Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUKAN MALAIKAT, TAPI IBLIS
POV Angel
Aku masih ingat betul hari ketika aku memutuskan untuk hidup sebagai "Angel" yang sederhana, bukan Angeline, putri tunggal dari Don Alberto Massimo, mafia berdarah dingin yang memegang separuh bisnis ilegal di Eropa. Nama itu kutanggalkan sejak menginjak bangku SMP dan memutuskan untuk tinggal di Indonesia. Aku ingin menjadi siapa pun... asalkan bukan bayangan dari nama ayahku.
Aku tahu, jika orang-orang tahu siapa aku sebenarnya, aku tidak akan pernah mendapatkan kehidupan yang kuimpikan-hidup sebagai gadis biasa yang bisa pergi sekolah, tertawa bersama teman, jatuh cinta, dan patah hati tanpa ada embel-embel "putri mafia" di belakangnya.
Dan aku berhasil. Tak ada yang tahu identitas asliku.
Aku bahkan menggunakan nama ketua pelayan di rumah yaitu Bu Retno dan Pak Kuncoro yang merupakan kaki tangan ayahku sebagai orang tua palsu. Namaku pun ada di kartu keluarga mereka sebagai anak.
Ya, aku palsukan semuanya agar bisa menjalani hidup yang tenang. Meskipun aku menikmati kemewahan dari uang haram Daddy, namun aku tidak ingin menjadi seperti dia. Bahkan hingga saat ini, Daddy sama sekali tidak mengatakan yang sebenarnya tentang siapa ibuku?
"Kau anakku, Angel. Selamanya anakku! Tidak penting siapa ibumu," ucapnya setiap aku bertanya siapa
Ibuku sebenarnya?
"Kau boleh menjalani hidupmu dan memilih, Angel. Tapi tangan Daddy akan selalu terbuka untuk merangkulmu."
Begitu besar cintanya padaku. Namun aku tidak mau tinggal bersamanya apalagi menjalani bisnis seperti dia. Tapi itu dulu, sebelum dunia menghancurkanku dan mematahkan hatiku.
Semua berjalan baik hingga akhirnya aku sekolah di sebuah universitas. Selama tiga tahun di kampus, semua orang mengenalku sebagai Angel, gadis cupu dari kampung, anak dari pasangan Retno dan Kuncoro, yang tinggal di pinggir kota. Bu Retno dan Pak Kuncoro memang orang tua palsu yang kubayar untuk berpura-pura menjadi orang tuaku, tapi aku mencintai mereka seperti orang tua sendiri. Mereka memperlakukanku dengan kasih sayang yang tulus. Mereka tidak pernah menghakimiku. Dan merekalah yang merawatku sejak kecil.
Aku memang terlihat polos, berpenampilan sederhana, jarang bersosialisasi secara berlebihan, tapi entah bagaimana, aku justru punya banyak teman. Mungkin karena aku tidak pernah menolak saat diminta membantu tugas, atau karena aku selalu mendengarkan curhat mereka dengan tulus. Aku hanya ingin menjadi 'normal'. Tanpa darah mafia. Tanpa senjata. Tanpa darah.
Dan hidupku nyaris sempurna. Aku terpilih sebagai wakil ketua BEM-yang awalnya kupikir hanya candaan teman-teman. Aku juga jatuh cinta pada Pandu Dirgantara, ketua BEM yang pintar, tampan, dan memiliki
Kharisma luar biasa. Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu siapa aku sebenarnya. Termasuk Pandu. Aku tak sanggup menyakitinya dengan kebohongan itu. Tapi aku terlalu pengecut untuk jujur.
Kebahagiaan itu seharusnya cukup. Tapi ternyata tidak... karena ada satu orang yang tak pernah berhenti merusaknya.
Erina.
Gadis paling populer di kampus. Cantik. Kaya. Pintar. Terlalu sempurna di atas kertas. Tapi aku tahu siapa dia sebenarnya. Bukan karena aku menyelidikinya, tapi karena dia terlalu sering menyakitiku hingga aku memaksa diri untuk tahu apa yang membuatnya membenciku begitu dalam.
Dulu aku kira karena aku terpilih jadi wakil ketua BEM, dan dia hanya jadi ketua divisi kecil. Lalu aku pikir karena Pandu lebih banyak menghabiskan waktu denganku ketimbang dirinya. Tapi ternyata bukan itu. Erina membenciku karena aku tetap bersinar... meski tanpa kosmetik mahal, tanpa mobil pribadi, dan tanpa nama besar di belakangku.
"Nyokap Lo Retno, Bokap Kuncoro, anaknya Angel? Hahhaa... Dasar aneh, orang kampung. Jangan-jangan nyokap Lo selingkuh kali ya sama bule? Duh, anak haram dong!"
