Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.
Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat ketika mendekati acara pernikahan akan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.
Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.
Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.
Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 31 - Kontrak Baru
Pintu apartemen tertutup dengan dentuman keras. Aku berdiri mematung di dekat rak sepatu, memandang Darius yang tampak meledak-ledak dengan emosinya.
Darius melempar kunci ke atas meja dengan kasar. Napasnya memburu, emosinya sudah berada di ubun-ubun. Aku bisa merasakannya, udara di antara kami begitu panas, mencekik.
Aku membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu—apa pun. Tapi yang keluar hanya embusan napas.
Berjalan mendekat, Darius sudah duduk di atas sofa dengan menggunakan kedua tangan sebagai tumpuan dagu. Aku menarik napas panjang sebelum memutuskan duduk di sampingnya.
“Bukan cuma kamu yang kesal dengan situasi ini, Mas. Aku juga. Seharusnya aku tidak ikut bersamamu tadi,” ungkapku sambil memainkan ujung rok.
Meski tak melihat, aku bisa merasakan saat ini Darius sedang menatapku. Embusan napasnya yang patah-patah terdengar lebih jelas.
“Kalau kamu tak ikut, mereka akan tetap melakukan itu di belakangmu, Soraya. Seolah kamu tak pernah ada. Dan mungkin Ibu akan lebih memaksa, mengurungku di sana sampai dia mendengar jawaban yang diinginkan.” Suaranya akhirnya pecah, dingin dan penuh tekanan.
Aku pun menoleh. Kutatap matanya yang terlihat sedikit lebih tenang, tapi tetap merah padam. “Memangnya sekarang jadi lebih baik?” tanyaku kemudian.
“Ayahmu masih terbaring koma, Ibumu mempermalukanku, dan aku—”
“Dan kamu apa?” serobot Darius sambil menaikan dagu, seakan sedang menantangku.
Aku menelan ludah susah payah.
“Kamu menyesal karena kamu berdiri di sana? Karena aku menunjukkan di depan mereka semua bahwa kamu bukan boneka yang bisa mereka buang sewaktu-waktu?” tambahnya dengan penekanan.
Lidahku kelu, tak mampu berkata apa-apa. Seakan isi kepalaku kosong, gelap yang membuatku memilih untuk menunduk.
Dan tiba-tiba aku dibuat terkesiap ketika Darius mendaratkan kedua tangannya pada bahuku. Lantas berbisik lembut detik itu juga, “Aku minta maaf untuk itu, Soraya. Kamu tahu betul, bahwa itu di luar kendaliku. Mungkin kamu menyesal ikut karena mendapat perlakuan tak menyenangkan di sana, jadi sekali lagi aku minta maaf.”
Tanpa alasan yang jelas, usai dia mengatakan hal itu aku langsung mengangkat pandangan. Menepis kedua tangannya yang sukses membuat bulu kudukku meremang.
“Ada apa, Soraya?” Darius menatapku bingung.
Entah karena tiba-tiba disentuh atau karena suaranya yang mendadak melembut, aku jadi merasa geli sendiri—kembali membayangkan ucapan terakhir Darius di rumah sakit tadi.
Tapi mungkin itu salah satu bentuk atau cara yang Darius tunjukkan padaku, bahwa dirinya sudah sedikit tenang dan tak mau membuatku takut. Namun tetap, aku tidak suka caranya yang mendadak itu.
Aku sedikit menyeret bokong ke samping, memberi jarak. Tanganku memeluk tubuhku sendiri, pandanganku diseret ke mana pun, menghindari kontak mata dengannya.
“Kamu tidak akan mengerti, Mas,” kataku setengah berbissik.
“Sejak awal pernikahan ini hanyalah formalitas bagi mereka, bagi kamu! Tapi bagiku? Ini pertaruhan. Aku sudah kehilangan segalanya, Mas! Keluargamu membenciku, bahkan kini keluargaku pun juga membenciku. Lalu sekarang keluargamu menawarkan sebuah jalan keluar bagiku, dengan menyarankan perceraian.”
“Soraya,” panggilnya sambil menggeleng lemah, seakan takut mendengar kalimat yang akan kukatakan selanjutnya. “Aku mohon—”
Sontak aku menyela, “Kalau aku mau, aku bisa berada dipihak mereka. Dengan setuju adanya perceraian, jadi—”
“Ayo kita buat perjanjian ulang!” kata Darius yang kini gilirannya memotong ucapanku.
Dahiku mengernyit. “Perjanjian ulang bagaimana?”
“Tetaplah di sisiku, Soraya.”
Aku memutar bola mata, menarik pandangan ke samping sekilas. “Sampai kapan? Dan apa alasanmu mengajakku untuk melakukan perjanjian ulang, Mas?”
