Bayinya tak selamat, suaminya berkhianat, dan ia bahkan diusir serta dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertuanya.
Namun, takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi ibu susu untuk bayi seorang Mafia berhati dingin. Di sana, ia bertemu Zandereo, bos Mafia beristri, yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas rasa sakitnya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Ikuti kisahnya...
update tiap hari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 #Memohon Kesempatan
Beberapa jam berlalu, Balchia gelisah. Pesan untuk Zander tak kunjung berbalas. Foto yang ia kirim seolah lenyap ditelan angin. Laporan dari Rames pun tak ada kabar. Senja telah berganti malam, ia akhirnya memberanikan diri keluar dari kamar.
Di meja makan, Ayah, Nenek, dan kakaknya sudah berkumpul. Ayahnya, Tuan Moretti, dan sang kakak menyambutnya dengan senyum hangat, seolah Balchia adalah cahaya yang dinanti. Namun, tatapan Neneknya yang duduk di samping sang Ayah terasa dingin dan menusuk.
“Aku sudah memberikan cucu laki-laki bagi keluarga ini, tapi wanita tua ini masih saja membenciku,” gerutu Balchia dalam hati sambil menarik kursi di samping kakaknya.
Makan malam berlangsung damai, meski Balchia tak bisa sepenuhnya tenang. Getaran ponsel di saku membuatnya terkesiap. Sebuah pesan dari Zander. Jantungnya berdegup kencang, ia mengira Zander akan membahas Sahira. Namun, dugaannya meleset jauh. Pesan itu berisi kalimat-kalimat dingin yang menusuk.
"Kau pembohong. Aku akan menceraikanmu."
Dunia Balchia runtuh. "Cerai? Kenapa aku yang diceraikan?" Suara hatinya berteriak. Ia langsung berdiri, membuat tiga pasang mata menoleh ke arahnya.
"Ada apa, Chia?" tanya Tuan Moretti, bingung.
"Maaf, Yah, aku harus pulang sekarang," jawab Balchia, suaranya tercekat.
Namun, sebelum ia sempat beranjak, seorang pelayan muncul dengan wajah panik. "Tuan, Nyonya, orang tua Tuan Zander datang," lapornya.
Kecemasan Balchia melonjak. "Mama dan Papa ada di sini? Kenapa tiba-tiba?" Ia mencoba menenangkan diri. "Aku harus tenang. Siapa tahu mereka hanya ingin membahas Kakek Ray," gumamnya dalam hati sambil menarik napas panjang.
Di ruang tamu, suasana tegang terasa begitu pekat. Tuan Daren dan Nyonya Mauren duduk dengan wajah datar, menolak sambutan hangat dari Tuan Moretti dan Nenek Balchia.
"Bagaimana kondisi Raymond?" tanya Tuan Moretti, berusaha memecah keheningan.
Alih-alih menjawab, Tuan Daren menatap tajam ke arah Balchia yang duduk di samping kakaknya. "Kenapa, Pa?" tanya Balchia gugup.
Tuan Daren tak menjawab. Ia hanya melemparkan sebuah berkas tebal ke atas meja. Tuan Moretti menatapnya bingung. "Apa ini, Daren?"
"Jejak kelakuan putrimu selama ini, Moret," jawab Tuan Daren dengan suara dingin.
Balchia tertegun. "Jejak kelakuanku? Maksud Papa apa?"
Pertanyaannya diabaikan. Pasangan itu tak sudi menatapnya. Balchia semakin gelisah. Tuan Moretti membuka berkas itu, dan raut wajahnya langsung berubah. Tubuhnya membeku, tangannya gemetar hebat.
"Ada apa, Moret?" Nenek Balchia bertanya, curiga.
"Ayah, kau baik-baik saja?" Balchia dan kakaknya bertanya serentak.
Tak sabar, Nenek merebut berkas itu. Matanya membelalak, lalu menajam ke arah Balchia. "Kau...!" teriaknya penuh amarah.
Balchia ketakutan, segera memeluk lengan kakaknya.
"Ada apa, Nek?"
"Dasar cucu kurang ajar! Bodoh! Apa semua ini, Balchia? Kenapa kau tega membohongi keluarga suamimu?! Kenapa kau menyembunyikan ini dari kami?!" Wajah Neneknya memerah padam.
