NovelToon NovelToon
Balas Dendam Istri Yang Tersakiti

Balas Dendam Istri Yang Tersakiti

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Suami Tak Berguna / Ibu Mertua Kejam / Saudara palsu
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Diandra Deanova

"Ibumu pembunuh!"teriak Amanda.Dadanya bergemuruh.Emosinya berkobar-kobar melihat sang putri kecilnya kini meregang nyawa karena ulah mertuanya.

"Kamu mengatakan ibuku seorang pembunuh?Dia itu mertuamu!Yang berarti ibumu juga Amanda!"teriak Richard tak mau kalah.Ia tak mau ibunya dituduh sebagai pelenyap nyawa putrinya.

Amanda,seorang istri yang harus mencari nafkah karena suaminya , Richard tak mau bekerja setelah dipecat dari tempatnya bekerja.Ia harus mengasuh putrinya yang masih berusia dua bulan,namun tanpa sepengetahuan Amanda,ibu mertuanya memberikan makanan yang belum boleh dikonsumsi oleh bayi , hingga sang anak meninggal dunia.

Bagaimana kelanjutan kisahnya?Ikuti terus yuk kisah mereka🥰

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diandra Deanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 35

Sore itu, suasana lorong kosan terasa berat.Biasanya riuh suara anak-anak kosan yang pulang kerja, atau ibu-ibu yang ngobrol sambil menjemur pakaian.Tapi sore ini,semua orang seolah sengaja menahan napas saat melihat ketiganya masuk ke dalam kosan.

Arin berjalan paling depan. Perutnya yang mulai membuncit tertutup jaket tebal, seolah berusaha

menyembunyikan aib yang sudah terlanjur jadi rahasia umum.Wajahnya tertunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun.Di belakangnya, Richard melangkah dengan tangan mengepal, matanya merah.Antara menahan malu dan marah pada dunia.

Bu Ratna... ah, Bu Ratna tetap seperti

biasanya.Meskipun situasi memalukan itu menampar keluarganya, ia tetap melangkah dengan dagu terangkat tinggi,seolah seluruh dunia yang salah, bukan mereka.

Bisik-bisik terdengar dari balik pintu kamar kosan.Beberapa penghuni yang baru pulang kerja memandang dari jauh, berbisik pelan namun cukup tajam menusuk.

"Eh itu tuh, si Arin..."

"Udah hamil tapi ditinggalin ya..."

"Kasihan, pantesan kosan ini berasa panas terus..."

Satu dua pintu kamar ditutup cepat-cepat, seolah takut terciprat aib.

Sampai akhirnya, Bu Rini — istri

pemilik kosan — keluar dari ruangannya.Dengan wajah canggung, ia menghampiri Bu Ratna dan anak-anaknya.

"Maaf ya, Bu Ratna..." suara Bu Rini pelan, tapi tegas.

"Kami semua sudah musyawarah... demi kenyamanan penghuni yang lain, kayaknya Ibu dan keluarga harus segera mencari tempat tinggal baru."

Bu Ratna melotot, tak terima.

"Apaan sih ini?! Kok main usir aja?!"

Bu Rini menghela napas berat, berusaha tetap sopan meskipun wajahnya sudah merah karena malu harus melakukan ini.

"Ibu tahu sendiri, kan... semenjak masalah ini tersebar, banyak penghuni nggak nyaman... Ada yang sampai mau pindah kosan. Kami nggak enak, Bu.Ini murni demi kebaikan bersama."

Arin menggigit bibirnya keras-keras.

Ingin rasanya ia berteriak, marah, atau sekadar membela diri,tapi semua terasa percuma.Richard menarik lengan Bu Ratna, setengah memaksa.

"Sudah, Bu. Nggak usah ribut. Kita cari kosan lain saja."

Tapi Bu Ratna malah membantak,

"Diam kau! Mentang-mentang Mbakmu belum becus cari duit, malah mau jadi gelandangan.Iya?!"

Richard memejamkan mata keras-keras, menahan diri agar tidak meledak.

Melihat suasana semakin memanas, Bu Rini hanya berkata pelan,

"Kasih waktu dua hari, ya Bu. Biar bisa beres-beres."

Tanpa menunggu jawaban, Bu Rini segera masuk ke kamarnya lagi.Ia terlalu lelah menghadapi orang-orang keras kepala.Arin, Richard, dan Bu Ratna akhirnya masuk ke kamar kosan mereka dengan perasaan campur aduk.Di dalam kamar sempit itu, suasana makin panas.Arin melempar tasnya ke lantai, menangis keras.

"Kenapa sih, hidupku kayak gini! Aku kan cuma mau bahagia!"

Bu Ratna justru mendekat dan mengelus rambut Arin.

"Tenang, Rin. Tenang. Belum tentu dia beneran ninggalin kamu. Dia cuma takut sama bininya aja. Nanti juga balik lagi! Percaya sama Ibu."

