Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanpa Aku Sadari
Papa Hariatmaja tersenyum penuh bangga, matanya menghangat melihat momen itu. Hatinya berdesir bahagia. Akhirnya, Aira mulai bisa memahami perjuangan suaminya.
Tanpa menunggu lama, Papa berseru lantang, "Ayo, jangan lupa bekalnya dibawa ya!"
Zayyan tertawa kecil, "Kok tiba-tiba, Aiku? Sampai repot-repot bawain makanan sebanyak ini?"
"Katanya kamu mau lembur dan berangkat pasang furniture ke hotel. Jadi, Mama ajakin Papa, aku, sama Aila bikinin bekal buat kalian semua," jawab Aira.
Mata Zayyan melembut. Ia menatap istrinya yang masih memeluk dirinya dengan pipi memerah karena malu. "Terima kasih, ya sayang," bisiknya.
Tanpa ragu, ia mengecup pucuk kepala Aira—satu gerakan sederhana, tapi penuh cinta.
"Wooaaaaa!!" Seruan menggema lagi.
"Bos Jay, kalau terus begini, kami bisa kehabisan semangat, lhooo... Meleleh semuaaa..."
"Tanggung jawab, Bos! Hahaha!"
Suasana menjadi penuh tawa riang.
Zayyan menghapus debu kayu yang menempel di rambut Aira. "Aiku, pemasangan di hotel 'Wih Jaya' itu jauh dari kota. Banyak partisi dan perabot yang perlu dirakit dan dipasang langsung di tempat. Jadi, mungkin aku nggak bisa pulang selama satu minggu ke depan untuk memastikan pekerjaan ini aman dan lancar dibawah pengawasanku," katanya pelan, seolah menimbang setiap kata. (Karena menyangkut klien besar, Zayyan harus turun tangan)
Aira mengangguk. "Iya, aku ngerti. Kan, kamu udah kasih tau sebelumnya."
Satu minggu. Tanpa Zayyan.
Zayyan mengusap kepala Aira dengan lembut, seolah tahu apa yang berkecamuk di benak istrinya.
"Kamu harus kuat, ya? Aku janji... tiap malam aku akan telepon, walaupun cuma sebentar."
Saat itu, seorang pekerja memanggil Zayyan dari kejauhan, "Bos Jay, truk satu sudah penuh, siap berangkat!"
"Aku harus berangkat sekarang." Zayyan menarik Aira kembali ke pelukannya. Pelukan hangat, kuat, tapi juga penuh rasa enggan berpisah.
"Aku titip Aira, ya, Papa," katanya sambil menoleh kepada Papa Hariatmaja.
Papa mengangguk mantap, "Tenang, anakku. Kami jaga istrimu dengan baik."
Aira meraih tangan suaminya, menggenggamnya erat, lalu mengecup punggung tangan itu dengan penuh kasih. "Assalamu’alaikum. Jaga diri baik-baik ya, suamiku. Semoga Allah selalu menyertai langkah dan pekerjaanmu."
"Wa’alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakatuh," jawab Zayyan, mengelus rambut Aira dengan lembut. "Aku akan telepon kamu kalau sudah sampai di sana, ya?"
Zayyan tampak kuat. Matanya memantapkan keputusan, langkahnya kokoh. Cintanya dewasa, penuh tanggung jawab, tak ingin larut dalam drama perpisahan meski hatinya pun sebenarnya berat. Ia tahu, pekerjaannya menuntutnya untuk tegas, dan ia memilih menjadi peneduh bukan pemantik air mata.
Sementara itu, Aira... ada bagian kecil di hatinya yang berharap Zayyan akan mengatakan sesuatu yang manis, sedikit rayuan atau kalimat manja yang bisa ia kenang sepanjang malam.
Aira menahan senyum dan rasa sesak yang menggumpal di dadanya. Ia melambaikan tangan tinggi-tinggi dengan senyum kuat yang ia bangun dengan segenap perasaan.
"Kak Zen! Hati-hati di jalan!" serunya lantang, suaranya sedikit bergetar tapi tetap tegar.
Zayyan membalas lambaian itu sambil tersenyum lebar. Setelah doa dipanjatkan, tiga truk itu mulai melaju perlahan, beriringan menembus jalan yang membawa mereka menjauh dari Aira.
Aira berdiri di tempatnya. Matanya berkaca, namun ia tetap menahan bulir air yang hendak jatuh itu. Ia tak ingin terlalu dramatis, walau hatinya tahu... malam ini akan terasa sangat sunyi.
Saat truk-truk itu benar-benar menghilang dari pandangan, Aira memejamkan mata.
Berbisik dalam hati, "Ya Allah... jaga dia untukku. Jangan biarkan rasa rinduku ini menjadi luka. Jadikan ia penenang dalam diamku."
