Dijodohkan dengan pria kaya raya? Kedengarannya seperti mimpi semua perempuan. Tapi tidak bagi Cloe.
Pria itu—Elad Gahanim—tampan, sombong, kekanak-kanakan, dan memperlakukannya seperti mainan mahal.
“Terima kasih, Ibu. Pilihanmu sungguh sempurna.”
Cloe tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi siapa peduli? Dia hanya anak yang disuruh menikah, bukan diminta pendapat. Dan sekarang, hidupnya bukan cuma jadi istri orang asing, tapi tahanan dalam rumah mewah.
Namun yang tak Cloe duga, di balik perjodohan ini ada permainan yang jauh lebih gelap: pengkhianatan, perebutan warisan, bahkan rencana pembunuhan.
Lalu, harus bagaimana?
Membunuh atau dibunuh? Menjadi istri atau ... jadi pion terakhir yang tersisa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Tamu di malam hari.
Seharian ini, Cloe tidak ada melihat batang hidung Elad. Ketika dia bangun tidur, kasur di sebelahnya telah dingin. Dia menjadi sibuk di balik wajah penuh ketenangan. Dan ... kesibukan serta beban pikiran, membuat Cloe bebas dari sentuhan hubungan intim suami-istri.
Malam itu, udara di rumah Gahanim terasa lebih hangat dari biasanya.
Cloe duduk di teras belakang, membiarkan angin malam membelai wajahnya. Di depannya, taman kecil berkilau lembut di bawah cahaya lampu taman. Sementara itu, Ayano sibuk di sampingnya, berusaha mengalahkan skor game di ponselnya.
“Aku hampir menang!” seru Ayano tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Cloe hanya tersenyum tipis. Ia memeluk lututnya, memandang langit malam yang bersih dari awan. Malam-malam seperti ini jarang sekali terjadi. Biasanya, selalu ada ketegangan di udara—baik dari Elad, dari Sehan, atau dari dirinya sendiri.
Tapi malam ini? Sunyi. Damai. Seperti jeda sebelum sesuatu yang besar. Bahkan Sehan pun tidak keluar dari kamar. Daripada Elad yang terkena musibah, Sehan tampak lebih frustrasi
“Aku senang Kak Cloe mau keluar duduk begini,” kata Ayano sambil akhirnya menaruh ponselnya. “Biasanya Kakak mengurung diri di kamar.”
Ya, itu terjadi jika Sehan begitu luang untuk menggodanya. Cloe tidak ingin Ayano juga menilainya rendah, atau menambah kewaspadaan pada Cloe jika saja Cloe termakan rayuan lalu mengkhianati abangnya.
“Aku butuh udara,” balas Cloe pelan. “Kalau terlalu lama di dalam, rasanya seperti meledak.”
Ayano mengangguk, memahami lebih dari yang ia ungkapkan.
Sejenak, mereka hanya duduk bersebelahan, berbagi keheningan yang nyaman. Angin malam membawa aroma tanah basah, bercampur wangi samar dari bunga-bunga di taman.
“Besok abang pulang, kan?” tanya Ayano tiba-tiba. Dia sudah absen sekolah karena masalah ini, paparazzi ikut mengincar Ayano. Membuat berita aneh dari gambar sepele, lantas menggiring opini publik ke arah yang tidak berhubungan.
Cloe menoleh. “Seharusnya begitu.” Suaranya datar. Tapi ada bagian kecil dari dirinya yang bertanya-tanya: pulang dalam keadaan bagaimana?
“Dia mungkin bawa oleh-oleh dari luar negeri,” lanjut Ayano, mencoba mencerahkan suasana.
“Semoga bukan masalah baru,” gumam Cloe.
Ayano terkekeh. Tapi tawanya cepat memudar. “Kak,” katanya perlahan, “hati-hati sama Bang Sehan, ya.”
Cloe menoleh tajam. “Kenapa?”
Ayano mengangkat bahu, berusaha terlihat santai, tapi matanya serius. “Aku cuma ... merasa aneh. Dia terlalu ramah. Terlalu sering memperhatikan kita.”
Cloe diam. Matanya kembali menatap taman, tapi pikirannya tidak lagi di sana.
“Terima kasih sudah memperingatkan,” ujarnya pelan.
Ayano tersenyum malu, lalu berdiri sambil meregangkan tubuhnya. “Aku masuk duluan, mau mandi. Kakak mau teh panas?”
“Boleh.”
“Siap!” Ayano menjawab riang, lalu berlari kecil ke dalam rumah. Padahal ada banyak pelayan di rumah ini, akan tetapi Ayano suka membuat sendiri jika urusan teh. Teh buatannya enak, dia bahkan mengoleksi teh dari bermacam-macam negara.
Cloe tetap duduk di sana, membiarkan udara malam merayapi kulitnya. Ada sesuatu di dadanya—sebuah firasat yang tak bisa ia buang. Seperti ada badai besar yang mendekat, hanya saja langit belum menunjukkan tanda-tanda.
‘Malam ini terlalu tenang,’ pikirnya.
Dan ia tahu, dalam dunia Elad Gahanim, ketenangan seperti ini tidak pernah bertahan lama.
Tiba-tiba pelayan datang terburu-buru, kebingungan. “Nyonya, di depan ada Nona Jasmin menuntut masuk. Saya harus bagaimana?”
Ah, Jasmin. Cloe lelah hanya dengan mendengar namanya. Cloe menghela napas panjang. Rasanya baru saja ia menikmati satu tarikan udara segar, kini harus menghadapi racun beracun bernama Jasmin.
“Suruh dia tunggu di ruang tamu,” kata Cloe. “Aku akan segera ke sana.”
Pelayan itu mengangguk gugup, lalu bergegas kembali ke dalam.
Cloe berdiri pelan, mengibaskan debu tak terlihat dari lutut gaunnya, sebelum melangkah masuk ke rumah besar itu. Setiap langkah terasa berat, seolah tubuhnya sendiri tahu, apa pun yang akan terjadi setelah ini, tidak akan menambah ketenangan.
Saat Cloe tiba di ruang tamu, Jasmin sudah berdiri di tengah ruangan, berbalut mantel mewah dan heels tinggi, tampak seolah dunia berputar di bawah kakinya. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda: ekspresi Jasmin tidak sesombong biasanya. Ada ketegangan, bahkan sedikit kepanikan di wajahnya.
"Mana Elad?" sergah Jasmin begitu melihat Cloe.
Cloe menahan diri untuk tidak mendesah keras-keras. Ia berjalan santai ke sofa, duduk tanpa mengundang Jasmin untuk melakukan hal yang sama.
“Elad sedang tidak di rumah,” jawabnya datar.
“Di mana dia?” tuntut Jasmin, matanya membelalak. “Aku sudah mencoba menghubunginya sejak tiga hari lalu! Tidak ada kabar! Kau tahu dia ke mana?”
Cloe mengangkat bahu acuh tak acuh. “Kalau kau memperhatikan berita, kau akan tahu.”
Jasmin mengernyit, benar-benar bingung.
“Apa maksudmu?”
Cloe menyandarkan punggung ke sofa, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangan kembali pada Jasmin.
“Kau tidak tahu? Hebat sekali.” Ada ejekan tipis dalam suaranya. “Cabang bisnis Elad di luar negeri terbakar. Dia pergi untuk mengurusnya.”
Wajah Jasmin seketika memucat. “Kebakaran?”
Cloe mengangguk perlahan, menikmati setiap detik keterkejutan wanita itu.
“Berita itu sudah tersebar, Jasmin. Kau benar-benar tidak tahu?”
Jasmin tampak terpukul. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa di seberang, matanya masih melebar.
“Aku ... aku terlalu sibuk beberapa hari ini ... Aku pikir dia marah padaku ... atau sengaja menghindar.”
Cloe memiringkan kepalanya. "Lucu sekali. Bahkan saat terjadi bencana, kau masih mengira dunia berputar hanya untuk urusan pribadimu."
