Kepercayaan Aleesya terhadap orang yang paling ia andalkan hancur begitu saja, membuatnya nyaris kehilangan arah.
Namun saat air matanya jatuh di tempat yang gelap, Victor datang diam-diam... menjadi pelindung, meskipun hal itu tak pernah ia rencanakan. Dalam pikiran Victor, ia tak tahu kapan hatinya mulai berpihak. Yang ia tahu, Aleesya tak seharusnya menangis sendirian.
Di saat masa lalu kelam mulai terbongkar, bersamaan dengan bahaya yang kembali mengintai, mampukah cinta mereka menjadi perisai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Ruang tamu rumah Ferdinan masih lengang saat suara klakson halus terdengar dari depan gerbang. Aleesya menoleh dari pantulan cermin di ruang tamu, gaun coklat sederhananya menjuntai indah di pinggang, rambutnya dibiarkan tergerai rapi. Rasa gugup sedikit hinggap di dadanya, namun ia memaksa langkahnya tetap tenang.
Inggrid menghampirinya sambil tersenyum kecil. "Noah sudah datang. Hati-hati, sayang." Aleesya mengangguk, mengambil tas kecilnya. Saat ia melangkah keluar, pintu depan terlihat terbuka sedikit. Sebuah siluet berdiri tak jauh mengamati dari sana.
Victor...
Pria itu mematung, sorotnya mengeras melihat Noah turun dari mobil sambil membukakan pintu untuk Aleesya. Gerakan pria itu begitu pelan... begitu penuh perhatian, seolah di dunia ini hanya tersisa satu wanita.
"Evening, Aleesya." Noah tersenyum tipis, sedangkan Aleesya tersenyum canggung. "Hai, Noah."
Mereka berbicara pelan, terlihat seperti dua orang yang terbiasa dekat. Aleesya masuk ke mobil, dan Noah memastikan sabuk tangan pengamannya terpasang sebelum menutup pintu dengan lembut. Mobil itu akhirnya melaju perlahan... melewati halaman depan. Sementara Victor yang berdiri mematung, jemarinya bergetar tanpa ia perintah, napasnya dangkal, rahangnya kian mengeras tak terima melihat semua ini. Tenggorokannya naik turun menahan sesuatu. Ini bukan hal baik yang ingin ia dapatkan sewaktu membuka pintu gerbang.
"Kau ingin mengejar mereka?" sebuah suara terdengar dari belakang. Victor mendengus pendek, "Diam, Kellan." asisten Victor itu menyeringai, berdiri tepat di sampingnya dengan dua tangan di saku. "Iya iya... cuma nanya. Tapi rautmu sangat... kacau. Tuan muda kita terlihat seperti apel hijau yang sudah kadaluarsa." Victor makin panas mendengar ocehan itu. "Simpan komentar sialanmu itu."
Bukannya takut mendengar ancaman Victor, Kellan justru tertawa kecil. "Serius, Vic. Undangan acara Billy itu masih satu jam lagi. Lalu mereka mau ke mana? Dinner? Minum? Atau Noah sengaja mengajak Aleesya untuk.... Dinner?" Kellan makin memprovokasi. Victor mengepalkan tangannya, cemburu itu berhasil menguasainya. "Kalau sampai dia menyentuh Aleesya-"
"Victor.." Kellan memotong, mengangkat alis. "Kau itu cemburu atau takut kalah cepat dari Noah?" Victor diam, ia menutup mata sambil berusaha menetralkan detak jantung dan mengontrol emosinya. Kedua matanya menatap lurus jalanan tempat mobil Noah menghilang. "Dua-duanya." gumamnya, nyaris tak terdengar. Kellan berdecak, "Ya udah. So? Kenapa masih diam disini kaya patung Liberty darurat? Kalau penasaran, bilang aja."
"Aku tidak-" ucapannya berhenti, mengembuskan napas. Ia kalah dengan hatinya. Aleesya tak boleh dengan Noah! Rasa geram, penasaran, dan ketakutannya meletup-letup. Bercampur menjadi satu menimbulkan perasaan gelisah. "Aku hanya... ingin tahu mereka pergi kemana." pria itu mengaku akhirnya.
Kellan tersenyum lebar, "Nah gitu dong, jujur."
---
Hotel yang di pilih Noah berada di rooftop hotel bintang lima, dihiasi lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya lembut. Angin malam menyapu halus, sambil membawa aroma bunga lavender dari taman kecil di sisi ruangan.