Aira pulang bersama Papa, menembus senja yang mulai tenggelam. Langit telah berwarna ungu keemasan saat mobil mereka tiba di halaman rumah. Waktu telah memasuki maghrib.
Aira segera menuju kamarnya. Ia melepas lelah dengan mandi air hangat, lalu mengambil mukena dan menunaikan salat maghrib dalam sunyi. Entah mengapa, ada gelombang kasih sayang yang mengalir deras dalam dadanya. Ia merasa begitu mencintai Zayyan... lebih dari yang ia sadari.
"Ya Allah... jaga dia untukku. Jaga kami sampai akhir hayat. Jangan biarkan cinta ini retak. Satukan hati kami dalam ridha-Mu, dalam kebaikan, dalam kesabaran..." bisiknya lirih.
Waktu terus berjalan. Aira membuka Al-Qur’annya dan mulai mengaji. Suaranya lirih, pelan, menenangkan. Hingga waktu isya tiba, ia kembali menunaikan salat, masih dalam suasana batin yang teduh.
Setelah hatinya terasa lebih ringan, ia menyalakan laptop. Kembali ke dunia rutinnya. Menyusun laporan pengajaran TK, membuka draft tesisnya, dan mengecek jadwal terbaru PPG yang kabarnya akan segera dimulai. Tapi pikirannya belum sepenuhnya tenang.
Sesekali, matanya melirik ke ponsel di sampingnya. Notifikasi WhatsApp masih sunyi. “Belum ada kabar...” gumamnya. Ada rasa kikuk yang asing.
Ia ingin mengirim pesan, tapi ragu. Takut terkesan terlalu naif... terlalu "nempel."
"Ah... kenapa aku begini banget sih..." Aira langsung membenamkan tubuh ke kasur, menatap layar ponsel dari balik guling.
Tangannya akhirnya bergerak, mengetik pelan: “Kak Zen, udah sampai belum?”
Tak lama, balasan masuk.
“Belum, Aiku. Masih setengah jalan.”
Deg.
Senang itu meledak seperti kembang api kecil di dadanya. Aira tertawa pelan. “Yah... kalau dibales cepat gini, kenapa aku nggak kirim dari tadi?”
Ia mendekap ponselnya, seolah suara Zayyan bisa terdengar lewat sana. Dalam hati, ia yakin. Walau akan ada jarak, walau tak saling lihat seminggu penuh...
...Tapi jika seperti ini rasanya, LDR-nya pasti bisa dilalui dengan manis.
Kebahagiaan yang meluap-luap di hati Aira tak sebanding dengan nasib Harry yang kian muram. Pemuda itu kini kembali hidup dalam bayang-bayang kekuasaan Papi Rafardhan. Pria yang dikenal lebih dingin dari baja dan lebih tegas dari palu hakim.
Dengan langkah berat, Harry kembali menempati mansion megah milik Papinya. Bangunan itu berdiri angkuh di atas lahan seluas hampir satu hektar. Pilar-pilar marmer menjulang di sisi depan, dindingnya dilapisi ukiran kayu jati yang gelap dan mewah. Kaca patri di beberapa sisi memancarkan cahaya redup dari lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit aula utama.
Harry tak banyak membantah. Dia tahu, sekali Papi memutuskan sesuatu, tak ada ruang untuk negosiasi. Seperti yang diucapkannya tempo hari: "Kalau kau ingin mengambil Bundamu kembali, bawakan pacarmu ke hadapan Papi."
Harry tahu, itu bukan permintaan. Itu perintah.
Dan Harry memilih diam. Demi melindungi Aira dari dunia Papi yang penuh jerat, dia rela bertekuk lutut di bawah kehendak pria itu.
Kini, ia duduk di ruang kerja megah yang dingin, di hadapan meja kayu mengilat, berhadapan langsung dengan setumpuk dokumen tebal.
"Sekarang, kamu pelajari semua bisnis Papi," kata Papi Rafardhan tanpa basa-basi, lalu menaruh lima bendel map berisi data dan laporan perusahaan.
Harry membuka satu berkas. Matanya menelusuri angka-angka, nama-nama perusahaan fiktif, daftar transaksi yang tak masuk akal. Semua bisnis ini... kotor. Penuh manipulasi, penggelapan, dan permainan kekuasaan.
Tapi...
Alih-alih mundur, bagian lain dalam dirinya mulai tergoda. Jumlah uang yang tercantum terlalu besar untuk diabaikan. Kekuasaan yang bisa didapat terlalu nyata untuk dibiarkan. Dan bisikan kecil itu mulai terdengar di hatinya -bisikan ketamakan-
“Apa salahnya ikut sedikit saja? Lagipula, aku bisa berhenti kapan pun…” pikirnya.
satu ibu
lain bpk
btw,,aku nyesek dgn nasib Tukimo,, sumpah mewek parah aku di part ini 😢😢😢