Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Kekesalan Herald
Sudah seminggu berlalu sejak kedatangan Olivia ke Mansion ini. Waktu terasa begitu cepat, tanpa disadari, ia telah menetap di sana selama tujuh hari penuh. Namun selama itu pula, sifat keras kepala Olivia tetap tidak berubah—dia terus membuntuti setiap gerak-gerik Herald dan Clara, mengamati dari kejauhan, seperti bayangan yang enggan pergi.
Meski Olivia tak pernah benar-benar berinteraksi, baik secara lisan maupun fisik, kehadirannya tetap terasa. Ia sekadar mengamati, diam-diam, tanpa kata, tanpa sentuhan. Untuk Clara, mungkin itu tidak menjadi masalah. Namun, bagi Herald, hal itu mulai menggerogoti kenyamanannya. Ia merasa seolah hidup di bawah sorotan mata yang tak terlihat, namun terus mengawasi. Bahkan saat mereka bersantai di taman, tatapan Olivia dari kejauhan menusuk punggungnya, membuat Herald gelisah.
[Apa dia tidak bosan terus memperhatikan kami?] pikir Herald, keheranan menyelimuti benaknya.
Sayangnya, sejauh ini tidak ada yang bisa ia lakukan. Setiap kali Herald mencoba mendekatinya, Olivia justru melarikan diri, seakan menghilang di balik bayang-bayang mansion. Usahanya untuk “menciduk” gadis itu selalu berakhir dengan kegagalan. Olivia kini jauh lebih waspada, langkahnya lincah seperti seekor kelinci yang terlatih menghindari jebakan.
Herald mendesah panjang.
[Kalau ini terus berlanjut, aku bisa kehilangan akal sehat. Argh. Mau tak mau, aku harus berbicara langsung dengannya.]
Malam itu, setelah ia mengantar Clara kembali ke kamarnya, Herald memutuskan untuk mengambil tindakan.
"Baiklah Nona Clara, kita akan bertemu lagi besok. Selamat malam," ucapnya lembut sambil tersenyum kecil.
"Yah, selamat malam juga," balas Clara, menutup pintu dengan tenang.
Tanpa membuang waktu, Herald segera bergegas menyusuri lorong-lorong mansion, berharap Olivia belum kembali ke kamarnya.
[Sekarang aku harus mencarinya. Ini kesempatan terbaikku.]
Di sepanjang perjalanan, matanya awas mengamati setiap sudut dan bayangan. Awalnya, pencarian itu terasa sia-sia, hingga akhirnya, di dekat aula utama, ia menemukan sosok yang dicarinya. Olivia tengah berdiri, tampak sibuk memberi arahan kepada beberapa pelayan.
[Baiklah, ini saatnya.]
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Herald melangkah cepat menghampirinya. Saat jaraknya sudah cukup dekat, ia memanggil dengan nada tenang namun tegas, "Nona Olivia."
Olivia terkejut. Ia berbalik dengan cepat, menatap Herald dengan ekspresi kaku, nyaris seperti tertangkap basah.
"Ada yang perlu kita bicarakan sebentar," lanjut Herald, matanya menatap lurus ke arah Olivia, tanpa gentar.
Di bawah cahaya temaram aula, kedua pasang mata itu saling bertautan. Tanpa basa-basi, Herald melontarkan pertanyaan yang sudah lama membebani pikirannya.
"Kenapa setiap hari kamu selalu menguntit kami?" tanyanya, nadanya penuh keheranan bercampur tekanan. "Pagi, siang, sore—kau selalu ada di mana-mana. Jujur saja, keberadaanmu membuatku merasa resah. Memang, kau tidak mengganggu secara langsung, tapi tetap saja, perasaan diawasi terus-menerus itu... mengusikku."
Ia menarik napas sejenak, menahan diri agar tidak terbawa emosi.
"Bisakah kau memberiku alasan? Kenapa kau melakukan semua ini?"
Olivia hanya menanggapi ucapan Herald dengan sebuah senyuman tipis, penuh nada mengejek.
"Hmph, aku hanya ingin melihat sejauh mana kau mampu bertahan mengurusnya," katanya dengan suara santai namun tajam. "Tapi yang kulihat hingga hari ini, kau melakukannya dengan cukup baik. Mengejutkan, sungguh."
Ia menyilangkan tangan di depan dada, nada bicaranya menjadi semakin meremehkan.