Noah menuntun Aleesya masuk, bahkan membukakan pintu dan menarik kursinya. Para waiters yang berada disana segera menjauh untuk memberikan mereka berdua privasi. Musik klasik kesukaan Aleesya bahkan mengalun lembut setelahnya, membuat Aleesya merasa.... terpukau.
"Untuk malam ini... aku sengaja mereservasi seluruh sisi balkon ini hanya untuk kita berdua." ucapnya memulai percakapan dengan suara rendah, tapi penuh perhatian. Aleesya mematung setelah membenarkan posisi duduknya. "Hanya... kita?" Noah tersenyum sambil menanggalkan mantel Aleesya dan menyimpannya di belakang kursi. "Ya. Kau bilang tidak terlalu suka angin malam, bukan? Jadi aku memilih tempat yang tertutup kaca namun tetap indah."
Aleesya tertegun, perasaan ini tiba-tiba membuat dadanya menghangat. Perhatian Noah... entah mengapa menimbulkan perasaan aneh tapi Aleesya begitu nyaman. Tidak seperti Victor jika sedang bersamanya selalu tergesa, meledak-ledak, atau bahkan membuat jantungnya berdebar karena takut.
Yang Noah lakukan justru kebalikannya dan... terencana.
Noah menuangkan wine ke gelas Aleesya, hanya setengah. "Aku ingat kau tidak suka minum terlalu banyak." ucapnya lembut. Aleesya tersenyum kecil, merasakan dadanya mencubit. Perasaan bersalah datang begitu saja. Ia menggulung bibirnya ke dalam mulut, dengan tatapan ke bawah. Tangannya ia gerakan untuk menepis rambut yang menutup sedikit pipinya. Noah memperhatikan itu, namun memilih tidak bertanya.
Mereka mulai makan yang tersaji diatas meja, dan Noah memperlakukan Aleesya seperti seorang putri. Pembahasan mengalir begitu saja, Noah mendengar tanpa ada keinginan memotong. Ia memastikan makanannya sesuai selera. Di suasana itu Aleesya semakin merasa tenang karena meskipun Noah memberi jarak, tapi kedekatan itu terasa aman.
Meski sudah berusaha menghilangkan rasa gelisah, justru rasa bersalah Aleesya semakin besar akibat perlakuan Noah padanya malam ini. Saat Noah mengambilkan serbet untuknya, Aleesya menunduk. Suara Victor saat kesal pada Noah di Nuxvar waktu itu perlahan terngiang di kepalanya.
"Victor pasti marah jika melihat ini. Tapi... masalah tadi pagi masih membuatku sakit hati. Tapi... Noah terlalu baik... Tapi... bukankah ini salah?" monolognya. Ia sungguh bingung, hati dan otaknya mendadak tak sinkron. Aleesya menggigit bibirnya.
"Aleesya?" Noah mencondongkan tubuh sedikit. "Kau tidak apa-apa?" Aleesya bergumam pelan, "Aku... tidak tahu." Noah tersenyum lembut. "Jika kau lelah... kita bisa duduk tanpa bicara. Aku selalu di sini." senyum itu... nyaris membuat Aleesya begitu nyaman. Tapi jauh di dalam hatinya, bayangmu wajah Victor... tatapan kecewanya... pesan terakhirnya yang hanya ia baca...
"Aku berharap kau tidak lama mengacuhkanku."
Aleesya menutup matanya sebentar... hatinya kacau. Seolah ia sedang berada di tempat yang salah... dengan orang yang tepat. Atau orang yang bisa jadi tepat... jika Victor bukan Victor. Ia membuka mata perlahan. "Noah... aku hanya... masih kepikiran sesuatu." Noah mengangguk, "Victor?"
Aleesya hanya diam, itu artinya diam adalah jawaban. Noah menatapnya beberapa detik, namun alih-alih marah, ia justru tersenyum tipis. "Semuanya baik. Aku tidak meminta apapun malam ini. Aku hanya berharap kau nyaman bersamaku." Aleesya menunduk, perkataan itu semakin membuat hatinya kusut.
Tapi dari kejauhan... dari balkon lantai di bawah mereka, dua mata memperhatikan. Rambut coklat panjang, lipstik merah rubi, parfum mahal yang menusuk hidung.
Mila tersenyum sinis sambil memegang botol kecil bening di tangan kanannya. "Perfect," gumamnya. "Fase pertama... berjalan mulus."
Ia lantas melihat jam tangan yang melingkar manis di tangan kanannya untuk memastikan semua berjalan lancar. Karena baik dia maupun Noah, keduanya sepakat tidak akan mundur setelah memulai semua ini.
***