“Alasannya begitu sederhana, Soraya. Kondisiku terdesak. Kamu tahu bahwa keluargaku sangat menginginkan keturunan, dan jika kamu memilih setuju untuk bercerai lalu aku menikah dengan perempuan itu, aku yakin pasti kesulitan untuk melakukan kesepakatan yang sama seperti ini dengannya,” paparnya dengan nada berusaha meyakinkan.
Sejurus kemudian, Darius menunduk. Mengacak-acak rambutnya seakan frustasi.
“Aku benci melakukan ini. Melakukan drama baru, maka tolonglah aku, Soraya. Kamu tidak sedang terburu-buru ingin menikah dengan pria lain kan?” Kudengar dia berbisik.
Menyebut soal pria lain, pikiranku jatuh pada nama Arjuna. Luka dalam hati yang masih basah itu kembali terasa seperti disayat-sayat, aku sudah kehilangan Arjuna sepenuhnya.
Tak ada yang aku jaga dan usahakan lagi. Dan aku mulai berpikir, setelah ini semua berakhir ... apa yang akan kulakukan?
“Soraya?”
“Kamu baik-baik saja?”
Mataku berkedip-kedip, pikiranku segera beranjak dari lamunan. Kembali menatap Darius yang barusan mencoba melambai-lambai di depan wajahku.
“Ah, iya. A-aku baik-baik saja,” balasku sembari membenarkan poni yang sedikit menghalangi pandangan.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi,” katanya yang kali ini tampak memerhatikanku lebih dalam, matanya sedikit menyipit.
Aku membasahi bibir. “Yang mana, Mas?”
Darius mengulum senyum. “Apa kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang? Lalu punya rencana dalam waktu dekat untuk menikah? Atau mungkin kamu punya kekasih yang super protective yang tak mengizinkanmu berada dalam pernikahan sandiwara ini terlalu lama?”
Kepalaku menggeleng, tak mungkin aku berbohong. “Tidak ada. Kebetulan...” Perlahan aku menarik napas panjang. “Kami baru saja memutuskan untuk berpisah. Jadi, ya, seperti yang kamu bayangkan, aku sekarang sendirian.”
Sulit untuk mengungkapkannya, aku begitu hati-hati. Takut menimbulkan pertanyaan dalam benaknya yang nantinya tak bisa kujawab.
“Itu artinya, kamu dengan ... laki-laki itu sekarang sudah resmi berpisah?” tanya Darius pelan tapi menusuk.
Namun ketika menyadari ekspresiku berubah, Darius buru-buru menegapkan punggung, mengganti topik pembicaraan seolah pertanyaannya barusan tak lagi penting.
“Kalau memang begitu keadaannya, maka aku tak perlu terlalu khawatir. Karena aku tahu, saat ini kita sama-sama sendiri, yang artinya—”
“Tunggu, tapi kamu tidak benar-benar melakukan seperti yang kamu katakan pada Ibumu tadi kan? Tentang ucapanmu yang bilang, bahwa mungkin nantinya kamu akan jatuh cinta padaku?” potongku yang ingin mendapat kejelasan.
Darius terdiam sesaat, sebelum akhirnya terkekeh, yang entah mengapa aku melihat ekspresinya itu seperti tak alami.
“Kamu tenang saja, Soraya. Itu hanya sebagai ancaman atau pemahaman sementara untuk ibuku, seakan aku menekannya bahwa apa yang telah dibangunnya ini akan selalu ada resiko atau konsekuensi yang bisa terjadi,” ungkap Darius.
“Dan soal perjanjian di antara kita, aku bisa ubah klausul kontraknya. Aku bisa pastikan kamu tidak dirugikan. Bahkan jika kamu ingin kompensasi pun aku tak keberatan,” lanjutnya, suaranya lebih pelan, seperti menyusup ke dalam dadaku.
Aku membuang napas pasrah. “Baiklah. Lalu, sampai kapan aku ada di sini, dalam permainan sandiwaramu ini?”
Sepasang mata Darius bergerak-gerak, seakan mencari jawaban yang pasti. “Setidaknya, tunggu sampai aku sembuh dan ingatanku benar-benar kembali, Soraya. Karena aku merasa...”
“... Aku telah melewatkan atau melupakan suatu hal yang besar. Aku seperti menanggung beban yang lebih dari sekadar dipaksa untuk memberi keturunan atau pun memperbaiki nama perusahaan.”
Tatapan yang dilapisi kebingungan itu mendarat padaku. “Atau kamu ... tahu sesuatu, Soraya?”
***
aku mampir ..