Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Restu Oppung
Dion dan Wina seakan tak terpisahkan. Keduanya dimabuk cinta. Pertemuan mereka yang semakin intens mendapat perhatian dari nenek Wina yang kerap mendapati keduanya bersikap mesra dan kekanakan.
Sore itu Dion mengantarkan Wina pulang setelah menghabiskan siang di rumah Atik. Saat itu memang libur semester. Wina tidak pulang ke Jakarta karena ibunya sedang mengantarkan Theodore Ignatius atau Theo, adik lelaki Wina yang diterima di salah satu universitas di Amerika Serikat. Sementara ayah Wina masih bertugas di daerah Nusa Tenggara.
Mendengar tawa Wina membuat Oppung menoleh ke gerbang rumah. Meskipun pagar sudah dibukakan, Dion dan Wina terlihat masih berdiri di sana sambil bercanda. Nenek Wina itu kemudian menyuruh Mbak Ria memanggil keduanya ke dalam rumah.
“Mbak dipanggil Oppung ke ruang tamu. Dengan Mas Dion juga,” ujar Mbak Ria membuat Dion dan Wina menghentikan obrolannya dan masuk ke rumah.
“Duduklah kalian berdua. Aku mau tanya sesuatu,” kata Oppung serius pada keduanya yang sudah berada di ruang tamu.
Dion dan Wina menduduki sofa menghadap Oppung yang menatap mereka berdua dari sofa tunggal dengan tajam. Keduanya menjadi khawatir.
“Oppung lihat kalian semakin akrab dan dekat. Jujurlah sama Oppung! Bagaimana sebenarnya hubungan kalian?” tanya nenek Wina dengan logat khasnya mulai menginterogasi.
Wina menunduk, jemarinya saling meremas gelisah. Ia mencoba menyusun kata-kata tapi merasa lidahnya kelu. Sejenak ia melirik Dion dan berharap pemuda itu akan membantunya. Tapi Dion juga sama khawatirnya, ia hanya diam dan tertunduk dengan wajah tegang.
Karena tidak mendengar jawaban dari Wina, Dion berusaha menjawab tapi Oppung menyela dengan mengangkat tangan ke arahnya memberi isyarat agar ia tetap diam.
“Wina, aku mau dengar jawaban darimu lebih dulu!” tegas Oppung.
“Iya, Oppung,” sahut Wina.
“Iya bagaimana?” tanya Oppung yang mengharapkan jawaban lengkap dari cucu tertuanya itu.
“Kami pacaran,” aku Wina singkat masih dengan kepala tertunduk.
Oppung menghela napas. Ia sudah menduga akhirnya cucunya dan Dion akan sampai pada tahap sekarang.
“Apa jawabmu, Dion?” Oppung beralih pada Dion.
Pemuda jangkung itu masih saja terdiam dengan wajah pucat. Seperti Wina, ia juga tak menemukan kalimat tepat.
Setelah menelan ludah, akhirnya ia menjawab, “Iya Oppung, Dion sayang Wina.”
Wina dan Dion masih tertunduk, sementara Oppung menatap keduanya bergantian.
“Baiklah. Oppung belum bilang sudah merestui. Oppung mau lihat dulu kalian beberapa bulan ini. Lagipula restu yang terpenting itu dari orang tua kalian sendiri,” tegas wanita tua itu.
“Usia Wina sekarang sudah dewasa. Sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Maka bersikaplah sesuai umurmu. Dengar kau Wina?” Oppung menasihati cucunya itu.
“Iya Oppung, Wina dengar,” sahut Wina.
Kau Dion! Selama ini kulihat kau pemuda yang baik. Kalau pacaran, jaga Wina dengan baik-baik. Bukan hanya dari orang lain, tapi yang lebih penting dari Dion sendiri. Jangan kecewakan Oppung. Paham kau maksudku?” tanya Oppung kini pada Dion.
“Dion paham Oppung. Aku akan ingat kata-kata Oppung,” jawab Dion.
“Oppung mau lihat dulu kalian beberapa bulan ini. Baik-baik lah kalian berdua. Jangan bertengkar. Apalagi kau Wina, kau ini jangan terlalu manja. Kau lebih tua dari Dion, harusnya lebih dewasa,” Oppung kembali menasihati.
