Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28
Pertemuan keluarga itu berakhir tanpa basa-basi lagi dari Reihan. Begitu semua pembahasan selesai, ia langsung bangkit dari kursinya.
“Kalau semua sudah selesai, saya pamit dulu,” ucapnya datar, tanpa menunggu respon siapa pun. Langkahnya tegap menuju pintu keluar, seolah ingin menghirup udara luar sesegera mungkin.
“Reihan! Di mana sopan santunmu?” tegur Lidya lantang, nada suaranya setengah menahan malu.
Tapi Rehan tak menoleh. Ia terus melangkah, membuka pintu, dan menghilang di baliknya.
Lidya menoleh pada keluarga Rani sambil memaksakan senyum. “Maaf ya, Jeng… Reihan memang sedikit keras kepala. Susah diatur anaknya.”
Sinta hanya terkekeh kecil. “Biasalah, Jeng. Kalau anak laki-laki sudah dewasa, kadang memang suka mengikuti kemauannya sendiri. Wajar, kok.”
Rani yang sejak tadi duduk di samping ibunya hanya diam, matanya mengikuti punggung Rehan yang semakin jauh. Ada rasa tak enak yang ia simpan, tapi ia memilih untuk tidak mengungkapkannya.
Di luar, Rehan sudah berada di balik kemudi mobil. Ia menghela napas panjang sebelum menyalakan mesin. Jalanan siang itu cukup padat, tapi ia tidak terburu-buru. Pandangannya kosong menatap ke depan, pikirannya berisik.
Ia memutuskan untuk tidak kembali ke kantor.
Sesampainya di rumah, Rehan langsung menuju kamarnya. Namun langkahnya terhenti ketika pintu terbuka.
Di dalam, Alya sedang berdiri membelakangi pintu, baru saja membuka beberapa kancing seragam sekolahnya. Begitu mendengar suara pintu, ia terlonjak kecil dan buru-buru merapatkan kembali kancingnya.
“Sudah pulang?” tanya Reihan, suaranya tenang tapi sorot matanya tak lepas dari Alya.
Alya menoleh cepat. “Iya… para guru ada rapat, jadi aku pulang lebih awal,” jawabnya sedikit gugup.
Reihan mendekat tanpa banyak kata, lalu menunduk dan mengecup kening Alya singkat. Sentuhan itu terasa hangat tapi sarat tanda tanya.
Lalu Reihan berjalan menuju ranjang dan duduk di tepinya, menunduk, kedua tangannya bertaut di antara lutut. Alya memperhatikannya, menangkap sesuatu yang tak biasa dari ekspresinya.
“Kamu kelihatan… kacau,” ucap Alya pelan, ragu apakah sebaiknya ia bertanya lebih jauh. “Ada masalah?”
Rehan mendongak sebentar, bibirnya melengkung tipis. “Nggak ada.” Jawabannya terlalu singkat, terlalu ringan untuk wajah yang seberat itu.
Alya tak percaya, tapi ia memilih diam sejenak. “Nggak pergi kerja?” tanyanya lagi, mencoba memancing percakapan.
Rehan merebahkan tubuhnya di ranjang tanpa melepas kemeja. “Nggak. Aku pusing… mau istirahat aja.”
Alya mengangguk perlahan. Ia membuka lemari, mengambil baju ganti, lalu berjalan menuju kamar mandi. Meski Rehan pernah melihat tubuh polosnya, entah kenapa ia tetap merasa gugup saat harus berganti pakaian di hadapan suaminya itu, terutama ketika tatapan pria itu sulit dibaca seperti sekarang.
Sebelum masuk ke kamar mandi, Alya menoleh sekilas. Reihan terbaring menatap langit-langit, matanya redup, seolah ada beban yang tak ingin ia ceritakan.
...
Setelah berganti pakaian, Alya berdiri sejenak di depan cermin. Wajahnya masih memikirkan raut lelah Rehan tadi. Mungkin teh hangat bisa sedikit membantu, batinnya. Ia pun keluar kamar dengan langkah pelan, menuju dapur.
Di dapur, para pelayan tengah sibuk menyiapkan makan siang. Suara panci, aroma tumisan, dan kepulan uap memenuhi ruangan. Begitu Alya masuk, aktivitas mereka langsung terhenti. Satu per satu menunduk hormat.
“Ada yang bisa kami bantu, Nona?” tanya salah satu pelayan dengan nada penuh hormat.
Alya tersenyum kecil dan menggeleng. “Tidak, aku cuma ingin membuat secangkir teh.”
“Biar kami buatkan, Nona,” timpal pelayan yang lain.
Alya mengangkat tangannya pelan. “Tidak usah. Aku bisa sendiri. Kalian lanjutkan saja pekerjaan kalian, jangan pedulikan aku.”
Mereka mengangguk patuh, meski tetap mencuri pandang. Alya pun mulai memanaskan air, menakar teh, dan menambahkan sedikit gula. Uap wangi segera memenuhi udara, membuat hatinya ikut hangat.
Tak lama kemudian, secangkir teh hangat siap di tangannya. Ia membawanya kembali ke kamar, melangkah hati-hati agar tak tumpah.
Begitu masuk, ia melihat Rehan masih terbaring, mata terpejam. Alya meletakkan cangkir itu di meja samping ranjang. Aroma teh langsung menguar, mengisi ruangan.
Rehan mengerjap, membuka mata perlahan. “Hmm… wangi apa ini?”
“Teh hangat,” jawab Alya lembut. “Minumlah. Katanya, bisa membantu kamu merasa lebih baik.”
Reihan bangkit duduk, mengambil cangkir itu. Tatapannya sebentar tertuju pada Alya sebelum ia menyesap isinya. Bibirnya tersenyum tipis.
“Manis… seperti yang buat.”
Alya tersenyum tipis. “Bagus kalau kamu suka.”
Rehan menatapnya lebih lama. “Terima kasih, sayang.” Nada suaranya menggoda, membuat Alya berpaling sambil menahan senyum malu.
Saat Alya hendak berdiri untuk keluar, tangan Rehan tiba-tiba mencengkeram pergelangannya. Tarikannya lembut tapi cukup membuatnya terduduk di sisi ranjang.
“Mau ke mana?” tanyanya dengan nada setengah serius.
Alya sedikit gugup karena jarak mereka yang sangat dekat, tapi ia cepat menguasai diri. “Keluar… mau biarin kamu istirahat.”
“Temani aku di sini,” ucap Rehan lirih. Ia menunduk, meletakkan kepalanya di bahu Alya. “Aku capek… rasanya pengen dipeluk sama istriku.”
Alya terdiam, merasakan hangatnya napas Rehan di pundaknya. Manja seperti ini bukanlah Rehan yang biasa ia kenal. Tapi justru karena itu, pipinya memanas, dan perlahan ia mengangkat tangannya, membalas pelukan itu dengan hati-hati.