Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 - Mimpi & Cinta
Malam itu, Icha duduk sendirian di balkon rumahnya. Langit dipenuhi bintang, tapi pikirannya justru gelap. Angin malam seakan ikut berbisik, menanyakan sesuatu yang sama sekali tak bisa ia jawab: Apa yang sebenarnya aku mau?
Di meja kecil di sampingnya, berkas-berkas beasiswa ke luar negeri sudah rapi tersusun. Hanya tinggal satu tanda tangan terakhir, dan semua mimpi yang ia idamkan sejak lama bisa terbuka lebar. Kesempatan emas. Jalan menuju masa depan cerah.
Namun setiap kali bolpoin itu mendekati kertas, bayangan wajah Albar muncul. Senyumnya, candaan recehnya, dan—paling mengganggu—ucapan konyolnya tentang “wifi”.
Kenapa aku malah inget itu terus sih?
Icha menghela napas berat. Matanya terasa panas, meski ia tak ingin menangis.
Keesokan harinya, suasana kelas tak banyak berbeda. Semua siswa sibuk dengan rencana mereka masing-masing. Ada yang daftar kampus dalam negeri, ada yang langsung ingin kerja, bahkan ada yang seperti Nayla yang kini serius menekuni lomba sains.
Icha hanya bisa memperhatikan sekeliling dengan tatapan kosong.
“Cha,” panggil Dinda pelan, “lo kenapa sih belakangan ini? Melamun terus.”
Icha tersentak, lalu tersenyum hambar. “Nggak apa-apa, Din.”
“Jangan bohong. Gue kenal lo. Lo lagi mikirin Albar, kan?”
Pertanyaan itu membuat hati Icha berdenyut sakit. Ia menunduk, menggigit bibirnya. “Aku bingung, Din. Kalau aku pilih beasiswa, berarti aku bakal jauh dari dia. Kalau aku pilih dia… aku takut nyesel buang kesempatan.”
Dinda menarik napas panjang. “Cinta emang sering bikin ribet. Tapi lo jangan sampe lupa, hidup lo nggak cuma tentang cowok. Lo punya masa depan.”
Ucapan itu menampar Icha. Ia tahu Dinda benar, tapi hatinya tetap menolak.
Sore harinya, Icha pulang sekolah sendirian. Jalanan menuju rumah terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap langkah, pikirannya hanya berputar pada dua hal: mimpi dan Albar.
Ia ingat bagaimana dulu Albar begitu gigih mengejarnya. Meski menyebalkan, tapi itu yang akhirnya membuat hatinya luluh. Kini, ketika mereka seharusnya saling mendukung, kenapa malah jadi begini?
“Kenapa sih aku nggak bisa milih salah satu dengan tegas?” gumamnya lirih.
Di perempatan jalan, ia melihat sekelompok anak band jalanan memainkan gitar dan cajon. Musik mereka riuh, penuh semangat. Anehnya, itu justru membuat dadanya sesak. Ia teringat pada Albar—cowok yang selalu berusaha hidup dengan musik, meski masa depannya masih samar.
“Apa aku terlalu egois kalau berharap dia ikut jalanku? Atau aku yang bodoh kalau ninggalin dia demi jalanku sendiri?”
Malam itu, Icha kembali membuka pesan-pesan lama di ponselnya. Chat dari Albar yang dulu penuh emoji konyol, obrolan tentang wifi, bahkan pesan suara berisi nyanyiannya yang fals.
Senyumnya muncul, lalu hilang lagi. Yang tersisa hanya rasa sesak.
Layar ponselnya menunjukkan satu pesan terakhir dari Albar beberapa hari lalu:
“Cha, jangan tunggu aku di gerbang. Aku ada latihan.”
Pesan dingin itu jadi pengingat bahwa jarak di antara mereka makin besar.
Tanpa sadar, air mata Icha jatuh. Ia buru-buru mengusapnya, tapi derasnya tak bisa terbendung.
“Aku nggak mau kehilangan dia…” bisiknya, suara nyaris patah. “Tapi aku juga nggak mau kehilangan mimpi aku…”
Hari-hari berikutnya terasa berat. Icha jadi sulit fokus belajar. Nilai ujiannya tetap bagus, tapi pikirannya kacau. Di kelas, ia sering ketahuan melamun. Bahkan saat bersama Dinda, ia terlihat jauh.
Rio sempat memperhatikan dari jauh. Ia menatap Icha dengan tatapan iba, tapi memilih tak ikut campur.
Yang paling menyakitkan bagi Icha adalah setiap kali melihat Albar di ruang musik bersama teman-temannya. Cowok itu tampak sibuk, tertawa bersama Rio dan kawan-kawan bandnya. Seolah-olah tak ada masalah.
Dia beneran udah bisa tanpa aku?
Pertanyaan itu terus menghantui.
Suatu malam, Icha duduk di meja belajar. Bolpoin kembali berada di tangannya, siap menandatangani formulir beasiswa. Tapi tangannya gemetar.
Tiba-tiba notifikasi ponsel berbunyi. Jantungnya berdegup kencang. Ia buru-buru membuka layar.
Bukan dari Albar. Hanya pesan grup kelas tentang pengumuman jadwal gladi resik kelulusan.
Icha menutup ponsel lagi, wajahnya muram. “Aku nunggu apa lagi, sih?” gumamnya dengan getir.
Ia sadar dirinya terjebak. Antara mimpi yang sudah di depan mata, dan cinta yang sudah terlalu dalam untuk dilepas.
Untuk pertama kalinya, Icha merasa benar-benar takut. Bukan takut gagal, tapi takut membuat keputusan yang salah.
Karena apa pun pilihannya, ia tahu hatinya akan terluka.