“Oppung juga tidak mau dengar berita yang bukan-bukan soal kalian. Jangan bikin malu keluarga. Juga jaga sikap kalian di rumah ini dan di mana juga. Jangan mesra-mesraan di jalan dan di muka situ, nanti jadi bahan gosip tetangga,” tambah Oppung lagi.
“Iya Oppung!” sahut Wina dan Dion bersamaan karena merasa lega. Meskipun belum sepenuhnya mendapat restu, setidaknya tak ada syarat yang terlalu berat untuk dipenuhi.
“Ya sudah. Oppung mau rebahan dulu di kamar,” pungkas Nenek Wina itu setelah beberapa saat dan berlalu dari ruang tamu.
...***...
Wina dan Dion melangkah ke teras depan dengan senyum lega, seolah baru saja lolos dari ujian hidup dan mati. Keduanya tak bisa menyembunyikan rasa gembira karena tidak mendapat larangan dari Oppung. Begitu duduk, Dion langsung menghembuskan napas panjang.
“Jantungku hampir copot tadi,” bisik Dion lega pada Wina setelah keduanya duduk di teras.
Wina tertawa geli. “Andai kamu bisa melihat wajahmu sendiri. Pucat kayak habis dihantui setan,” godanya sambil menirukan suara gemetar Dion tadi. “Iya, Oppung… Dion sayang Wina…”
Ledekan itu membuat Dion menautkan alisnya. “Wina senang ya melihat aku menderita?” tanyanya, pura-pura kesal.
“Eh, tadi Oppung keren banget kan pas bilang, ‘Jaga Wina baik-baik. Jangan kecewakan Oppung.’ Dan kamu langsung kayak robot; ‘Dion akan ingat, Oppung!’” ujarnya sambil menirukan nada serius Dion.
“Oh ya? Gimana kalau bagian ‘Wina lebih tua dari Dion, gak boleh manja! Harus lebih dewasa!’” balas Dion meniru suara tegas Oppung, lengkap dengan ekspresi galaknya.
“Iya Oppung, Wina dengar,” lanjut Dion ikut menirukan ekspresi Wina yang tertunduk sambil meremas jari sendiri. Mendengar dan melihat dirinya ditiru, Wina berdelik tapi kemudian tertawa.
“Ih, dasar bocah! Berani-beraninya ngeledek aku!” katanya sambil pura-pura memukul lengan Dion.
“Wina dibilang gak boleh manja, tapi malah ngambek. Jadi, sebenarnya siapa yang dewasa di sini?” goda Dion.
Wina mendesah dan melipat tangan di dada. “Sudahlah, yang penting kita lulus ujian Oppung,” ujar Wina.
“Iya, tapi rasanya kita baru masuk tahap magang. Kalau berbuat salah, bisa dipecat kapan saja,” canda Dion.
Keduanya pun tertawa bersama, menikmati momen kecil yang terasa seperti kemenangan besar.
“Kak, bikinin kopi dong!” pinta Dion manja.
Mendengar itu, Wina mengerutkan keningnya sesaat. Tanpa protes ia bangkit dan melangkah ke dapur.
Di dapur ia disambut senyuman jahil Mbak Sari dan Mbak. “Selamat ya, Mbak Wina!” goda Mbak Ria dengan nada penuh arti.
“Sama-sama! Eh, Mbak berdua tadi nguping ya waktu Oppung bicara?” Wina menatap mereka curiga sambil mengambil cangkir
“Maaf, Mbak, gak sengaja… Eh, Mau bikin kopi? Sini biar aku saja,” kali ini Mbak Sari yang bicara.
“Gak usah, biar aku yang kini. Gak lama kok,” jawab Wina.
Usai menyeduh kopi, Wina lalu membawa cangkir kopi dan tatakan putih itu ke teras depan rumah dan meletakkannya di atas meja teras.
“Silakan diminum kopinya, Dik!” sindir Wina.
Mendengar Wina memanggilnya adik, Dion jadi geli juga. “Tak enak juga ya dipanggil adik,” ujarnya.
