Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Kafe Kecil Dan Nadira.
Pukul empat pagi.
Langit mulai menampakkan semburat birunya yang pertama. Dewa akhirnya memutuskan untuk kembali pulang. Tubuhnya lelah, tapi bukan itu yang terasa paling berat. Ada sesuatu di dalam dirinya yang penuh—terlalu penuh, hingga tak tahu lagi bagaimana cara mengosongkannya.
Begitu membuka pintu, lampu ruang tamu menyambutnya dengan cahaya kuning yang hampa. Rumah itu sunyi, terlalu sunyi. Dewa menaiki anak tangga tanpa suara, langkahnya pelan, seakan enggan menapaki lantai rumah yang semestinya ia jaga.
Baju kerjanya terasa lengket, berbau alkohol dan asap rokok. Tak sedingin biasanya. Mungkin karena tubuhnya hangat oleh emosi yang belum sempat ia beri nama.
Saat memasuki kamar, ia mendapati Nadira sudah tertidur. Wajahnya tenang, tertutup sebagian oleh helaian rambut yang jatuh, dengan ponsel tergeletak di samping pipinya. Cahaya dari layar yang masih menyala samar-samar menyorotkan notifikasi pesan yang tak sempat terbaca.
Dewa tak berkata apa-apa. Ia hanya membuka lemari, mengambil pakaian santai, meletakkannya di atas kasur, lalu masuk ke kamar mandi begitu saja.
Air dingin mulai membasahi tubuhnya, menuruni bahu, menyusuri dada, menyatu dengan keringat dan debu dari malam yang panjang. Ia menunduk, membiarkan air mengalir seolah bisa membawa perasaan itu pergi. Tapi tidak. Ia tetap tinggal. Perasaan yang sama. Yang muncul setiap kali ia sendirian.
⸻
Sudah dua hari berlalu sejak malam itu.
Dan untuk dua hari berturut-turut, Dewa pulang. Diam-diam. Tanpa kata-kata, tanpa permisi. Tapi pulang.
Seperti biasa, ia memilih untuk tak banyak bicara dengan Nadira. Ia berusaha menghindari tatapan, membatasi keberadaan mereka di ruang yang sama. Namun, entah sejak kapan, kehadirannya yang diam tak lagi terasa seperti gangguan bagi Nadira.
Nadira masih melakukan rutinitasnya. Ia tetap memasak, menyiapkan makanan dan meletakkannya di meja makan, lalu pergi tanpa menunggu Dewa duduk. Ia tetap merapikan pakaian-pakaian di lemari, menyapu kamar, dan menyiram tanaman. Semuanya dilakukan.
Mungkin karena kini Nadira sudah punya tempat untuk menyalurkan waktunya—kafe kecil yang pernah Dewa buatkan untuk dirinya. Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Nadira akan pergi ke halaman depan, masuk ke dalam kafe mungil yang kini sepenuhnya berdiri.
Dari jendela ruang kerjanya yang langsung menghadap ke taman, Dewa memperhatikan. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana, matanya terpaku pada pemandangan yang tak biasa.
Di depan kafe itu, berbaris orang-orang yang ia kenal. Para karyawan rumah. Mereka mengantri, satu per satu, di samping pagar besar yang masih tertutup rapat—. Setelah menerima secangkir minuman dan sebungkus makanan dari Nadira, mereka pergi dengan wajah puas.
Nadira berdiri di balik meja bar kecil, dengan apron berwarna krem yang dia kenakan. Senyumnya muncul setiap kali menyodorkan pesanan. Ia tampak berbeda—lebih hidup.
Seolah sedang bermain peran dan menjadikan karyawan sebagai pelanggannya.
Hari menjelang sore, Nadira kembali ke rumah untuk memasak makan malam, Sejak kepulangannya pada pagi itu Dewa selalu makan di rumah. Semua hidangan yang Nadira biarkan saja di atas meja makan mulai disentuh. Beberapa lauk tersisa sebagian, air yang Nadira tuangkan ke gelas habis tidak tersisa dan ada piring kotor yang tergeletak begitu saja, entah itu di meja makan, di meja ruang tamu atau di balkon.
Kini Nadira sedang memotong beberapa sayuran, Saat dia menyadari sosok lelaki berpakaian rapi datang menghampirinya, menggunakan jas dan parfum mewah. Dewa berdiri di seberang meja makan.
"Aku akan pergi, ke sebuah acara penggalangan dana yang di selenggarakan oleh yayasan MSD." Katanya merapikan kancing di lengan bajunya.
Nadira terdiam sejenak, Pisau yang tadinya lihai memotong sayuran juga tidak bergerak sejak kedatangan pria itu. Mungkin karena terpesona, atau mungkin karena ini pertama kalinya Dewa memberitahu Nadira kemana dia akan pergi.
"Iya, Hati hati." jawabnya masih memandangi Dewa.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu