NovelToon NovelToon
Shadow Of The Seven Sins

Shadow Of The Seven Sins

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Anak Yatim Piatu / Epik Petualangan / Dunia Lain
Popularitas:160
Nilai: 5
Nama Author: Bisquit D Kairifz

Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.

suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.

apa yang menanti anzu didalam portal?

ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.

ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

perpisahan

Pagi di hari ketiga setelah pertempuran melawan Lygares datang tanpa burung, tanpa angin, tanpa suara — seolah seluruh lembah masih menahan napas menunggu satu hal.

Menunggu Anzu bangun.

Sudah tiga hari ia tidak membuka mata. Tubuhnya yang penuh luka telah diperban rapi oleh para tabib Velmari, namun aura hidupnya tetap terasa lemah. Alfred dan Lira bergantian menjaganya, tetapi tidak ada yang tampak membaik.

Setiap beberapa jam, Alfred akan membawa air hangat, mengganti lap di dahi Anzu, lalu mengomel sambil menangis dalam hati.

“Anzu, bangunlah… kalau kau mati, siapa yang akan aku ganggu tiap pagi…?”

Pada hari ketiga itu, Alfred baru kembali ke kamar sambil membawa bak berisi air dan lap basah. Ia bersiul kecil, mencoba menahan rasa paniknya.

“Baik, waktunya membersihkan wajahmu lagi, An—”

Bak itu jatuh.

BYUURR!!

Air tumpah ke lantai.

Alfred membeku. Matanya melebar seperti kucing tersengat listrik.

“…A-Anzu…?”

Anzu mengerjap pelan, kelopak matanya bergerak untuk pertama kalinya setelah tiga hari. Ia membuka mata, pupil merah gelapnya berusaha fokus.

“…Al…fred…?”

“AAAAAAAAAAAAAA—ANZU HIDUP!!!”

Dengan suara pecah yang mampu membangunkan seluruh penghuni lembah, Alfred melompat ke arah Anzu.

Ia benar-benar melompat.

Seperti bola kanon.

“ANZUUUU AKU PIKIR KAU MATI!!! KAU TIDAK BOLEH MATI, KAU MASIH UTANG 12 KOIN MAKANAN KEMARIN DAN—”

BRUK!

Alfred menabrak dada Anzu dengan pelukan super erat. Air mata dan ingusnya mengalir semua.

“HUAAAAA ANZUUU AKU SUDAH MEMBUAT SURAT PERPISAHAN, AKU SUDAH MERENCANAKAN PEMAKAMANMU, AKU—”

Anzu yang baru sadar, tubuhnya masih nyeri luar biasa, spontan mengangkat tangan dan…

DOR.

Ia mendorong Alfred sampai terlempar dari kasur.

BUGH!

Alfred mental dan terguling di lantai seperti karung tepung.

“Aduh…”

“Jauh. Kau bau.”

“AKU TIDAK BAU! INI AROMA KESUCIAN YANG MENJAGAMU SELAMA TIGA HARI!!!”

Anzu memejamkan mata lagi, lelah mendengarnya.

Namun Alfred sudah bangkit dan berlari keluar kamar sambil berteriak sekeras tenaga:

“SEMUA ORANGGG!!! ANZU SUDAH HIDUP LAGIII!!!”

Suara gaduh langsung memenuhi rumah itu.

Belum berlalu satu menit, langkah kaki kecil berdentak cepat di lorong. Napas tersengal-sengal, suara seperti hendak menangis terdengar dari balik pintu.

Pintu terbuka perlahan.

Lira berdiri di sana.

Rambut peraknya acak-acakan, wajahnya merah, nafasnya terengah karena berlari sekuat tenaga setelah mendengar teriakan Alfred. Matanya bergetar begitu melihat Anzu duduk bersandar.

“A-Anzu…?”

Anzu menoleh pelan. “Lira.”

Tanpa sadar, Lira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Air mata yang ia tahan selama tiga hari kini jatuh tanpa bisa dikendalikan.

Dengan langkah gemetar, ia mendekat.

Lalu duduk di samping Anzu, sangat dekat tapi tetap ragu menyentuhnya — sampai akhirnya ia tak tahan lagi dan menggenggam tangan Anzu erat.

“Syukurlah… syukurlah… kau masih hidup…”

Anzu memandang tangannya yang digenggam erat itu. Lalu menatap Lira yang menangis tanpa suara.

Tanpa sadar, ia mengangkat tangan lain dan mengelus kepala Lira perlahan.

“Maaf…”

Lira langsung menggeleng.

“Kau tidak perlu minta maaf… justru kami yang harus meminta maaf… karena kau harus bertarung untuk tempat yang bahkan bukan rumahmu…”

Suara Lira pecah. Ia menunduk, menyeka air mata.

“Terima kasih, Anzu. Terima kasih… sudah melindungi kami semua.”

Anzu hendak membalas, tapi…

BRUGH BRUGH BRUGHHH!!

Pintu kamar dibuka keras-keras.

Alfred masuk bersama Vel’desh dan sepuluh Velmari lain sambil membawa keranjang makanan, buah, dan bahkan satu panci sup besar.

“ANZUU!! LIHAT!! ADA SUP!! DAN—”

Vel’desh memukul kepala Alfred.

PLAK!

“Jangan berisik.”

“Ugh…”

Para Velmari memenuhi ruangan, beberapa menunduk hormat, beberapa menangis lega. Vel’desh melangkah maju dan menundukkan kepala dalam-dalam.

“Atas nama seluruh ras Velmari… terima kasih karena telah menyelamatkan kami.”

Anzu terdiam sejenak.

Tiba-tiba, satu senyum kecil muncul di ujung bibirnya — senyum yang jarang sekali terlihat.

Velmari lain langsung heboh.

“ANZU TERSENYUM!!”

“OH DEWA ALIRAN KABUT, AKU MENYAKSIKAN KEAJAIBAN!!”

“AMBIL KERTAS! CATAT INI!”

Vel’desh memutar bola mata. “Diam…”

Namun suasana itu terasa sangat hangat.

Anzu menatap langit dari jendela, dan untuk sekilas… bayangan Reinhard tersenyum padanya. Dadanya terasa hangat.

“Ayah… aku melindungi mereka…”

Bisikan itu hanya ia sendiri yang mendengar.

Malam itu, pesta besar kembali diadakan. Lentera digantung di setiap rumah, api unggun besar menyala di tengah lembah, dan musik khas Velmari dimainkan.

Alfred menari heboh, dikejar beberapa anak kecil yang menertawainya.

“JANGAN TARIK CELANAKUUU!!!”

Anzu duduk di sisi api sambil meminum anggur. Vel’desh menghampiri dan duduk di sebelahnya.

“Kau membuat sejarah, Anzu.”

“Sejarah bisa dilupakan. Yang penting… mereka tetap hidup.”

Vel’desh mengangguk pelan.

Mereka bersulang.

Di tengah suasana meriah itu, Anzu akhirnya membuka suara.

“Vel’desh… aku dan Alfred… akan pergi.”

Vel’desh menoleh. Tidak terkejut — seakan sudah tahu.

“Kapan?”

“Dua hari lagi.”

Vel’desh menghela napas. “Aku mengerti.”

Pagi hari keberangkatan itu, kabut lembut menyelimuti lembah seperti selimut terakhir yang ingin menahan mereka.

Anzu dan Alfred sudah siap, membawa ransel dan perlengkapan perjalanan.

Vel’desh mengantar mereka sampai gerbang kabut.

“Kau yakin tidak ingin berpamitan pada yang lain?” tanya Vel’desh.

Anzu menggeleng. “Perpisahan hanya membuat langkahku berat.”

Vel’desh menunduk. “Baiklah.”

Mereka hendak melangkah ketika—

TAP TAP TAP TAP TAP!!!

Suara kaki berlari cepat.

“ANZU!!!”

Lira muncul dari balik kabut, napas terengah, wajah panik.

“Ka-kau… benar-benar pergi?”

Anzu tidak menjawab, hanya menatapnya.

Air mata kembali menggenang di mata Lira.

“Kenapa kau tidak tinggal saja…? Lembah ini mencintaimu… aku…”

Ia menggigit bibir, menahan kata terakhir.

