SEAN DAN SAFIRA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga puluh empat
happy reading ya genkssss!!!
****
Sejak tadi, Safira dibuat gugup dengan tatapan Raga kepadanya. Pemuda di depannya itu, meski hanya berbeda satu tahun dengannya ternyata bisa menatap ke arahnya penuh intimidasi. Safira jadi sangat gelisah.
"K—kenapa?" tanyanya takut takut. Ia takut kalau Raga akan mempertanyakan hubungannya dengan Sean lagi.
"Kenapa, apanya?" Alih-alih menjawab, Raga pun malah melemparkan pertanyaan pada Safira.
"Itu ... kamu lihatin aku terus, memang ada apa?"
Raga terkekeh lucu dengan kepala menggeleng samar. "Gak ada apa-apa, cuma suka aja."
Hah? Eh ... gimana-gimana.
"M—maksdu kamu?" Duh, Safira jadi gugup sekali. Raga tuh kenapa sih? Bikin ia memerah saja."
"Aku suka lihatin mbak Fira, cantik soalnya." Ia kemudian menyuapkan es krimnya tanpa beban sama sekali, padahal Safira sudah gugup setengah mati, membuat perempuan itu duduk dengan blingsatan. "Pasti mas Sean juga suka kan lihatin mbak Fira?"
Tuh kan, Safira sudah bisa menebak kalau Raga akan membahas Sean lagi. Tapi kali ini ia tidak boleh terpancing. "Hem ... mungkin," jawabnya asal. Lalu, menatap ke arah luar jendela. "Udah ah, ngapain ngomongin Sean, sih. Nanti dia keselek aja." kelakar Safira memecah rasa canggung sekaligus mengalihkan permbicaraan tentang Sean di antara mereka.
"Tapi aku bener kok, mbak."
"Bener apa?"
"Bener bilang kalo kamu cantik."
Duhhh ... tuh kan, Safira langsung memerah. Kenapa sih sekarang ia jadi mudah sekali digoda seperti itu. Dasar lemah.
"Apa sih, Ga. Aneh deh." ujar Safira sembari terkekeh, kemudiam menjumput sedikit rambutnya untuk di selipkan ke balik telinga. "buruan abisin tuh es krim kamu, nanti keburu mencair."
Raga mengangguk. "iya, mbak. jangan gugup gitu dong."
huh! gak kakaknya gak adiknya, bisa banget bikin aku gelisah.
Detik selanjutnya, ponsel Safira berdering, nama Sean tertera di layar. Sebelum mengangkat panggilan itu, ia mendengkus sebal sesaat.
Ngapain sih ni orang nelepon? dengkusnya dalam hati.
"Hallo?"
"Fir, lo dimana?"
Ia melirik sekilas pada Raga yang sedang menatapnya sebelum kemudian menjawab pertanyaan dari lawan bicaranya di seberang sana. "Di kedai es krim? Kenapa?"
"Ngapain lo?" Terdengar nada tidak santai dari sana.
"Nyuci piring," kelakarnya asal karena kesal. "Ya makan es krim lah, pake nanya kamu tuh."
Sean terkekeh pelan. "Kayak bocah. Inget umur lo."
"Suka-suka aku, bukan urusan kamu." Ish, kalau saja Sean ada di depannya, mungkin Safira sudah melemparkan lelaki itu dengan cup es krim miliknya. "Ngapain sih kamu nelpon?"
"Papa nyuruh kita ke rumah," ada helaan napas kasar yang terdengar sebelum Sean melanjutkan kalimatnya. "Bokap gue udah tahu kalo tadi kita berantem di ruang rapat. Ah elah, kesel gue, ternyata Yudha yang kasih tau dia."
Tanpa perlu dijelaskan Safira sudah bisa menebak siapa orang yang akan melaporkan masalah mereka tadi kepada papa mertuanya. Yudha itu anak kepercayaan Bagaskara, tujuan hidupnya adalah mengabdi pada lelaki paruh baya itu. Hanya karena Bagaskara sudah membantu kehidupannya, Yudha bertekat mengabdikan seluruh hidupnya saat itu juga.
"Terus?" tanya Safira tanpa peduli pada kekesalan lelaki itu.
Sean kemudian mendengkus. "Terus terus, nabrak lo lama-lama."
"Ih, ya udah tutup teleponnya. ngeselin, kalo gak ada yang mau kamu sampein lagi mending matiin deh."
"Dih, sombong banget lo! Di telepon sama gue gak ada baik-baiknya, judes jadi perawan tua lo, mau?"
Astaga, Safira kesal sekali pada lelaki ini. "Ya udah, kalo gitu aku yang tutup."
Belum sempat Safira menjauhkan ponselnya dari telinga, suara Sean terdengar lagi di ujung sana.
"Gue jemput aja."
"Gak perlu, aku sama Raga kok."
"Hah? Raga?" tanya Sean tidak santai sama sekali, ia bahkan hampir terdengar membentak. "Ngapain sama dia?"
"Loh, kok ngapain? Raga kan karyawan di perusahaan aku, tadi aku juga ke sana sama Raga kan? Memang kamu gak lihat?"
"Bukan! Maksud gue, ngapain lo makan es krim sama dia?"
Memutar kedua bola matanya jengkel, Safira menahan makiannya karena sadar kalau mereka masih berada di tempat umum. Coba saja kalau mereka di rumah, Safira akan menyumpah serapahi Sean saat ini juga.
"Gak ada larangannya aku makan es krim sama Raga." Ia melirik sebentar ke arah pemuda yang sedang ia perdebatkan bersama Sean barusan. "Udah kan? Gak ada lagi yang mau kamu omongin? Aku tutup ya."
"Jangan!" sergah Sean cepat. "Jangan ... maksud gue jangan pergi sama Raga, tunggu gue aja di sana. Biar berangkat bareng gue aja."
Tiba-tiba saja jantung Safira berdebar, dan sialnya debaran ini selalu sama seperti saat Sean menggodanya. "K—kamu serius?" tanyanya gugup.
"Iya ... share lokasi ya, gue jalan sekarang."
Dan sambungan itu terputus sepihak bahkan sebelum Safira menyetujuinya.
Dasar lelaki kardus!
****
Hampir dua puluh menit Safira menunggu kedatangan Sean di dalam kedai es krim itu—tentunya masih ditemani dengan Raga yang duduk di depannya. Akhirnya, lelaki yang mengaku dirinya sebagai suami di ruang rapat tadi datang. Sean membuka pintu kedai sembari mengedarkan pandangannya.
Ia melemparkan senyum jenaka seperti yang selalu ia lakukan saat meledek Safira. Tak lama senyumnya hilang saat pandangan matanya bertemu dengan sesosok pemuda yang juga sedang menatapnya.
"Udah lama di sini?" tanya Sean basa basi.
"Udah! Kamu lama banget sih," keluh Safira setengah jengkel. Tau seperti itu, lebih baik ia di antar oleh Raga saja, tidak perlu menunggu lelaki kardus itu.
Kini Sean beralih pada Raga yang duduk di seberang kursi Safira. "Ga, apa kabar?"
"Baik, mas." jawabnya santai, berbeda dengan Sean yang seolah menunjukan aura tidak suka.
Loh, kenapa tidak suka? Memang apa masalahnya?
"mas apa kabar?"
"Selalu baik kalo gue sih." kelakarnya asal-asalan.
"Ya udah yuk, nanti papa nunggu lagi." ajak Safira yang sontak membuat Sean menoleh. perempuan itu terlihat sekali sudah bosan berada di sana. "Aku udah nungguin kamu lama nih."
"Bentar, Fir, lo gak mau gitu beliin gue es krim?" Sean berujar seraya duduk di kursi kosong sebelah Safira. "Ga, lo balik ke kantor duluan aja, Safira aman kok sama gue."
ya iyalah, udah seharusnya. ia kan suaminya.
Lalu pemuda itu menoleh ke arah Safira, seolah meminta persetujuan, dan Safira pun mengangguk, tidak tega membiarkan Raga berlama-lama di sana. "Ya udah, Ga, kamu balik duluan aja, nanti kamu bosen lagi kalo kelamaan di sini. Apa lagi nungguin Sean makan es krim." cibirnya pada lelaki yang berada di sebelahnya.
Sementara yang di cibir merasa tidak terganggu sama sekali.
"Ya udah, mbak. Aku duluan ya."
Mbak? batin Sean terdengar kaget.
Safira mengangguk singkat. "Hem. Hati-hati."
"Mas Sean, gue duluan ya."
"Oh ... iya, Ga. Hati-hati lo."
Selepas kepergian Raga, Sean memesan satu porsi besar es krim untuknya. Rasa cokelat dan vanilla. Safira sampai terkejut saat mendengar pesanannya tadi. Tolong ingatkan Safira kalau lelaki itu yang tadi sempat menghinanya dengan panggilan bocah karena memakan es krim.
"Lo gak mau, Fir?"
Safira menggeleng samar, sibuk membalas pesan di ponselnya.
"Kebanyakan ini, Fir, buat gue." keluh Sean yang sontak saja membuat Safira jengkel. "Bantuin dong."
"Kan kamu sendiri yang tadi pesan porsi besar. Aku gak mau karena tadi udah makan juga."
"Nanti kalo gue pilek gimana? Nanti lo susah loh ngurusin gue nya." Kelakar Sean sembarangan.
Dan itu membuat dua alis Safira refleks tertarik ke atas. Apa katanya tadi? Ngurusin? Siapa juga yang mau ngurusin makhluk aneh seperti Sean itu!?
"Percaya diri banget kamu ... mau kamu sakit atau engga, aku gak akan ngurusin kamu."
Sean menoleh kesal. "Dihhh, kok gitu. Tugas istri, Fir, inget."
"Aku bakalan ngejalanin tugas aku sebagai istri dengan baik kalo suami aku gak selingkuh."
Sontak saja Sean tersedak es krimnya yang berada di tenggorokan. Ia sampai terbatuk-batuk hingga rasa perih itu naik ke kepalanya.
Astaga ... Safira itu kalau berbicara suka tepat sasaran sekali. Membuat dadanya menyelekit sakit.
"Apa? Kamu mau nyangkal?" Kini ia sudah bersidekap, membuat dadanya yang terlapis kemeja berbahan sifon menyembul keluar. Mendadak konsentrasi Sean terganggu.
sialan. apa sih yang ia pikirkan.
"Jangan banyak alesan kamu. Kamu sendiri yang bikin perjanjian, kamu juga yang ngelanggar itu. Inget Sean, poin terakhir. Kalau kamu ngelanggar, kamu bilang mau memberikan apa pun yang aku mau."
"Kapan gue ngelanggar?" Tidak mau kalah, ia mencoba mengelak. "Gue izin kok mau cium lo."
"Tapi yang kedua kamu gak izin sama aku." Tiba-tiba saja Safira merasakan wajahnya memanas, mengingat malam itu membuatnya malu. Duh pasti wajahnya sudah berubah merah seperti kepiting rebus saat ini.
Sean jadi geli sendiri melihat wajah Safira yang malu-malu seperti itu. "Yang kedua tuh yang mana?" pancingnya sekaligus menggoda. Jelas Sean mengingat itu, hanya saja sepertinya sangat seru kalau menggoda Safira di tengah umum seperti ini. "Bisa ingetin gue gak?"
"I—itu ..." benarkan, Safira mendadak gagu hanya karena ditanya demikian oleh Sean. Kenapa sih ia mudah sekali diledek? Bikin kesal saja. "Kamu pasti inget kok, gak perlu aku jelasin kan?"
"Gak ... gue lupa. Ingetin dong?"
Rese! Sean benar-benar titisan iblis!
"Aku gak peduli, pokoknya kamu udah ngelanggar perjanjian kita. Kamu tetap harus menuhin keinginan aku."
"Gak adil, kan gue gak inget."
Safira menggeram jengkel dengan gerakan tangan seolah ingin mencekik Sean saat itu juga. "Kamu tuh ngeselin, jangan ngeles gitu deh. Bohong terus bisannya." Kemudian ia cemberut dengan bibir maju ke depan. "Kamu hutang satu janji sama aku pokoknya."
Ya Tuhan, jika Sean tadi adalah titisan iblis mungkin Safira adalah titisan barbie, karena sikap nya kini benar-benar menggemaskan.
Sean tertawa di tempat, bibirnya masih asik melahap es krim itu, dan tanpa sadar karena ia terlalu bersemangat tertawa, ada noda es krim di sudut bibirnya.
Safira yang melihat itu merasa gemas, dan dengan gerakan refleks ia mengulurkan tangannya, hendak menghapus noda es krim itu. "Harusnya kata 'bocah' yang kamu kasih ke aku itu, kamu ucapkan untuk diri kamu sendiri."
Sean sontak menegang. Sentuhan jari lembut Safira di bibirnya kembali menyulut gairah mendebarkan di dalam dirinya. Sengatan aneh itu menjelajah di sepanjang aliran darah, menuju saraf-sarafnya, dan terus mengalir hingga berhenti tepat di jantungnya.
Ia berdebar.
"Berantakan banget sih, Sean."
Dengan cepat ia menjauhkan tangan Safira, menyentaknya kuat sampai Safira berjengit kaget. "Fir ... jangan di sini."
"Apa?"
"Jangan di sini kalo mau ngegodain gue?"
Safira melengos masam. "Siapa sih yang mau ngegodain kamu. Aku cuma mau bersihin noda es krim di bibir kamu tuh. Berantakan banget sih, makannya."
Dengan jantung yang berdebar kuat, Sean mengacak-acak rambutnya. "Ya ampunnnnn." Lalu berteriak frustrasi dan sesekali menjengutnya kuat dengan gerakan putus asa. "Gue bisa khilaf kalo kayak gini, ya Tuhan ...."
*****
ini apa ya Tuhan??? hahaha Sean lemah iman dia, dan Safira terlalu polos untuk mengerti kalo Sean itu otak kotor hahaha
jangan lupa like, komen, share ke temen-temen kalian, dan vote pake poin. okehh, makasih sudah bacaaaa ❤❤❤
udah dihapus ya thor?
dimana kalau mau baca kisah mereka lagi...🥺
tp masih ada yg belum diubah itu thor.
hmmm fir fir.. mending kamu biarin jona sm diana. Klo sama medusa, Ga berasa canggung apa ya jdi satu keluarga sm mantan tmn tidur suami? 🙄
lagian knp jd ngurusin dia
otak dipke dong
Ga ada alesan bantuin atau apapun itu. Ingat sdh berumah tangga.
Lemah bgt jd cow, gmn mau ngelindungin anak istri
Bukan kyk sean yg plin plan
Dia begitu krn obsesinya sendiri.