"Aku... aku tidak paham, Nek," Balchia tergagap.
"Nek, tenanglah. Jelaskan pelan-pelan," pinta kakaknya, merasa kasihan.
Nenek Balchia menyerahkan berkas itu pada cucu tertuanya. Kakaknya membaca, lalu matanya terbelalak. Di dalam berkas itu ada foto-foto Balchia bersama Julian, dan rahasia kehamilan palsu serta kematian sahabat adiknya.
"Chia... Kakak tidak menyangka kau sekeji ini. Kenapa kau berbohong?" Suara kakaknya bergetar, penuh kekecewaan.
"Tidak... ini tidak benar, Pa, Ma! Kalian jangan percaya isinya!" bantah Balchia, menggelengkan kepala.
BRAK!
Suara Tuan Daren memukul meja menghentikan semua perdebatan. Matanya menyala, penuh amarah.
"Jadi kau meragukan temuan kami?" suaranya menggelegar.
"Bukan begitu, Pa. Mungkin ini jebakan. Aku... aku tidak pernah berbohong. Aku benar-benar hamil," Balchia berujar dengan mata berkaca-kaca.
"Hentikan, Chia!" Nyonya Mauren membentaknya. "Kau tidak pernah hamil. Kau bukan ibu dari baby Zee."
Balchia tertunduk, panik. "Sial, bagaimana mereka bisa tahu? Apa pengasuh keparat itu yang melapor?" pikirnya, merasa terpojok.
Ia pun berlutut, meneteskan air mata palsu. "Pa, Ma, Yah, Nek, Kak... aku salah. Aku minta maaf. Aku memang berbohong, tapi tidak bermaksud mengkhianati kalian. Aku hanya... tidak mau hamil."
"Dasar bodoh! Kenapa kau tidak mau hamil anak dari keluarga Raymond?! Apa kau tak sudi melahirkan pewaris Zander?!" Neneknya meledak.
Balchia menunduk dalam. "Bukan begitu, Nek. Aku... hanya tidak mau bentuk tubuhku berubah."
Ia beralih menatap mertuanya. "Pa, Ma, maafkan aku. Aku menyesal. Beri Chia kesempatan." Balchia terisak-isak.
Kakaknya yang sedari tadi diam akhirnya bertanya, "Kalau begitu, kenapa kau tega membunuh sahabatmu sendiri?"
"Aku terpaksa, Kak. Dia ingin merebut baby Zee dariku. Dia berniat menggantikan posisiku," jawab Balchia jujur.
Tuan Daren dan Nyonya Mauren serentak berdiri. "Semua sudah jelas. Jangan pernah lagi kau kembali ke rumah kami," Tuan Daren berucap dingin.
"Apa maksud, Papa?" Balchia terguncang.
"Tante kecewa, Chia. Tante tidak bisa lagi menganggapmu menantu. Kau telah menipu Kakek Zander dan mengkhianati kepercayaan kami," tambah Nyonya Mauren.
Balchia beringsut, memeluk kaki Nyonya Mauren. "Tidak, Ma, jangan buang aku! Aku janji akan berubah. Aku akan hamil anak Zander. Beri aku kesempatan." Kali ini, air matanya sungguh mengalir, bukan lagi rekayasa.
“Ada apa ini ribut-ribut?” sahut seorang wanita yang seumuran dengan Nyonya Mauren tengah berdiri di belakang mereka dan tampak baru saja pulang dari perusahaannya, tak lain adalah Ibu tiri Balchia dan merupakan putri tertuanya Nenek Balchia. Wanita itu terkejut melihat Balchia menangis di lantai.
“IBU!!” Balchia bergegas memeluk Ibu tirinya itu.
“Ibu, tolong aku...” adu Balchia ketakutan karena Neneknya di sana kini seakan ingin memukulnya sampai mati. Semua orang tengah menatapnya dengan tatapan menghakimi. Balchia hanya bisa berharap perlindungan dari Ibu tirinya itu.
“Sebenarnya apa yang sudah terjadi, Bu??” tanya wanita itu lagi kebingungan pada Nenek Balchia sambil mengusap-usap lembut punggung Balchia.
percays sama jalang, yg akhir hiduo ny tragis, itu karma. ngejahati sahira, tapi di jahati teman sendiri. 😀😀😀