Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Bayang-bayang Masa Lalu
Beberapa hari kemudian.
Malam itu, usai melewati hari-hari melelahkan, Robin baru saja membersihkan diri. Ia duduk di atas ranjang yang rapi, tubuhnya terasa lebih ringan meski pikirannya belum sepenuhnya tenang.
Ponselnya berdering. Di layar tertera nama yang selalu muncul di setiap waktu dalam hari-harinya.
Tanpa ragu, Robin menjawab, "Ya?"
Ia terdiam beberapa saat, mendengarkan suara di seberang.
Senyum tipis mulai terbit di sudut bibirnya.
"Segera kirimkan buktinya. Biar saya lihat sendiri," ucap Robin pelan, nyaris seperti bisikan.
Tepat saat itu, Ratna keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, aroma sabun lembut memenuhi ruangan.
"Apanya yang mau dilihat, Bang?" tanya Ratna seraya duduk di sampingnya. Ia memanjangkan leher, berusaha mengintip nama di layar.
Robin buru-buru memutuskan panggilan. "Nanti saya hubungi lagi," katanya cepat pada lawan bicara sebelum menekan tombol merah.
"Aduh, Sayang ... kamu bikin Abang kaget aja," ujarnya sambil terkekeh kecil, berusaha mengalihkan suasana. Ia segera melempar ponselnya ke atas kasur, layarnya sudah terkunci. Robin mengusap rambut basah Ratna dan menghirupnya.
"Wangi sekali kamu, Sayang."
Ratna menyipitkan matanya. "Jangan alihkan pembicaraan. Kenapa buru-buru gitu tutup teleponnya? Siapa yang menelepon?"
"Biasa, temen ... Lagi ada satu masalah," jawabnya menarik Ratna dalam pelukannya.
"Sesama driver? Ada masalah di aplikasi? Aku denger, banyak driver mengeluh persenannya tak menghargai pengemudi," ucap Ratna.
Robin melirik Ratna. Berita itu memang mengguncang negeri ini beberapa waktu lalu. Hanya saja, karena itu bukan bidangnya, ia tak ambil pusing.
"Ternyata kamu juga tahu masalah itu?"
Ratna mengusap lengan Robin. "Jangan khawatir Bang. Kalau pun tak ngojek, juga nggak masalah. Mungkin rezeki kita di warung kopi ini. Alhamdulillah, semenjak beberapa waktu terakhir, warung kopi kita cukup ramai."
Robin melirik Ratna mencoba mencari muara pembicaraan ini.
"Atau Abang temani aku saja di warung. Setidaknya aku tak pusing sendirian melihat tingkah Amora di sana."
"Emangnya dia ngapain hari ini?" tanya Robin, nada suaranya mulai berubah. Datar, tapi ada sedikit ketegangan yang lolos dari nada tenangnya.
Ratna mendengus pelan, lalu mengambil sisir dari laci kecil di samping ranjang. Ia mulai menyisir rambutnya perlahan, sebelum menjawab dengan mata masih tertuju pada bayangan dirinya di cermin. Terdengar helaan napas yang keluar dari mulutnya.
"Hanya saja, aku memang tak bisa mengendalikan dia, Bang. Tadi siang ada pengunjung wanita yang sepantaran aku mungkin. Dia cantik datang bersama Dirli. Mereka duduk di pojok memesan es kopi susu. Tapi Amora bukannya nganter minuman seperti biasa, dia malah duduk di situ. Ngobrol cukup lama, sampai harus menegurnya dua kali."
Robin menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Wajahnya tetap diam, tapi dahinya sedikit berkerut. "Lalu?"
"Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi, aku bagai diawasi oleh mereka. Perasaanku menjadi tidak enak menghadapi tatapan mereka." Ratna kini menatap Robin lewat pantulan cermin.
"Apa perasaanku aja ya, mereka ngomongin aku? Atau mungkin ada rencana apa gitu kan?"
Robin terdiam. Beberapa detik, matanya menatap langit-langit kamar, seperti sedang menimbang sesuatu. Ia mencoba menebak-nebak siapa wanita cantik yang diceritakan Ratna, datang bersama Dirli.
"Hmmm, jika aku menceritakan sesuatu, apa kamu mau berjanji untuk tidak akan marah?"
"Tergantung ..." ucap Ratna singkat.