Kalimat itu masih terngiang di kepalaku, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Erina dan dua sahabatnya menertawakanku di depan ruang organisasi. Hari itu aku hanya bisa diam. Menunduk. Menahan air mata yang nyaris jatuh. Bukan karena mereka mengataiku anak
Haram. Tapi karena aku tahu... mereka sebenarnya tidak sepenuhnya salah.
Aku tetap sabar dan tetap menjadi Angel yang baik.
"Dasar miskin! Gak pantes Lo sama Pandu. Buta kali tuh cowok!" Erina terus mengejek sambil menyeringai, menyodorkan foto Pandu dan dirinya dalam acara formal kampus.
"Pandu itu cuman main-main sama Lo. Gak nyadar apa? Dasar wanita gak tahu diri!"
Andai mereka tahu siapa ayahku sebenarnya. Aku bisa saja menyuruh anak buah Papa untuk menyingkirkan mereka semua hanya dengan satu panggilan. Aku bisa membeli masa depan Erina dan membuatnya tunduk di bawah kakiku. Tapi aku tidak melakukannya. Karena aku ingin berbeda dari Daddy.
Namun, hari itu menjadi awal perubahan dalam diriku.
Hari ketika aku tahu bahwa diamku adalah bahan bakar bagi kezaliman. Hari ketika aku sadar bahwa Erina bukan hanya menyakitiku karena cemburu... tapi karena ia tak tahan melihat seseorang yang lebih 'rendah' darinya, berdiri sejajar.
Dan hari itu juga aku tahu... aku akan membalasnya. Bukan dengan kekerasan. Tapi dengan cara yang akan membuatnya hancur dari dalam.
Keesokan harinya. Pandu datang dan menjelaskan tentang foto-foto itu. Dia bilang itu cuman salah paham. Erina dan Pandu sama-sama populer, aku cukup sadar diri. Namun cemburu buta telah menguasaiku saat itu.
Di ruangan kosong di kampus itu, Pandu tiba-tiba menciumku. Dia menenangkanku dengan cara yang berbeda. Dan aku kalah. Aku terpesona dan akhirnya luluh.
Di ruangan kosong itu, kami melakukannya. Pandu benar-benar membuatku terbuai dalam kenikmatan dunia.
"Terima kasih, Angel. Kamu adalah milikku. Dan aku juga milikmu. Aku dan Erina tidak pernah melakukan apapun. Foto-foto itu editan, Sayang. Jangan pernah percaya," ucap Pandu saat itu.
Aku mengangguk. Ya, sebuah foto memang bisa diedit. Dan aku tidak boleh percaya pada wanita itu begitu saja tanpa melihat secara langsung.
Dari tatapannya, aku percaya jika Pandu sangat tulus dan jujur.
Hari berganti bulan, semua berjalan lancar. Erina dan kawan-kawannya masih saja mengganggu, namun aku tidak peduli. Hubunganku dengan Pandu juga semakin lengket. Pandu bahkan mengatakan akan melamarku setelah lulus.
Jangan ditanya bagaimana perasaanku. Aku tentu saja sangat bahagia.
"I'm happy, Dad. Aku akan memperkenalkannya pada Daddy nanti. Dan jika aku menikah dengannya, aku tidak mau Daddy mengganggu kami."
"Oh tentu, Baby. Daddy tidak akan mengusik kalian."
"Really? Ehm, aku butuh modal besar. Aku ingin menjalani bisnis bersama suamiku."
"Yess, honey. Katakan saja kamu butuh berapa? Daddy akan berikan. Hiduplah bahagia bersama pasanganmu. Tapi, jika suatu saat dia menyakitimu, Daddy tidak akan mengampuninya!"
Itulah obrolanku dengan ayahku melalui video call.
Daddy memang sangat keras dan ditakuti oleh semua orang yang mengenalnya, namun perhatian Daddy padaku begitu besar. Dia selalu mensupport apapun keputusanku.
Satu tahun lagi kami lulus dan akan menikah. Aku dan Pandu tidak perlu memusingkan pekerjaan. Daddy akan memberi modal usaha untuk kami. Meskipun selamanya harus merahasiakan tentang jati diriku pada Pandu maupun pada keturunan Kami nanti, aku tidak peduli.
Biarlah Pandu mengenalku sebagai malaikat yang baik, bukan sebagai iblis keturunan dari pria berdarah dingin.
Beberapa bulan kemudian, saat kami sama-sama sibuk menyiapkan diri untuk sidang skripsi, disanalah awal mula bencana itu terjadi.
Aku pikir Erina sudah lelah dan tak mengusik hubunganku dengan Pandu lagi, tapi ternyata aku salah. Diamnya adalah bom waktu yang kapan saja bisa meledak.
