Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelayaran Menuju Takdir
Kabut pagi masih menyelimuti pelabuhan ketika Al Fariz dan rombongan tiba. Kapal yang akan membawa mereka ke Pulau Bayangan sudah bersiap—sebuah vessel tua dengan layar berwarna perak yang konon ditenun dari benang bulan.
"Kapal ini..." Fadhil mengerutkan kening, tangannya mengusuk lambung kayu yang sudah lapuk. "Aku mengenalinya. Ini adalah Sang Rembulan, kapal yang sama yang dulu membawa buyutmu dalam pencariannya."
Khadijah mendekat, jubahnya berkibar ditiup angin laut. "Dia sengaja meninggalkannya untuk kita. Semuanya sudah dipersiapkan sejak awal."
Dayang Sari tampak ragu-ragu di atas papan kayu pelabuhan. "Aku... tidak yakin bisa melakukan ini."
Al Fariz menoleh padanya. "Kau tidak harus ikut. Ini pilihanmu."
"Bukan itu maksudku." Dayang Sari menatap laut yang bergolak. "Aku takut dengan apa yang akan kita temui. Takut dengan pilihan yang harus dibuat."
Datuk Maharaja mendekati dari belakang, wajahnya masih berkerut oleh konflik batin. "Biarkan dia pergi, Paduka. Dia masih terlalu muda untuk menanggung beban seperti ini."
"Justru sebaliknya, Datuk," sahut Khadijah. "Dia yang memahami kedua belah pihak mungkin bisa menjadi penengah yang kita butuhkan."
Persiapan terakhir dilakukan dalam diam. Masing-masing membawa beban pikiran mereka sendiri. Al Fariz memandang istananya yang megah di kejauhan, bertanya-tanya apakah dia akan pernah melihatnya lagi.
Saat matahari mulai naik, mereka pun berlayar. Sang Rembulan bergerak dengan caranya yang ajaib—tanpa angin kencang, tapi meluncur cepat di atas air seolah didorong oleh kekuatan tak terlihat.
Di geladak, Fadhil membuka peta kuno. "Menurut catatan, perjalanan ini seharusnya memakan waktu tiga hari. Tapi di lautan sekitar Pulau Bayangan, waktu berjalan berbeda."
"Bagaimana maksudmu?" tanya Al Fariz.
"Bisa saja tiga hari di laut sama dengan tiga jam di pulau, atau sebaliknya—tiga jam di laut sama dengan tiga tahun di pulau," jelas Fadhil.
Khadijah menambahkan, "Ibu pernah bercerita, dia menghabiskan seminggu di pulau itu, tapi ketika kembali, ternyata sudah sepuluh tahun berlalu di Nurendah."
Dayang Sari menggigil. "Lalu bagaimana dengan orang-orang yang kita tinggalkan? Bagaimana jika kita kembali dan semuanya sudah berubah?"
"itulah risiko yang harus kita ambil," jawab Al Fariz. "Tapi jika kita tidak melakukan apa-apa, perubahan yang lebih buruk akan terjadi."
Hari pertama berlalu dengan tenang. Lautan tampak damai, langit cerah. Tapi menjelang malam, sesuatu yang aneh mulai terjadi.
"Paduka, lihat!" Dayang Sari menunjuk ke air.
Di kedalaman laut, cahaya-cahaya biru berkilatan membentuk pola yang familiar—simbol yang sama yang mereka lihat di istana.
"Mereka mengawasi kita," bisik Khadijah.
"Siapa?" tanya Al Fariz.
"Penjaga Segel yang lain. Yang memilih untuk tetap bersembunyi."
Malam itu, Al Fariz tidak bisa tidur. Dia berdiri di buritan kapal, memandang bintang-bintang yang seolah lebih dekat dari biasanya.
"Tidak bisa tidur?" Fadhil mendekat, membawa dua cangkir minuman hangat.
"Banyak yang dipikirkan," jawab Al Fariz. "Tentang pengorbanan yang Khadijah sebutkan. Apakah... apakah aku siap untuk itu?"
Fadhil menghela napas. "Pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh siapa pun, Nak. Tapi ingat, pengorbanan terbesar tidak selalu berarti kematian."
"Apa maksudmu?"
"Kadang, hidup dengan konsekuensi dari pilihan kita justru pengorbanan yang lebih berat."
Percakapan mereka terputus ketika Dayang Sari berteriak dari ujung kapal. "Ada sesuatu di depan!"
Di kejauhan, kabut tebal mulai terbentuk. Bukan kabut biasa—warnanya ungu keemasan, dan bergerak seolah memiliki kesadarannya sendiri.
"Itu dia," kata Khadijah yang tiba-tiba muncul. "Pulau Bayangan."
Saat kapal mendekati kabut, sesuatu yang ajaib terjadi. Layar perak kapal mulai berpendar, menerobos kabut seperti pisau menembus mentega.
Di dalam kabut, suara-suara aneh terdengar. Bisikan-bisikan dari masa lalu, tertawa anak-anak, tangisan wanita, semua bercampur menjadi satu simfoni yang menyentuh jiwa.
"Aku... aku mendengar suara ibuku," bisik Dayang Sari dengan mata berkaca-kaca.
"Itu bukan mereka, Sayang," Khadijah meletakkan tangan di pundaknya. "Itu adalah gema dari kenangan kita sendiri. Pulau ini memantulkan apa yang ada di dalam hati kita."
