"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
"Jangan minum," bisik Hana pada Aaron.
Aaron menatap gelas di tangannya, lalu kembali menatap Hana dengan senyum menggoda. "Gue mulai curiga, kenapa lo mendadak perhatian? Udah mulai jatuh cinta?"
Hana mendengus, matanya menatap tajam ke arah pria itu. "Terserah apa kata lo. Pokoknya gue udah ingetin ya."
Aaron mengangkat bahu, tapi tetap meletakkan gelasnya di meja. “Oke, oke, gue dengerin. Tapi kasih gue alasan kenapa?”
Hana mendekat, suaranya hampir berbisik. "Feeling gue nggak enak. Gue lihat bartender tadi nambahin sesuatu ke dalam minuman lo."
Mata Aaron menyipit, sorot menggoda di wajahnya seketika lenyap, digantikan dengan ekspresi serius. Ia melirik ke arah bartender yang sedang sibuk melayani pelanggan lain.
"Lo yakin?" tanyanya dengan nada lebih rendah.
Hana mengangguk. "Yakin."
Aaron terdiam sejenak, lalu menyeringai kecil. "Gue suka nih, lo perhatian sama gue."
“Udah lah, Aaron. Ini serius.”
Tanpa berkata-kata lagi, Aaron mengambil gelasnya dan pura-pura menyeruput minuman itu. Tapi sebelum cairan menyentuh bibirnya, ia dengan cepat membalikkan badan dan menuangkannya ke lantai.
Hana menahan napas, menunggu reaksi.
Beberapa detik kemudian, seorang pria besar yang duduk di meja belakang tiba-tiba tersentak, tubuhnya kejang-kejang sebelum akhirnya terjatuh dengan busa keluar dari mulutnya.
Hana dan Aaron saling pandang.
“Anjir…” bisik Aaron.
Hana menggigit bibir. “Gue bilang juga apa.”
Aaron menoleh ke arah bartender, yang kini terlihat panik dan mulai mundur ke arah pintu belakang.
"Kayaknya kita baru aja hampir dibunuh," gumam Aaron sebelum melempar kursi dan menerjang bartender yang hendak kabur.
Di dalam kastil, suasana mendadak keos. Namun, kebanyakan anggota Red Dragon tumbang tak sadarkan diri.
Aaron menyadari sesuatu telah terjadi, ia menatap Hana curiga.
"Jangan bilang ini ulah lo??"
Hana menyeringai kecil, matanya memancarkan kepuasan yang sulit disembunyikan. Ia melirik sekeliling, melihat para anggota Red Dragon yang tergeletak tak berdaya.
Aaron mendengus, lalu berjalan mendekat, menatapnya tajam. "Jangan bilang lo yang ngeracunin mereka?"
Hana mengangkat bahu santai. "Bukan gue langsung, tapi… gue punya cara lain."
Aaron mencengkeram lengannya, sorot matanya dingin. "Lo sadar ini bisa bikin lo mati kalau mereka tahu?"
Hana menepis tangannya, tak kalah menatap tajam. "Mati atau nggak, yang jelas ini langkah pertama buat ngejatuhin Red Dragon."
Sebelum Aaron sempat membalas, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Sammy dan anak buah Thunder Wolves muncul dari bayangan, bersiap menyerang.
Aaron terkekeh, melirik Hana dengan tatapan penuh arti. "Jadi ini rencana lo? Bikin mereka tumbang terus nyerang dari dalam?"
Hana mengangguk, lalu mengambil pisau lipat dari sakunya. "Dan sekarang tinggal nyelesain sisanya."
Aaron menyeringai, matanya berbinar dengan kegembiraan. "Gue suka permainan lo, Princess. Tapi jangan lupa, lo masih ada di kandang naga."
Hana tersenyum penuh percaya diri. "Justru itu, gue harus jadi naga yang lebih ganas."
Suara tembakan pertama meledak di udara. Perang di kastil pun dimulai.
Anak-anak Thunder Wolves menyerang dengan mudah karena anggota Red Dragon sudah banyak yang ada dalam pengaruh obat bius."
"IKAT MEREKA SEMUA!!" Titah Sammy pada anak buahnya.
Hana melangkah cepat di antara tubuh-tubuh yang tergeletak, matanya awas mencari satu sosok yang paling ingin ia temui—Big Boss Red Dragon.
Aaron berjalan di sampingnya, memasukkan tangan ke dalam saku dengan ekspresi datar. "Jadi, setelah ini apa? Lo mau bunuh mereka satu-satu?"