Richard mendengus sinis di sudut ruangan.

"Balik? Balik ngapain? Balik buat nambah malu kita? Balik buat nambah anak haram di keluarga kita, Bu?"

"Jaga mulutmu, Richard!" bentak Bu Ratna.

Richard berdiri, berjalan

mondar-mandir di ruangan sempit itu, menahan emosinya yang sudah di ubun-ubun.

"Bu, sadar nggak sih? Kita ini lagi ditendang dari kosan! Ditendang! Karena ulah kalian sendiri!"

Suara Richard bergetar, menahan amarah yang membara.Bu Ratna berkacak pinggang, menatap anak lelakinya dengan pandangan meremehkan.

"Jangan salahin Ibu! Ini semua salah Wira! Kalau aja dia nggak pengecut, nggak takut sama bininya, nggak bakal kayak gini!"

Richard mendekat, matanya menatap Bu Ratna penuh kecewa.

"Masalahnya bukan cuma Wira, Bu. Dari awal Ibu tuh ngedukung Mbak Arin nyerobot suami orang! Mana otaknya, Bu? Emangnya hidup cuma butuh duit doang?!"

Bu Ratna menjentikkan jarinya di udara, seolah mengejek.

"Kalau miskin terus, kamu kuat, ha?! Mau hidup melarat selamanya?!"

Richard menghela napas panjang, kepalanya pening sendiri menghadapi logika ibunya.

"Bukan begitu, Bu! Kita ini udah nggak punya harga diri! Lihat sekeliling! Orang-orang mandang kita kayak apa?! Apa Ibu nggak malu?"

Bu Ratna mengangkat bahunya santai.

"Yang penting hidup enak! Harga diri bisa beliin makan?! Bisa bayar kosan?!"

Arin masih terisak di pojokan, memegangi perutnya sambil gemetar.

Richard memandang kakaknya itu dengan iba dan marah sekaligus.

"Enak? Hidup kayak gini Ibu bilang enak?! Jelas-jelas Mbak Arin dipermalukan! Kita diusir! Besok kita mau tidur di mana, Bu? Di emperan?!"

Bu Ratna membuang muka, pura-pura sibuk membenahi tas plastik lusuh di sudut kamar.

"Nanti juga ada jalannya. Wira pasti balik. Dia kan udah janji mau tanggung jawab."

Richard tertawa sinis, pahit.

"Janji? Janji kayak apa, Bu? Di depan banyak orang aja dia berani lepeh Mbak Arin, ditinggal gitu aja! Apa Ibu pikir dia bakal ngaku anak ini? Dia malah lari ke bininya, Bu!"

Bu Ratna memandang Richard tajam.

"Mulutmu jangan asal, Richard! Kalau nggak bisa bantu, diam!"

Richard akhirnya berhenti berjalan. Ia berdiri diam, menatap ibunya dalam-dalam.

"Baik, Bu. Kalau gitu, mulai hari ini, Richard keluar dari semua urusan ini. Urusan Ibu sama Arin, silakan. Urusan hidup, tanggung sendiri."

Bu Ratna melotot.

"Mau kabur kamu?!"

Richard menggeleng pelan, senyumnya getir.

"Aku bukan kabur, Bu. Aku cuma sadar... aku capek berjuang buat keluarga yang malah bangga hidup dari hasil ngerebut laki orang."

Ia mengambil tas kecilnya, memasukkan beberapa pakaian seadanya.

Bu Ratna memanggil, suaranya keras.

"Hei! Mau ke mana kamu, Richard?! Kamu mau ninggalin ibumu yang susah payah ngelahirin kamu?!"

Richard menoleh sebentar.

Sorot matanya tidak lagi marah, tapi kosong... penuh luka.

"Kalau Ibu masih punya harga diri sedikit aja, Ibu nggak akan ngomong kayak gitu."

Lalu, tanpa menunggu reaksi ibunya, Richard keluar dari kamar kosan itu, membanting pintu keras-keras di belakangnya.

Arin hanya bisa menangis lebih keras, memegangi perutnya yang semakin berat.Bu Ratna berdiri sendiri di tengah kamar, matanya berkaca-kaca, tapi hatinya tetap mengeras.Ia berbisik sendiri, seolah membela dirinya,

"Nggak apa-apa. Yang penting Wira pasti balik. Dia nggak mungkin ninggalin Arin... nggak mungkin."

****

Sore sudah berganti malam.

Lampu-lampu jalanan menyala redup, membias di antara embun tipis.

Richard melangkah tanpa tujuan pasti, hanya membawa tas kecil yang digantungkan di pundaknya.Tak ada tempat untuk pulang. Tak ada lagi rumah, tak ada lagi keluarga tempat bersandar.

Kakinya menapaki trotoar kosong, melewati deretan warung makan yang mulai tutup, melewati sekumpulan anak muda yang tertawa lepas — dunia tetap berputar, seolah mengejek betapa hancurnya hidup Richard malam itu.