Kapal akhirnya menerobos kabut, dan pemandangan yang menakjubkan terbentang di depan mereka. Pulau Bayangan bukan seperti yang mereka bayangkan—tidak gelap atau menyeramkan. Justru, tempat itu dipenuhi cahaya emas, dengan pepohonan yang daunnya berkilauan seperti permata.
Tapi yang paling mengejutkan adalah sosok yang sudah menunggu di dermaga kayu sederhana.
"Selamat datang, Keturunan-Ku."
Wanita itu berdiri dengan anggun, wajahnya adalah perpaduan antara Khadijah dan almarhum ibu Al Fariz. Dia lebih tua dari keduanya, tapi matanya memancarkan kebijaksanaan abadi.
"Kau..." Khadijah terisak, lututnya lemah. "Ibu?"
"Bukan, Sayang," jawab wanita itu dengan suara lembut. "Aku adalah Ratu Aliya, pendiri Nurendah. Dan aku sudah menunggumu sekian lama."
Al Fariz tidak bisa berkata-kata. Di depannya berdiri leluhurnya yang seharusnya sudah meninggal ratusan tahun yang lalu.
"Jangan terkejut," kata Ratu Aliya. "Waktu di pulau ini berbeda. Bagiku, baru seminggu sejak aku tiba di sini."
Dia memandang mereka satu per satu. "Fadhil, penjaga yang setia. Khadijah, putri yang pemberani. Dayang Sari, hati yang terluka. Dan Al Fariz..." Matanya berbinar. "Pewaris yang kubanggakan."
"Tapi... bagaimana?" Al Fariz akhirnya bisa berkata-kata.
"Segel yang kalian sebut kutukan itu," jelas Ratu Aliya, "adalah penjaga terakhir dari rahasia yang jauh lebih besar. Dan sekarang, waktunya telah tiba untuk kalian mengetahui kebenaran."
Dia memimpin mereka menyusuri jalan setapak yang dihiasi bunga-bunga bercahaya. Di kejauhan, sebuah kuil megah berdiri, pintunya terbuka lebar seolah menunggu.
"Kebenaran apa?" tanya Khadijah.
Ratu Aliya berhenti, wajahnya serius. "Bahwa Nurendah bukan sekadar kerajaan. Dia adalah penjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia bayangan. Dan Hati Nurendah yang kalian cari..."
Dia menunjuk ke arah kuil.
"...bukanlah benda. Tapi seseorang."
Semua mata tertuju pada Al Fariz. Tapi Ratu Aliya menggeleng.
"Bukan dia." Tangannya menunjuk ke arah Dayang Sari. "Tapi dia."
Dayang Sari terkesiap. "Aku? Tapi... aku bukan keturunan darah langit!"
"Justru itulah rahasianya," kata Ratu Aliya. "Kekuatan sejati tidak datang dari darah, tapi dari pilihan. Dan kau, Dayang Sari, telah membuktikan hatimu lebih mulia dari siapa pun."
Di kejauhan, dari balik pepohonan, sosok lain muncul. Seseorang yang tidak pernah mereka duga akan bertemu lagi.
"Dan aku di sini untuk memastikan pilihan itu dibuat dengan benar."
Wajah itu membuat semua orang terpana. Karena berdiri di sana, dengan senyum penuh kemenangan, adalah Sultan Fadhil—versi yang lebih muda dari yang mereka kenal, dengan mata yang berwarna ungu tua.
"Fadhil?" Al Fariz bingung, menatap kedua Fadhil yang ada.
Ratu Aliya menghela napas. "Inilah kebenaran yang selama ini kusembunyikan. Fadhil yang selama ini bersama kalian adalah bayangannya. Dan ini..." Dia menunjuk Fadhil yang lebih muda. "...adalah Fadhil yang sebenarnya—Penjaga Segel pertama sekaligus suamiku."
Khadijah terduduk di tanah. "Jadi selama ini... kita dibimbing oleh bayangan?"
"Bayangan yang lebih setia dari aslinya," sahut Fadhil yang tua, yang kini mulai transparan. "Maafkan tipu dayaku, Tapi itu satu-satunya cara untuk membimbingmu tanpa mengungkap rahasia ini terlalu cepat."
Fadhil yang muda mendekat. "Aku dan Aliya sengaja menciptakan segel itu bukan untuk membatasi, tapi untuk memberi waktu—waktu sampai muncul generasi yang siap menerima warisan sebenarnya dari Nurendah."
Al Fariz merasa dunianya berputar. Semua yang dia ketahui ternyata adalah kebohongan yang disusun rapi.
"Lalu apa warisan sebenarnya?" tanyanya, suaranya bergetar.
Ratu Aliya dan Fadhil saling memandang, lalu bersama-sama menjawab:
"Kekuatan untuk menciptakan dunia baru."
Dan di saat yang sama, di Nurendah, sesuatu yang mengerikan mulai terjadi. Tanah bergetar, langit berubah warna, dan bayangan-bayangan mulai hidup sendiri—pertanda bahwa keseimbangan sudah goyah, dan pilihan harus segera dibuat.
Sementara di Pulau Bayangan, Dayang Sari merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya—sesuatu yang selama ini terpendam, kini bangkit, bersiap untuk pengorbanan yang akan mengubah segalanya.