NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Cinta setelah menikah / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:641
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kecurangan

Malam perlahan beranjak pergi, menyisakan langit yang mulai merekah oleh cahaya mentari. Sinar keemasan menembus celah jendela, menghangatkan bumi dan manusia yang bersiap memulai hari.

Cantika sudah tampak rapi dengan kemeja putih dan celana jeans hitam, dilengkapi jas kebanggaan kampusnya. Rambutnya diikat sederhana, mempertegas kecantikannya yang alami. Riasan tipis di wajah menambah kesan elegan, dan semerbak parfum lembut menandai semangatnya pagi itu. Ia meraih tas, lalu melangkah keluar kamar.

“Masya Allah, anak Ibu sudah cantik sekali,” ujar Bu Hasna haru, menatap putrinya penuh cinta. “Semangat ya hari ini. Ibu doakan Cantika lulus olimpiade dan dapat beasiswa S2.”

Cantika tersenyum lembut. “Makasih, Bu. Doa Ibu yang paling berarti buat Tika.”

Bu Hasna mengangguk, senyumnya mengembang penuh kebanggaan. Ia menepuk lembut bahu Cantika, lalu menariknya untuk duduk bersama di meja makan, sebuah kebiasaan kecil yang tak pernah mereka lewatkan. Pagi ini hanya ada sayur bening dan ayam goreng, tapi terasa istimewa. Masakan sederhana itu buatan Cantika sendiri; ia tak pernah membiarkan ibunya kelelahan.

Suasana sarapan berlangsung tenang dan penuh syukur. Makanan sederhana di meja justru menghadirkan kebahagiaan yang dulu tak pernah mereka miliki, ketika sekadar makan telur pun harus berutang ke warung.

Selesai makan, Cantika berpamitan. Ia mencium tangan ibunya, menatap wajah yang menua karena perjuangan.

“Doakan Tika, Bu.”

“Selalu, Nak,” jawab Bu Hasna lembut.

Cantika melangkah keluar rumah, menatap jalanan yang mulai ramai, lalu menunggu angkot yang melintas, dengan hati yang penuh harapan.

Begitu sampai di kampus, Cantika langsung melangkah menuju kelas. Hari ini adalah hari yang sangat penting baginya. Sambil menunggu olimpiade dimulai, ia memilih memanfaatkan waktu untuk belajar kembali, meninjau rumus dan catatan yang sudah disiapkannya semalam.

Di dalam kelas, ternyata Jesika sudah datang lebih dulu. Cantika tersenyum lega lalu menghampirinya.

“Wah, kamu udah datang duluan, Jes.”

“Iya dong, Tik,” balas Jesika ceria. “Aku dengar kamu mau ikut olimpiade hari ini. Jadi aku mau kasih semangat buat sahabat terbaikku.”

Cantika terkekeh pelan. “Ya ampun, makasih banyak ya, Jes.”

Jesika menepuk bahu Cantika. “Semangat, Tik. Aku yakin kamu pasti bisa menang.”

Cantika tersenyum, menatap buku di tangannya. “Mudah-mudahan… itu juga harapanku.”

“Pokoknya kamu harus menang,” tegas Jesika. “Kesempatan kayak gini gak datang dua kali. Aku bangga banget sama kamu, Tik. Kamu selalu berjuang keras.”

Cantika menghela napas, matanya menerawang sejenak. “Ya mau gimana lagi, Jes. Aku bukan orang kaya. Bahkan buat pengobatan Ibu aja masih mikirin. Makanya, aku gak mau sia-siain kesempatan ini.”

Tanpa mereka sadari, dari belakang, dua pasang mata memperhatikan dengan senyum licik.

Sindi menatap Elsa, lalu berbisik pelan, “Yuk, waktunya beraksi.”

Elsa mengangguk, dan keduanya segera beranjak keluar dari kelas, melangkah cepat menuju ruang Pak Dani.

“Permisi…” ucap Elsa sopan sambil mengetuk pintu ruang guru.

Pak Dani yang sedang menata berkas dan perlengkapan lomba menoleh. “Oh, Elsa, Sindi. Ada apa kalian pagi-pagi ke sini?”

Kedua gadis itu saling pandang sejenak, lalu Sindi menampilkan senyum yang mencurigakan. Ia membuka tasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop tebal.

“Pak Dani,” katanya pelan namun tegas. “Kami cuma mau bilang… jangan biarkan Cantika menang olimpiade ini.”

Pak Dani menatap mereka tajam. “Apa maksud kalian?” suaranya meninggi, rona wajahnya memerah.

“Sudahlah, Pak. Jangan pura-pura gak ngerti,” sela Elsa ringan. “Terima aja uangnya, ikuti kata kami.”

Pak Dani menggeleng, jelas tersinggung. Namun kalimat berikutnya membuat darahnya berdesir dingin.

“Atau…” Sindi menyeringai. “…saya akan bongkar semua hubungan rahasia Bapak sama Bu Arlin.”

Deg.

Wajah Pak Dani langsung memucat. Napasnya tercekat.

“Dari mana kamu tahu nama itu?”

Sindi terkekeh, lalu membuka galeri ponselnya. “Mau lihat bukti?”