Hana tak menjawab, langkahnya hanya terhenti ketika melihat beberapa anggota Red Dragon yang masih sadar mencoba melawan. Namun, Thunder Wolves lebih unggul. Dalam hitungan menit, mereka berhasil melumpuhkan sisa perlawanan.
Sammy mengayunkan tangannya, memberi isyarat pada anak buahnya. "Ikat mereka semua! Jangan sampai ada yang lolos!"
Jeritan dan umpatan terdengar dari anggota Red Dragon yang tertangkap. Beberapa dari mereka masih mencoba meronta, tapi sia-sia.
Hana menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Dendamnya sudah di depan mata, tetapi…
"Lo yakin ini yang lo mau, Han?"
Hana mengepalkan tangannya, menahan lautan emosi yang menggelegak di dadanya. "Gue cuma mau satu orang. Big Boss."
Aaron mengerutkan dahi. "Lo serius, Hana?"
Alih-alih menjawab, Hana menoleh ke Sammy. "Sam, urus orang ini."
Sammy menatapnya sejenak, ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Dengan isyarat cepat, anak buahnya bergerak, meraih lengan Aaron dan memaksanya berlutut.
"Apa-apaan ini?! Hana, lo becanda, kan?" Aaron meronta, tapi dua pria bertubuh besar sudah mengunci pergerakannya.
Hana tetap tak menoleh. Tak ada waktu untuk ragu.
"Lepasin gue, sialan!" Aaron mengumpat, suaranya penuh amarah. "Hana! Lo serius ngelakuin ini ke gue?"
Hana menutup matanya sejenak, menarik napas dalam sebelum akhirnya berbalik, menatap Aaron yang kini diikat di antara anak buah Red Dragon lainnya.
"Gue nggak pernah se-serius ini dalam hidup gue, Aaron."
Mata mereka bertemu—Aaron yang penuh kemarahan dan kebingungan, Hana yang dingin dan tak tergoyahkan.
Namun, dewi keberuntungan sepertinya tidak berpihak kepada Hana malam ini. Dari lorong, muncul anggota Red Dragon lainnya menyerang.
Hana panik, napasnya memburu saat suara langkah kaki mendekat dengan cepat. Dari lorong gelap di ujung ruangan, sekelompok anggota Red Dragon yang masih sadar berhamburan masuk, wajah mereka dipenuhi amarah.
"SIAL!" Sammy mengumpat. "Gue kira mereka semua udah kena obat!"
Tanpa membuang waktu, pertarungan pecah. Suara benturan, jeritan, dan dentingan senjata memenuhi udara.
Hana merogoh pisau lipat dari balik jaketnya, bersiap menghadapi lawan. Namun, sebelum sempat bergerak, sebuah tangan kasar menariknya ke belakang.
Brak!
Tubuh Hana membentur dinding keras. Saat ia mendongak, jantungnya mencelos.
Big Boss.
Pria berhoodie hitam itu berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam, ekspresinya tetap datar namun mengancam.
"Kita akhirnya bertemu lagi, Hana," suaranya dalam, menusuk langsung ke tulang belakang.
Hana mencengkeram pisaunya erat, tangannya gemetar. "Lo siapa?!" suaranya bergetar, tapi matanya tetap menatap tajam.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, ekspresi tenangnya justru membuat Hana semakin gelisah.
"Gue tahu, suatu saat lo bakal nyerang Red Dragon," katanya, suaranya rendah dan dalam.
Ia melangkah mendekat dengan santai, seolah situasi ini sepenuhnya dalam kendalinya. Hana refleks mundur, tapi langkahnya terhenti saat punggungnya menabrak dinding batu dingin di belakangnya.
Sial!
Jantung Hana berdebar kencang, bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena sesuatu dalam sorot mata pria itu terasa… familiar.
"Lo nggak berubah," lanjut pria itu, kini hanya berjarak beberapa inci darinya. "Masih impulsif, masih nggak mikirin konsekuensi."
Hana menelan ludah, mencoba mengabaikan gemuruh di dadanya. "Jangan sok kenal lo!" bentaknya, mengangkat pisau ke depan sebagai peringatan.
Tapi pria itu hanya terkekeh, dan dalam satu gerakan cepat, tangannya menangkap pergelangan Hana, meremasnya kuat-kuat hingga pisaunya terlepas dan jatuh beradu dengan lantai.
Hana membelalak.
Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit, berbisik tepat di telinga Hana.
"Masih nggak inget gue, Hana?"
Hana menahan napas. Sebuah kenangan lama tiba-tiba menyeruak di kepalanya. Wajah itu… suara itu…
Tidak mungkin.
Dengan mata melebar, Hana akhirnya berbisik, "Lo…"
Bersambung...