Malam itu, langit Jakarta dipenuhi gemerlap lampu pesta yang disulap mewah di sebuah vila. Aku membawa sesuatu yang spesial-bukan kado mahal, bukan pula puisi
Cinta. Tapi sebuah kejutan manis untuk ulang tahun Pandu: tiket keliling Eropa untuk kami berdua.
Aku mengenakan gaun sederhana berwarna peach.
Rambutku kubiarkan terurai. Aku ingin Pandu melihat Angel yang sederhana ini bersinar di bawah cahaya malam, bukan karena nama besar ayahku, tapi karena cinta kami yang sejati. Setidaknya, itu yang selama ini kupercaya.
Aku menjejakkan kaki di pelataran vila dengan langkah ringan dan hati berdebar bahagia. Musik berdentum, tawa orang-orang berseliweran, dan aroma minuman keras memenuhi udara.
"Dia di kamar atas, Angel. Lagi istirahat katanya.
Mungkin kecapekan," kata seorang teman Pandu sambil tersenyum.
Aku mengangguk sopan, lalu menaiki tangga. Pintu kamar terbuka sedikit. Cahaya temaram menyusup dari sela-sela. Jantungku berdetak cepat. Kutekan perlahan daun pintu.
Dan di sanalah aku melihatnya.
Pandu.
Dengan Erina.
Terbaring di ranjang, tubuh mereka hanya terbalut selimut kusut. Pakaian berserakan di lantai. Rambut Erina acak-acakan, wajahnya merah dan puas. Pandu memeluknya seperti ia biasa memelukku.
Dunia runtuh.
Tanganku gemetar, langkahku limbung. Kado dalam
Genggaman jatuh menimpa lantai kayu. Bunyi lembut itu cukup membuat kepala Erina menoleh. Matanya membelalak ketika melihatku. Pandu bangun dengan tubuh telan jang setengah sadar, lalu terpaku saat melihatku berdiri di ambang pintu.
"Angel... ini... a-aku bisa jelaskan."
Aku mundur, menahan muntah. Aku ingin pingsan. Mati. Terhapus dari dunia yang kejam ini.
Tapi aku tidak menangis. Belum.
Aku hanya menatap mereka dalam diam. Pandu berdiri dan menghampiri, tapi aku lebih dulu membalikkan tubuh dan berlari menuruni tangga, menembus keramaian, dan menghilang dalam gelap malam.
**
Aku tiba di rumah dalam kondisi setengah gila. Nafasku sesak, tubuhku gemetar. Begitu pintu terbuka, aku menjatuhkan diri ke pelukan Bu Retno dan menangis. Tangis yang tak pernah kutumpahkan selama bertahun-tahun. Tangis yang mengalir bersama darah yang selama ini kupendam. Tangis dari seorang putri mafia... yang mencoba jadi manusia biasa.
"Aku bodoh, Bu... Aku bodoh! Aku terlalu percaya pada cinta yang dia berikan. Dia ternyata ba-jingan!!!"
Bu Retno memelukku erat. Tak berkata apa-apa.
Hanya membiarkanku meledak.
Beberapa menit kemudian, suara ketukan terdengar. Lalu disusul teriakan lirih.
"Angel... buka, tolong! Aku salah, aku dijebak! Demi Tuhan, aku nggak sadar apa-apa..."
Pandu.
Dia menyusulku.
Aku menoleh dengan mata bengkak, membuka laci meja rias di kamar tamu. Di sana ada sesuatu yang sudah lama tak kusentuh.
Sebuah pistol kecil, hadiah dari Ayah saat aku berusia 15 tahun. Dulu aku jijik melihatnya. Sekarang... terasa seperti bagian dari diriku.
Tanpa pikir panjang, aku buka pintu. Pandu berdiri di sana, matanya sembab, wajahnya kacau.
"Angel, dengar aku... Aku nggak tahu kenapa bisa kayak gitu... aku-"
Dor.
Pelatuk kutarik.
Pandu terhuyung, dadanya memerah, lalu roboh di teras rumah.
Aku berdiri kaku. Nafasku berat. Tangan gemetar.
Tapi anehnya... tak ada air mata.
Jeritan Bu Retno membuat pelayan lainnya keluar.
Beberapa lari, menjerit histeris.
Aku masih berdiri di sana, mematung, pistol masih dalam genggamanku. Dan entah bagaimana... tubuhku bergerak sendiri.
Satu per satu mereka kutembak. Mereka yang mencoba mendekat. Mereka yang berteriak. Entah siapa
Yang kulukai. Aku tak tahu. Dunia menjadi merah.
Merah... dan sunyi.
Lalu gelap.
Seseorang menarikku dari belakang. Tangan kekar mencekal kedua lenganku. Suara Pak Kuncoro menghardik keras.
"Bawa dia! Sekarang!"
