Amrita Blanco merupakan gadis bangsawan dari tanah perkebunan Lunah milik keluarganya yang sedang bermasalah sebab ayahnya Blanco Frederick akan menjualnya kepada orang lain.
Blanco berniat menjual aset perkebunan Lunah kepada seorang pengusaha estate karena dia sedang mengalami masalah ekonomi yang sulit sehingga dia akan menjual tanah perkebunannya.
Hanya saja pengusaha itu lebih tertarik pada Amrita Blanco dan menginginkan adanya pernikahan dengan syarat dia akan membantu tanah perkebunan Lunah dan membelinya jika pernikahannya berjalan tiga bulan dengan Amrita Blanco.
Blanco terpaksa menyetujuinya dan memenuhi permintaan sang pengusaha kaya raya itu dengan menikahkan Amrita Blanco dan pengusaha itu.
Namun pengusaha estate itu terkenal dingin dan berhati kejam bahkan dia sangat misterius. Mampukah Amrita Blanco menjalani pernikahan paksa ini dengan pengusaha itu dan menyelamatkan tanah perkebunannya dari kebangkrutan.
Mari simak kisah ceritanya di setiap babnya, ya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Perhatian Semua Orang
Denzzel Lambert melompat turun dari bak belakang mobil pengangkut buah.
"Kenapa semua orang yang kutemui tidak melakukan tugasnya dengan benar ?!" ucap Denzzel sembari melirik tajam ke arah Baron Axel sedangkan sepupu laki-laki Amrita hanya bisa terdiam kaku ketika Denzzel mengawasinya.
Denzzel langsung mengulurkan tangannya ke arah Amrita sembari berkata padanya.
"Mari turun, Amrita !" kata Denzzel.
Amrita segera beringsut menggeser tubuhnya dari bak belakang mobil pengangkut mobil buah ke arah Denzzel Lambert yang menunggunya di tepi mobil.
"Kau bisa mendekat kepadaku, Amrita", kata Denzzel.
"Sepertinya agak sulit tapi aku akan mencobanya", kata Amrita dengan merangkak pelan ke arah Denzzel Lambert.
"Perlu aku bantu", kata Denzzel.
"Tidak usah, aku akan mencobanya sendiri", sahut Amrita berusaha mencapai Denzzel yang berdiri dibelakang mobil pengangkut buah dengan tangan masih terulur ke depan.
Denzzel terus saja berdiri menunggu Amrita sampai kepadanya.
"Agak lama aku mencapai ke tempatmu, Lambert", kata Amrita.
"Baiklah, aku akan mendatangimu, Amrita", kata Denzzel yang kembali naik ke atas bak belakang mobil pengangkut buah yang mirip mobil pick up.
DRAP... !
Denzzel segera berjalan cepat ke arah Amrita lalu berjongkok didekatnya sambil berkata.
"Naik ke atas punggungku, aku akan menggendongmu dipunggung", kata Denzzel.
"Tapi aku agak berat, dan kau akan kelelahan, Lambert", kata Amrita.
"Tidak, aku tidak merasa lelah sekarang karena aku telah lama beristirahat tadi selama perjalanan ke bungalow", kata Denzzel.
"Oh, benarkah ?" sahut Amrita.
"Ayo, naiklah ke atas punggungku, cepatlah sedikit, Amrita !" sahut Denzzel pada Amrita.
Amrita segera mematuhi perkataan Denzzel, dia naik ke atas punggung suaminya.
"Kita turun sekarang, Amrita", kata Denzzel seraya menggendong Amrita dipunggungnya lalu berjalan ke arah tepi mobil pengangkut buah.
Denzzel dibantu Baron Axel dan Poppy ketika dia akan turun dari atas mobil pengangkut buah.
"Biar kami bantu kamu, Denzzel", kata Poppy sembari mengulurkan kedua tangannya ke arah Denzzel yang menggendong Amrita dibelakang punggungnya.
"Terimakasih...", sahut Denzzel seraya menatap teduh pada dua sepupu kembar Amrita yang menunggunya di bawah mobil.
"Mari kami bantu menurunkan Amrita", sahut Baron Axel lalu membantu Denzzel yang agaj kesulitan menurunkan Amrita dari punggungnya.
"Ya...", sahut Denzzel dengan suara paraunya sembari menurunkan Amrita dari gendongan punggungnya.
"Hati-hati, Amrita !" kata Baron Axel ketika Amrita turun dari atas punggung Denzzel.
"Ya, terimakasih", sahut Amrita seraya turun berhati-hati.
"Perhatikan langkahmu, tidak perlu terburu-buru, Amrita !" kata Poppy Baldwin yang memegangi tangan Amrita Blanco.
"Ya...", kata Amrita saat dia turun.
"Tunggu, Amrita !" ucap Denzzel kembali melompat dari bak mobil pengangkut buah lalu berdiri di dekat Amrita.
Denzzel segera menggendong Amrita seraya berjalan ke arah bungalow.
Tampak Baron Axel mengikutinya bersama Poppy Baldwin dari arah belakang menuju bungalow di depan sana.
"Apa kau bisa membantuku membukakan pintu bungalow untukku ?" tanya Denzzel.
"Ya, aku bisa membukakannya, dimana kunci bungalow kau simpan, Denzzel ?" tanya balik Baron Axel.
"Tolong geser jaket kulitku ke arah kanan dan ambillah kunci yang tergantung pada ikat pinggangku, Baron Axel !" sahut Denzzel.
"Ba-baiklah...", sahut Axel segera menggeser jaket kulit yang dikenakan oleh Denzzel untuk mengambil kunci bungalow.
"Tolong, cepatlah !" perintah Denzzel pada Baron Axel.