"Loh? Kok cuma tergantung? Harusnya bersedia untuk tidak marah. Karena ini bisa bersangkutan juga dengan pernikahan kita."
Alis Ratna terangkat menghentikan aktivitasnya. "Kamu selingkuh?"
Robin tersentak, raut wajahnya kembali berubah kikuk. Reaksinya ini membuat Ratna menegang.
"Bang? Pernikahan kita ini belum cukup seumur jagung loh? Kamu beneran selingkuh dari aku?"
Robin mencoba menarik napas, dan menghembuskannya secara perlahan. Ia merasa harus menata diri terlebih dahulu sebelum memasuki intinya.
"Ini bukan masalah perselingkuhan, ini masalah kisah kehidupan yang telah berlalu. Hanya saja, masa lalu yang inginku kubur kembali muncul."
"Aku ini sudah tua, kamu juga tak muda lagi, aku rasa aku tak bisa merahasiakan masalah ini." Robin menyentuh pundak Ratna menatapnya dengan dalam.
"Sekarang, aku hanya ingin memintamu untuk mendengarkan aku. Sebelum aku selesai, kamu tak boleh menyela."
Ratna menatap Robin tanpa berkedip, seolah mencoba membaca maksud dari sorot matanya. Tangan yang tadi menyisir rambutnya kini diam menggenggam sisir. Hening mengisi ruangan beberapa detik, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan di langit-langit.
"Baik," ucap Ratna akhirnya. Suaranya rendah, tetapi tegas. "Aku dengarkan."
Robin menelan ludah, lalu mulai bicara.
"Sepertinya, aku tahu siapa yang datang bersama Dirli."
Ratna tidak bereaksi. Tatapannya tetap pada Robin, tak bergeming.
"Namanya Nancy."
Sekilas, mata Ratna berkedip, karena refleks.
"Dia bukan siapa-siapa lagi ... tapi dulu, dua puluh tahun yang lalu, dia pernah menjadi seseorang yang sangat dekat denganku."
Robin menggeser duduknya, kini ia menghadap langsung ke Ratna, membiarkan jarak di antara mereka menguap oleh kejujuran yang hendak diungkap.
"Dulu, aku dan Nancy hampir menikah. Sudah sejauh itu hubungan kami. Tapi dia pergi, Ratna. Di saat aku paling butuh seseorang, dia memilih pergi ke luar negeri demi pria lain. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan."
Ratna masih diam. Ia menurunkan sisir ke pangkuannya, tatapannya kini sayu. Seperti yang dititahkan Robin, ia masih hening mendengarkan apa yang disampaikan Robin.
"Dan sekarang ... dia kembali. Menjadikan Dirli sebagai mata-mata yang mungkin dikira akan berguna baginya. Dan dia mengatakan sesuatu yang tak terduga ...."
Ratna menahan napas, tak percaya. "Dia mengatakan apa?"
Robin mulai gugup untuk menjelaskannya. Ia merasa ini adalah sesuatu yang terlalu pribadi untuk diungkapkan yang mungkin akan membuat Ratna berpikir buruk tentangnya.
"Ayo lanjutkan!" desak Ratna mencoba-coba menebak sendiri apa yang mungkin akan keluar dari mulut Robin.
"Hmmm, dia berkata membawa anakku di dalam rahimnya."
Ratna mengatupkan bibirnya, napasnya mulai memburu. "Ja-jadi, kamu udah memiliki anak? Bukan kah kamu mengatakan belum pernah menikah?"
Robin menunduk, lalu melanjutkan kisahnya dengan suara lebih lirih, "Saat itu, kami terlalu dimabuk cinta. Kami sama-sama tak bisa mengontrol has rat yang membuncah di antara kami. Tapi, aku selalu berusaha berhati-hati."
Ratna memejamkan mata. Ternyata ia tak sekuat itu bisa menahan perasaan yang seolah runtuh oleh bayang-bayang masa lalu suaminya.
Hatinya berkecamuk. Ingin marah, ingin bertanya lebih banyak lagi, tetapi ada bagian dari dirinya yang ternyata tak lebih baik dibanding bayang-bayang masa lalu Robin. Ia menatap Robin dengan sendu.
"Jadi, dia memintamu untuk kembali bersama dengan membawa anak kalian?"