“Lho! Aku kan hanya menjalankan amanah. Lebih tua harus lebih dewasa!” Wina sedikit sewot mengulangi kalimat yang tadi diucapkan oleh Oppung membuat Dion tertawa kecil.
“Hmm... enak nih, Dik!” kata Dion usai menyeruput kopi.
Mendengar Dion menyebutnya adik membuat Wina semringah. Bagaimanapun ia adalah seorang perempuan yang selalu ingin dimanja bak adik kecil oleh kekasihnya.
“Benar enak, Bang? Gulanya gak kurang, Bang?” canda Wina sambil mengerlingkan mata.
“Nggak kok. Kopi buatan Dik Wina selalu pas. Dik Wina memang kekasih yang paling Abang sayang,” jawab Dion tak kalah usil membuat Wina tertawa geli.
Tapi tiba-tiba ekspresinya berubah. Ia mendadak menatap Dion dengan tatapan penuh investigasi.
“Wait! Tadi Dion bilang kekasih yang paling disayang. Berarti ada kekasih lain yang nggak terlalu disayang?” tanya Wina kali ini dengan mata melotot.
Dion tersedak.
“Uh, salah. Maaf, Kak! Salah, eh Dik. Yang benar adalah Dik Wina adalah satu-satunya kekasih Abang. Sangat Abang sayangi,” Dion memperbaiki pernyataannya membuat Wina tertawa puas.
“Aku masih sering keceplosan. Wina tidak suka dipanggil Kakak, ya?” tanya Dion mengakhiri guyonan.
“Gak apa-apa sih. Hanya saja kalau dipanggil begitu, aku jadi berpikir kalau kamu sedang gugup seperti dulu-dulu itu,” terang Wina.
“How… Did you?” Dion melongo terheran, tak bisa melengkapi kalimatnya.
Wina tersenyum usil. “It’s written all over your face,” ungkap Wina membuat Dion mengelus tengkuk sendiri.
“Dion kan selalu bersembunyi di balik kata ‘kakak’ kalau sedang gugup,” tambah Wina sambil menaik-naikkan alisnya.
Wajah Dion memerah. Malu karena rahasianya ternyata selama ini diketahui oleh kekasihnya itu. “Apa Wina juga tahu rahasiaku yang lain?”
Wina menatapnya usil dan anggukan kepala. “Aku tahu kamu itu sering curi-curi pandang. Pengecut!” ledek Wina.
Dion makin gelagapan. Sambil garuk-baruk kepala ia mengatakan, “Habis Wina cantik sekali sih!”
Ucapan Dion tentu saja membuat Wina kembali merasa senang. Hatinya berbunga-bunga.
“Tapi sampai sekarang, walaupun bukan curi-curi pandang, aku merasa sama saja seperti dulu, kecuali rasa gugup yang sudah jauh berkurang,” sambung Dion.
“Sama bagaimana maksudnya?” tanya Wina.
“Hatiku masih saja berdebar kalau melihat Wina,” gombal Dion membuat gadis itu terbang ke langit ke tujuh.
Obrolan kedua insan dimabuk cinta itu masih berlangsung beberapa saat sampai Dion pamit karena harus bekerja pada malam itu.
“Dion langsung ke kantor? Gak pulang mandi dulu?”
“Gak bakalan sempat kalau pulang. Nggak terlalu dekil toh?”
“Sekarang sih belum. Dion mandi di sini saja.”
“Ih, gak enak sama Oppung, sama mbak-mbak nya juga.”
“Di kantor kamu bisa mandi?”
“Bisa tapi aku tak punya handuk sama baju ganti. Nih gak apa-apa kok,” jawab Dion sambil membaui pakaian yang ia kenakan.
“Kalau gitu pakai bajuku aja,” Wina menyengir penuh rencana.
“Bajumu?” Dion langsung membayangkan dirinya terjebak kaos pink berbunga-bunga.
“Aku punya beberapa t-shirt longgar. Yuk! Dion pilih sendiri deh,” ajak Wina lalu beranjak menuju kamarnya. Dion yang tak punya kesempatan menolak akhirnya mengikuti Wina.