Anzu akhirnya bicara pelan.

“Tujuanku… tidak ada di lembah ini.”

Lira menunduk, bahunya bergetar. Tapi ia tidak memaksa lagi.

Ia merogoh saku dan mengeluarkan sesuatu.

Kain rajutan kecil. Warnanya biru pucat, dengan pola sederhana — jelas dibuat dengan tangan gemetar dan penuh usaha.

“Aku… membuat ini semalaman.”

Ia menyerahkannya.

“Jangan lupakan Velmore Hollow… jangan lupakan aku.”

Anzu menerimanya. Ia menatap kain itu beberapa detik, lalu mengikatnya perlahan pada gagang pedangnya.

“Terima kasih.”

Lira menutup mulut, bahunya gemetar menahan tangis.

Vel’desh menepuk bahunya pelan.

“Kau selalu disambut kembali, Anzu. Kalian berdua.”

Anzu dan Alfred mengangguk. Mereka melangkah masuk ke kabut.

Di belakang mereka…

Lira menangis, tapi tersenyum.

Empat Jam Kemudian, Perbatasan Kabut

Kabut perlahan menipis. Cahaya matahari menembus perlahan, dan ketika mereka keluar…

Dunia luar terbentang luas.

Pepohonan hijau, lembah datar, Begitu sunyi… tapi bebas.

Alfred mengangkat tangannya tinggi.

“AKHIRNYAAA KITA KELUAR!! AKU HAMPIR TERSERAP JADI BAGIAN KABUT PERMANEN!!”

Anzu berjalan di depan tanpa berkata apa-apa.

Mereka membangun tenda sederhana di bawah pohon besar. Api kecil menyala, suara jangkrik menemani.

Alfred memakan roti sambil duduk bersila.

“Anzu… setelah ini, tujuan kita apa?”

Anzu hanya menatap api.

“…Tidak tahu.”

Alfred berkedip.

“Eh? Kau tidak punya rencana?”

Anzu menggeleng.

Alfred menggaruk kepalanya.

“Jadi… kita berjalan tanpa arah?”

“Ya.”

Hening sejenak.

Lalu Alfred tersenyum.

“Sebenarnya… itu cukup keren. Seperti dua petualang yang mengejar takdir!”

Anzu menatapnya.

“…Aku tidak mengejar takdir.”

“Lalu?”

“Aku berjalan… sampai aku menemukan jawaban.”

Alfred terdiam, sebelum tersenyum lembut dan menepuk bahu Anzu.

“Kalau begitu… aku ikut sampai kau menemukannya.”

Anzu memalingkan wajah. “…Terserahmu.”

Alfred tertawa kecil. “Iya, iya. Tapi jangan lupa… aku yang punya peta dunia!”

Anzu menatapnya.

“…Kau tertidur dengan peta di wajahmu tadi.”

“ITU KARENA AKU SEDANG MELIHAT DETAILNYA DARI DEKAT!”

“Kau mendengkur.”

“ITU GAYA BARU DALAM BERPIKIR!!”

Anzu menghela napas panjang.

Tapi… bibirnya terangkat sedikit.

Walau tanpa tujuan, walau masih banyak misteri… malam itu terasa seperti awal perjalanan besar.

Mereka berdua menatap langit malam yang penuh bintang.

Alfred mulai mendengkur pelan.

Anzu menutup mata.

Kain biru pucat di gagang pedangnya bergoyang tertiup angin, pengingat lembut akan tempat yang sudah ia selamatkan.

Dan di kejauhan… suara iblis samar terdengar di pikirannya.

“Jalanmu akan dipenuhi darah… namun menarik…”

Anzu membuka mata perlahan.

Perjalanan baru dimulai.

Dan dunia… akhirnya menyadari bahwa Anzu telah bangkit.

1
Nagisa Furukawa
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
Bisquit D Kairifz: Semangat bree, walau masalah terus berdatangan tanpa memberi kita nafas sedikit pun
total 1 replies
Rabil 2022
lebih teliti lagi yah buatnya sebabnya ada kata memeluk jadi meneluk
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!