dialami oleh ibuku."
"Nona..." Xavier mencoba bicara, namun tatapan tajam Seraphine menghentikannya.
"Dan kamu, Xavier... kamu akan tetap di sampingku. Bukan sebagai asisten Madam Celine, tapi sebagai bayanganku. Kamu akan melihatku menjadi monster yang kalian ciptakan sendiri. Dan itu akan menjadi hukumanmu karena telah membiarkanku menderita selama sepuluh tahun ini."
Seraphine melangkah keluar dari mansion, air matanya akhirnya jatuh saat ia menatap langit malam Jakarta yang tanpa bintang. Ia telah memenangkan perang, ia telah mendapatkan kekuasaan, namun ia telah kehilangan hatinya.
Di dalam limusin, ia memeluk fotonya bersama ibunya saat mereka masih miskin. Foto yang lecek dan kotor, satu-satunya benda yang masih memiliki "jiwa".
"Ibu... Lihat... aku sudah menang," gumamnya di tengah isak tangis yang tertahan. "Tapi kenapa rasanya begitu dingin dan menyakitkan?"
Mobil melaju menembus malam, membawa sang Ratu menuju istananya yang baru, sebuah dunia di mana ia memiliki segalanya, namun tidak memiliki siapa-siapa.
Kemenangan yang pahit! Luna telah mengasingkan Neneknya dan mengikat Xavier dalam hukuman pengabdian seumur hidup. Musuh-musuh sekolahnya telah runtuh, namun musuh dalam dirinya baru saja lahir. Mampukah Seraphine menemukan kembali kedamaian, ataukah ia akan menjadi tiran baru yang lebih kejam dari Madam Celine?
🔥 LIKE jika kalian setuju dengan keputusan Luna mengasingkan Neneknya!
💬 KOMEN DI BAWAH : Apakah Xavier pantas dihukum setelah selama 10 tahun diam-diam mengawasi penderitaan Luna? Apa yang akan kalian lakukan jika jadi Luna?
📢 SHARE bagian ini ke semua orang! Kita baru saja menyaksikan lahirnya seorang Legenda yang terluka!