"Ya, baik, akan aku lakukan", jawab Axel sembari melangkah ke arah pintu bungalow untuk membuka pintu.
Pintu segera terbuka dari luar bungalow, bergegas masuk Denzzel Lambert seraya menggendong Amrita ke dalam ruangan utama bungalow.
Langkah kaki Denzzel terdengar menggema dari dalam ruangan utama bungalow ketika dia berjalan cepat menuju sofa panjang di tengah-tengah ruangan.
Tap... Tap... Tap...
Denzzel segera membaringkan tubuh Amrita ke atas sofa panjang lalu duduk disisi tepi sofa sembari memebelai rambut Amrita.
"Ada yang kau inginkan, aku akan mengambilkanmu makanan atau minuman, Amrita", kata Denzzel.
"Aku haus, sepertinya minuman saja yang aku perlukan saat ini", kata Amrita.
Amrita mengelus-elus tenggorokannya yang kekeringan haus lalu menelan salivanya ke dalam tenggorokannya.
"Tolong ambilkan segelas minuman untukku, kumohon padamu, Lambert !" pinta Amrita dengan wajah memelas.
"Ya, aku akan mengambilkannya segelas air minuman untukmu", kata Denzzel seraya bergegas berdiri dari atas sofa panjang.
"Terimakasih...", balas Amrita seraya tersenyum manis.
Denzzel mengangguk cepat seraya menoleh sekilas lalu berjalan ke arah dapur bungalow.
"Amrita..., kau baik-baik saja...", kata Poppy langsung duduk di dekat tepi sofa panjang dimana Amrita berbaring diatasnya sedangkan Baron Axel duduk di kursi lainnya yang menghadap ke arah sofa.
"Ya, Poppy, aku baik-baik saja, kuharap cedera kakiku segera sembuh", kata Amrita seraya menggosok-gosok kakinya yang letih.
"Aku panggilkan perawat kesehatan, ya, biar dia merawatmu sampai kau sembuh dari cedera kaki", kata Poppy yang sangat cemas.
"Perkebunan libur dua hari ke depan, tidak ada petugas kesehatan yang berjaga-jaga disana sampai perkebunan beroperasi kembali", kata Amrita.
"Oh, iya, aku lupa hal itu", sahut Poppy.
"Tenanglah, Poppy, aku baik-baik saja, jangan pikirkan tentang keadaanku, ada suamiku yang akan menjagaku disini", sahut Amrita seraya tersenyum.
"Benarkah itu, aku masih meragukan dia akan menjagamu dengan baik", sahut Poppy.
"Jangan berpikiran buruk tentang Denzzel, dia sangat baik meski kelakuannya agak misterius dan sedikit aneh dari kebiasaan orang lain", bujuk Amrita agar Poppy Baldwin, sepupu perempuannya tidak merasa kuatir padanya.
"Oh, iya, benarkah itu ?!" sahut Poppy seraya melirik cemas.
"Percayalah padaku, dia akan menjagaku dengan baik selama aku cedera kaki, dia selalu merawatku dengan telaten", kata Amrita seraya menepuk-nepuk bagian atas tangan Poppy Baldwin.
"Aku berharap kamu senantiasa bahagia, Amrita", kata Poppy dengan wajah simpati pada Amrita yang bernasib buruk karena harus menikahi seorang laki-laki berprilaku aneh.
"Percayalah padaku, Poppy !" sahut Amrita sembari mengelus-elus pipi Poppy Baldwin dengan tatapan lembutnya.
"Kenapa aku selalu datang terlambat sehingga tidak mampu membantu saudari sepupuku sendiri, semestinya aku selalu ada setiap kau butuhkan karena kita bersaudara, Amrita", ucap Poppy terisak-isak sedih.
"Oh, Poppy, jangan murung seperti ini, aku akan semakin sedih jika kau bersikap demikian", ucap Amrita lalu memeluk Poppy agar dia merasa tenang.
"Aku harus bagaimana agar kau bisa bebas, Amrita...", ucap Poppy lalu bersandar pada bahu Amrita seraya menangis sesenggukkan.
"Aku sudah bebas bahkan aku bahagia saat ini, percayalah padaku", jawab Amrita seraya mengusap-usap punggung saudari sepupunya.
"Amrita... Hu uuuh... Hu uuuh... Hu uuuh...", isak tangis Poppy Baldwin.
"Jangan bersedih, Baldwin !" kata Amrita.
"Bagaimana aku tidak sedih melihatmu menderita seperti ini, semestinya kau mendapatkan semua kelayakan seorang bangsawan Baldwin Rosemary bukannya berkutat di tanah perkebunan Luhan layaknya pemetik buah", kata Poppy dalam isak tangsinya.
"Aku senang bisa mengurusi tanah perkebunan Luhan", kata Amrita.
"Tapi kau terlalu baik untuk mereka", kata Poppy.
"Percayalah aku bisa mengatasi keadaan sesulit apapun juga", sahut Amrita.
"Cobalah kau menelpon kami jika kau butuh kami, segera kami datang membantumu, Amrita", sahut Poppy.
"Ya, aku akan menelponmu jika aku memang memerlukannya", kata Amrita.
"Jangan saat kau memerlukannya, sebab aku ingin kau menelpon kami sewaktu-waktu bila kau senggang, tidak usah menunggu sewaktu-waktu", kata Poppy.
"Ya, ya, ya, baiklah", sahut Amrita.
"Aku berharap kau selalu baik-baik, tapi kenapa paman Blanco justru membuat hidupmu tersia-siakan seperti ini, pernikahan ini menurutku paksaan, Amrita", sahut Poppy Baldwin.