Tubuhku didorong paksa ke dalam mobil hitam. Aku meronta. Tapi mereka lebih kuat. Kepalaku dibekap. Dunia berputar. Aku mencoba berteriak... tapi suaraku tenggelam.
**
Ketika sadar, aku berada di tempat asing. Sebuah vila tua di tengah hutan. Dindingnya berlapis bata merah. Dingin. Sunyi. Kelam.
Pak Kuncoro duduk di sudut ruangan, sambil
berbicara melalui telepon satelit.
"Iya, Tuan. Nona Angel sudah kami amankan Pandu mati, tiga pelayan juga. Tapi tak ada jejak yang tertinggal. Semua sudah dibersihkan."
Suara tawa di ujung sana membuat tubuhku bergidik.
"Darah memang kental daripada air! Angel benar-benar anakku..." Suara Daddy terdengar di ujung telepon itu.
Aku menunduk.
Air mata tak lagi keluar. Luka itu sudah terlalu dalam. Dan sekarang, sesuatu dalam diriku telah mati. Angel
Yang lemah... telah dikubur malam itu.
Malaikat baik itu kini telah berubah menjadi iblis yang jahat dan tak berperasaan.
Hari-hari berikutnya, aku tak bicara. Tak menjerit.
Tak menolak makanan. Aku hanya duduk dan menatap kosong. Tapi di dalam hatiku, ada satu bara yang menyala.
Erina.
Nama itu bergema dalam pikiranku.
Dia merenggut segalanya dariku. Dan aku
bersumpah... aku akan merenggut segalanya darinya.
Aku bukan lagi Angel. Bukan si cupu yang lemah dan takut. Aku adalah Angeline Massimo, putri tunggal Don Alberto. Dan jika dunia ini menyebutku malaikat, maka aku ingin menjadi malaikat dengan sayap terbakar... yang akan menyeret semua orang ke neraka.
Erina... tunggu aku.
Kau pikir kau menang?
Tidak.
Permainan... baru saja dimulai.
Aku tidak ingin membuat Erina terluka secara fisik.
Aku ingin membuatnya merasa... seperti aku dulu. Tidak berharga. Tidak diinginkan. Tidak berarti apa-apa meskipun berdiri di tengah keramaian.
"Dia sudah menikah dengan laki-laki bernama Tama!
Ini foto-foto mereka."
Ternyata cukup lama aku mengasingkan diri. Semua orang mencariku dan Pandu. Mereka berasumsi jika kami berdua diculik. Bu Retno dan Pak Kuncoro bersandiwara sangat baik, mereka seolah-olah kehilanganku.
Keluarga Pandu yang juga mengenalku dengan baik, tentu saja percaya. Mereka sangat menyayangiku, bahkan Pandu sudah mengatakan jika aku adalah calon istrinya. Dan mereka merasa kehilangan, bukan hanya kehilangan Pandu-anak mereka, tapi juga kehilanganku yang ternyata adalah pembunuh sebenarnya.
"Apa sudah aman kalau aku kembali sekarang?"
tanyaku pada anak buahku saat itu.
"Sudah, Nona. Kepergian Nona Angel sudah terlupakan. Kasus hilangnya Pandu pun sudah di tutup. Nona bisa kembali sekarang tapi tetap harus menyamar dan tinggal di rumah baru. Kami sudah siapkan semuanya!"
Aku tersenyum menyeringai. "Bagus. Aku ingin mengawasi si Erina itu. Dan panggil Yudha kemari, dia yang akan menjadi perantara untuk bisa menghancurkan Erina. Bukan hanya Erina, aku juga ingin menghancurkan seluruh keluarganya. Habisi juga kakaknya dan semua orang terdekatnya kecuali pria bernama Tama, laki-laki tampan itu akan jadi milikku suatu saat nanti!"
Dan sekarang, ditengah kesibukanku menjalani bisnis gelap Daddy, aku yang memerintahkan Yudha untuk menjalankan misi ini pun akhirnya bisa tersenyum lebar.
Erina mendekam di penjara, kakak satu-satunya mati, dan kini tersisa keponakannya. Dia adalah target selanjutnya. Seseorang yang tak ada dalam rencana, namun tiba-tiba masuk dan kini malah menjalin hubungan dengan laki-laki tampan yang telah aku targetkan untuk menjadi pemu as naf-suku.
Aku tidak percaya lagi dengan apa yang namanya cinta. Laki-laki bagiku hanyalah budak pemu-as. Cintaku telah habis dan mati oleh Pandu, ba-jingan yang telah membuatku kembali pada dunia gelap ini.
Dan Erina... Wanita yang sejak dulu selalu menghina, membully, bahkan merebut milikku, akan menderita lebih dari ini. Penjara hanyalah awal, dia akan berakhir di tanganku seperti Pandu, pria yang paling aku cintai dan paling aku benci.
***