Jasmin menatap Cloe tajam, tersinggung. Tapi ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat soal itu. "Apakah dia baik-baik saja?" tanyanya, kali ini suaranya lebih kecil, hampir berbisik.
Cloe menatap Jasmin sejenak, menimbang apakah ia harus jujur atau menyiramkan garam di atas luka wanita itu.
Akhirnya ia berkata, “Dia pulang besok. Kalau dia bisa selamat dari badai yang menunggunya di sini.”
Jasmin menggenggam tangannya di pangkuan, mencoba menenangkan diri. Tapi jelas, kabar itu menghancurkan ritme tenang hidupnya.
“Kalau dia datang, bilang aku ingin bertemu,” katanya akhirnya, bangkit berdiri.
Cloe hanya mengangkat satu alis. “Kenapa? Astaga, kau tidak malu meminta hal seperti itu pada istri sah?” Ekspresi Cloe kontras menggambarkan rasa jijik, dia membuat Jasmin terlihat seperti kotoran bau.
Jasmin mengetatkan rahangnya, lalu berbalik, meninggalkan rumah tanpa menoleh lagi. Tidak ada Elad, tidak ada yang membelanya jika memulai perkelahian dengan Cloe. Para pelayan tunduk pada Cloe, pemegang kekuasaan tertinggi nomor dua di rumah bak istana ini.
Begitu Jasmin menghilang di balik pintu, suara langkah kaki pelan terdengar dari arah lorong. Ayano muncul sambil membawa dua cangkir teh, ekspresinya bingung.
“Aku dengar suara keras ... siapa itu?” tanya Ayano, matanya mencari-cari.
Cloe menghela napas, mengambil salah satu cangkir dari tangan Ayano. “Hanya tamu lama yang belum bisa menerima kenyataan.”
Ayano mendekat, duduk di ujung sofa. Ia menyerahkan cangkir satu lagi untuk Cloe, lalu memandang pintu depan dengan alis berkerut.
“Aku tidak suka caranya mengetuk pintu. Kayak mau nabrak rumah orang.”
“Dia memang biasa menabrak sesuatu, terutama harga dirinya sendiri,” balas Cloe sinis, meniup tehnya sebelum menyesap perlahan.
Ayano tertawa pelan. Tapi di matanya ada kekhawatiran yang tak sepenuhnya tersembunyi.
“Kak ... banyak orang mau ambil sesuatu dari Bang Elad, ya?”
Pertanyaan itu sederhana. Tapi berat.
Cloe tidak langsung menjawab. Ia menatap ke dalam cangkirnya, melihat bayangan wajahnya sendiri bergetar di permukaan teh.
“Aku tidak tahu,” katanya akhirnya, suara lirih. “Mungkin karena dia punya terlalu banyak yang bisa diambil.”
Ayano terdiam. Di luar, angin malam berdesir melewati taman. Lampu-lampu kecil di sepanjang jalan setapak bergoyang, seolah ikut mendengarkan percakapan mereka.
Untuk sesaat, dunia terasa rapuh. Dan di tengah semua itu, Cloe sadar: Ia bukan hanya menjaga dirinya sendiri sekarang. Tapi juga menjaga sebuah kekuasaan—yang mulai mengundang lebih banyak serigala dari yang bisa ia hitung.
“Kalau semua orang datang untuk mengambil,” gumam Cloe pada dirinya sendiri, “aku harus jadi orang yang mempertahankan atau meninggalkan?”
Ayano tidak mendengar gumaman itu. Ia sibuk menatap teh hangat di tangannya, mungkin berdoa dalam diam agar badai yang mereka rasakan ini segera berlalu.
‘Ini belum apa-apa,’ pikirnya. ‘Bahkan badai sudah dimulai sejak awal aku datang ke kota ini.’ Ada gurat kesedihan di wajahnya. Kehidupan di kota ini menguras banyak tenaga dan emosinya.
Bersambung....