Ia menghela napas berat, duduk di kursi beton taman kota. Membuka tasnya, hanya ada beberapa lembar baju kumal, dompet yang isinya lebih banyak bon daripada uang, dan sebuah foto kecil — foto lama bersama keluarganya, di masa semuanya masih terasa normal.

Richard menatap langit malam, kosong.Di kejauhan, suara pengamen jalanan menyanyikan lagu lawas yang nadanya serak, seolah pas dengan suasana hatinya.

"Hidup... hanya sejenak... tak perlu kau tangisi..."

Ia tersenyum getir.Sejenak, pikirannya melayang: andai saja dulu Arin tidak dibiarkan terjerumus... andai saja Ibunya masih peduli harga diri..

Richard mengacak rambutnya kasar.

"Kenapa semua harus kayak gini, Tuhan...?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Ponselnya bergetar di saku celana.Ia mengeluarkannya,satu pesan masuk dari temannya di bengkel tempat ia pernah kerja sambilan dulu:

"Bro, kalau belum ada tempat nginep, sini aja. Di bengkel ada gudang kosong. Nggak nyaman sih, tapi lumayan buat tidur."

Richard mengetik balasan dengan jari gemetar.

"Oke. Thanks banget."

Ia kembali berdiri. Kakinya pegal, tubuhnya lelah, tapi hatinya lebih sakit daripada itu semua.Bukan cuma soal tempat tidur — ini soal rasa kehilangan yang lebih dalam dari sekadar kasur atau atap.Richard berjalan lagi, menelusuri malam, menuju bengkel tua di pinggiran kota.

Malam itu makin pekat.Richard masih terduduk di sudut bengkel kosong, menggenggam foto kecil Aini dengan erat.Matanya memerah, tapi bukan hanya karena air mata,melainkan karena rasa bersalah yang begitu dalam, menikam dadanya tanpa ampun.

"Aini..." bisiknya lirih.

"Papa... Papa gagal jagain kamu, Nak..."

Richard menunduk dalam-dalam, mengingat hari paling kelam dalam hidupnya.

Hari saat Amanda pulang kerja dengan tergesa, mendapati Bu Ratna — ibunya sendiri — tengah menyuapi Aini dengan potongan kecil pisang.

Bayi mungil yang baru dua bulan, masih belum mampu mencerna apapun selain air susu.

Seketika dunia Amanda runtuh.

Aini yang semula ceria, mulai muntah-muntah, sesak, dan akhirnya meregang nyawa dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Dan Richard...

Richard terlalu lambat.

Terlalu percaya pada ucapan ibunya.

Terlalu sibuk membela keluarganya sendiri, hingga melukai perempuan yang paling mencintainya.

Tangannya mengepal kuat-kuat.

"Kenapa aku sebodoh itu... Kenapa aku malah nyalahin Amanda waktu itu...," gumamnya dengan suara bergetar.

Ia memejamkan mata keras-keras, mengingat betapa dulu ia membela mati-matian ibunya yang dengan enteng berkata.

"Ah, cuma pisang, kok. Zaman dulu juga bayi dikasih pisang, sehat-sehat aja!"

Richard menelan ludah pahit.Waktu itu, ia bahkan menuduh Amanda terlalu berlebihan.Terlalu sensitif.

Terlalu "membesar-besarkan masalah kecil."

Padahal masalah kecil itu merenggut nyawa darah daging mereka.

"Salahku... semua salahku..." gumamnya, suara hampir tak terdengar.Namun di sudut hatinya yang terdalam, ada suara kecil yang membisik, penuh pertahanan:

"Tapi... Amanda juga keras kepala. Dia harusnya ngerti, Ibuku nggak pernah bermaksud jahat... Dia harusnya lebih bisa maafin..."

Richard menggeram pelan, membenci suara itu, tapi juga terlalu lemah untuk membungkamnya.Ia menengadahkan kepala ke langit malam yang kelam.

Dada terasa sesak, seolah dunia menghukumnya dengan cara paling sunyi.

"Papa minta maaf, Aini..."

"Kalau Papa boleh minta satu hal...Papa cuma pengin ketemu kamu sekali lagi."

"Ngeliat kamu ketawa lagi... meskipun cuma sebentar."

Richard memeluk lututnya lagi, tubuhnya berguncang perlahan.Dulu ia pikir, dunia selalu salah pada dirinya.Dulu ia pikir, ia yang paling tersakiti.Tapi malam ini, di tengah bengkel kosong yang sepi, Richard sadar — tak ada yang lebih menyedihkan daripada menjadi pria yang gagal jadi suami... dan gagal jadi ayah.

Hening.

Hanya suara napasnya yang berat, dan desir angin malam yang dingin menusuk tulang.

Dalam hati kecilnya, Richard tahu...

Amanda berhak pergi.

Amanda berhak membencinya.

Bahkan, Amanda berhak melupakannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!