Ia memperlihatkan foto yang memperlihatkan seorang pria dan wanita berciuman mesra di klub malam. Wajah dalam foto itu jelas, Pak Dani bersama Bu Arlin, istri dari pria yang sedang bertugas di luar negeri.

Pak Dani terbelalak. “Sindi! Hapus foto itu!”

Sindi menyilangkan tangan di dada, tersenyum penuh kemenangan.

“Bisa aja sih, Pak. Tapi kan saya udah susah payah dapetin foto ini. Masa cuma disuruh hapus gitu aja?”

Pak Dani menghela napas berat, sadar dirinya sudah terpojok.

“Oke… saya akan ikuti kemauan kalian. Tapi tolong, hapus foto itu. Jangan sampai ada yang tahu.”

“Pintar, Pak,” jawab Sindi dingin. “Kita kerja sama yang baik, ya.”

**

Suasana aula kampus pagi itu terasa berbeda. Bendera fakultas berkibar di sisi panggung, meja-meja peserta disusun rapi, dan layar besar di depan menampilkan tulisan “Olimpiade Sains Nasional Tingkat Universitas”.

Cantika duduk di deretan tengah, menatap lembar soal yang masih tertutup. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena gugup semata, tapi karena ia tahu betapa pentingnya hari ini.

Ia menatap tangan kirinya, lalu berbisik pelan, “Bismillah, demi Ibu…”

Jesika yang duduk di kursi penonton melambai kecil memberi semangat. Cantika tersenyum tipis dan mengangguk.

Tak jauh dari sana, Sindi dan Elsa berdiri di sudut ruangan, memperhatikan dari kejauhan dengan wajah puas.

“Lihat aja nanti, sehebat apa si Cantika itu kalau tanpa nilai,” bisik Elsa.

Sindi menyeringai. “Pak Dani udah tahu harus ngapain.”

Beberapa menit kemudian, Pak Dani naik ke podium untuk membuka acara. Wajahnya tampak tenang di luar, tapi di dalam dadanya, rasa bersalah berperang hebat. Pandangannya sempat bertemu dengan Cantika yang sedang menunduk, menyiapkan alat tulis. Entah kenapa, rasa bersalah itu semakin menghimpit dadanya.

" Dia anak baik, " batinnya. " Kenapa aku malah menghancurkan harapan sebersih itu… "

Namun bayangan foto-foto yang dipegang Sindi membuatnya menelan keras. Ia tak punya pilihan.

“Baik, kita mulai ujian olimpiade sekarang,” ucapnya datar.

Suasana hening. Semua peserta fokus pada lembar soal. Cantika mengerutkan dahi, membaca baris demi baris pertanyaan sulit. Tapi semangatnya tak surut sedikit pun. Jemarinya bergerak cepat menulis jawaban, penuh konsentrasi.

Waktu terasa berjalan cepat. Hingga akhirnya lonceng penanda waktu habis berbunyi. Semua peserta menyerahkan hasil ujian. Cantika menatap lembar jawabannya lega, meski keringat membasahi pelipis.

" Aku udah berjuang semampuku… sekarang biar Allah yang tentukan hasilnya, " gumamnya dalam hati.

Semua peserta mulai meninggalkan aula. Suara langkah kaki beradu dengan gema kursi yang digeser, lalu satu per satu hilang di kejauhan. Bahkan para penonton pun sudah kembali ke kelas, meninggalkan ruangan yang kini hanya menyisakan sunyi dan aroma kertas ujian yang masih menguar di udara.

Pak Dani masih duduk di kursinya. Tatapannya kosong, menatap lembar-lembar jawaban yang menumpuk di meja. Di dadanya, sesuatu bergolak hebat, rasa bersalah yang menekan, rasa takut yang menjerat.

Dengan langkah berat, ia berdiri. Tapi bukan menuju ruang pemeriksaan nilai, seperti seharusnya.

Kakinya justru membawanya ke lorong belakang gedung, tempat yang jarang dilewati siapa pun.

Ia berhenti sejenak, menatap ke kanan dan kiri. Hening. Tak ada siapa pun.

Angin berhembus pelan, menggeser tirai lusuh yang menggantung di jendela kecil.

Tangan Pak Dani bergetar ketika ia menarik satu lembar kertas dari tumpukan, lembar jawaban milik Cantika.

Ia menatap nama itu lama sekali. Tulisan tangan Cantika yang rapi.

Tenggorokannya terasa kering.

“Maafkan saya, Cantika…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Dalam satu gerakan cepat, kertas itu diremasnya kuat-kuat hingga berkerut di genggaman. Ia menutup mata sesaat, seolah berharap semua dosa itu bisa ikut lenyap bersama bunyi kertas yang diremas.

Lalu dengan gemetar, ia membuang lembar jawaban itu ke dalam tong sampah di pojok lorong.

Suara jatuhnya kertas terdengar nyaring di tengah keheningan, seperti pukulan telak di hatinya sendiri.

Pak Dani memalingkan wajah, menahan napas berat.

Langkahnya terasa lebih gontai dari sebelumnya saat ia pergi, meninggalkan jejak rasa bersalah yang kian menebal.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!