"Apakah kau dibayar lebih untuk pekerjaan ini? Pasti Ayahku memberimu bayaran besar, kan? Tentu saja, dia selalu memanjakan Clara... bahkan sampai harus menyewa orang sepertimu untuk melakukan pekerjaan sia-sia ini."
Kata-kata Olivia menyulut api dalam dada Herald. Amarah yang sedari tadi ditahan mulai bergolak, mendesak untuk meledak. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, berusaha sekuat mungkin untuk tetap tenang, namun dingin di suaranya tak bisa ia sembunyikan.
"Nona Olivia," katanya, menahan napas, "bisakah kau menarik kembali kata-katamu? Aku tidak suka mendengarnya."
Namun Olivia justru tertawa kecil, tawa yang terdengar seperti ejekan yang disengaja.
"Hahaha, kenapa? Bukankah itu kenyataannya?" ujarnya, semakin memperkeruh suasana. "Mana ada orang waras yang mau repot-repot menjaga orang buta seperti dia, kalau bukan demi bayaran tinggi? Kalau tidak, sudah sejak dulu dia ditinggalkan—seperti para penjaga lainnya."
Seketika, batas kesabaran Herald runtuh.
Dalam sekejap, ia melangkah maju dan mendorong tubuh Olivia hingga membentur tembok di belakangnya. Suara benturan kecil terdengar, disusul rintihan pelan dari bibir Olivia.
"Aduh, sakit...! Hei! Apa yang kau lakukan?!" protesnya keras, memegangi kepalanya yang terasa nyeri.
Namun, saat matanya menangkap ekspresi Herald, Olivia membeku.
Tatapan itu... tajam, dingin, namun penuh dengan keseriusan yang tak terbantahkan. Ada ketulusan yang membara di dalamnya—bukan amarah kosong, melainkan kemarahan yang lahir dari luka yang dalam.
Herald menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara tegas dan lantang:
"Dengar baik-baik, aku bukanlah orang seperti yang kau pikirkan, yang hanya bekerja demi imbalan semata."
Nada suaranya tegas, namun mengandung luka yang tak kasatmata.
"Memang," lanjutnya, suaranya melembut, "pada awalnya aku meremehkan pekerjaan ini. Aku pikir mengurus Nona Clara hanya akan menjadi beban semata. Bahkan, aku sempat berpikir untuk berhenti, karena sikap keras kepalanya."
Ia mengalihkan pandangan sejenak, mengingat kembali hari-hari berat itu.
"Tapi perlahan, aku mulai melihat sisi lain darinya—sisi yang selama ini tersembunyi di balik sikap keras dan ketidakberdayaannya. Aku mulai memahami... betapa kesepiannya dia. Betapa selama ini tak ada seorang pun yang benar-benar ada untuknya."
Mata Herald kembali menatap lurus ke arah Olivia, kali ini dengan sorot yang lebih dalam.
"Tanpa kusadari, aku ingin tetap berada di sampingnya. Bukan sebagai penjaga, bukan karena kewajiban, tapi sebagai teman... seseorang yang bisa berbagi suka dan duka dengannya, sesuatu yang selama ini tak pernah dia miliki."
Lalu, dengan ekspresi yang lebih dingin, Herald menyipitkan matanya, melontarkan kata-kata yang menghantam langsung ke dada Olivia:
"Berbeda dengan seorang kakak," ucapnya, suaranya nyaris berbisik, penuh luka, "yang memilih membenci adiknya sendiri... hanya karena takdir yang tak pernah ia pilih."
Olivia menajamkan tatapannya, menyadari bahwa ucapan Herald tadi secara tidak langsung menyinggung dirinya.
"Apa maksudmu berkata seperti itu?" tanyanya, nada suaranya lebih dingin, mengandung sedikit kegelisahan yang sulit disembunyikan.
Herald melangkah mundur, menjaga jarak seolah ingin menahan dirinya dari amarah yang belum sepenuhnya padam.
"Aku tidak ingin menjelaskan lebih jauh," ujarnya, matanya tetap tajam memandang Olivia. "Lebih baik kau cari tahu sendiri. Lagipula... kurasa kau sudah tahu jawabannya, bukan?"
Ucapan itu menggantung di udara, berat, menekan dada Olivia dengan rasa tidak nyaman yang perlahan muncul.
Tak ingin memperpanjang ketegangan yang sudah nyaris meledak, Herald mengambil keputusan cepat. "Baiklah, aku akan pergi," katanya seraya membalikkan badan. "Tapi ingat ini baik-baik, jangan menguntit kami lagi."
Tanpa menunggu jawaban, Herald melangkah pergi, punggungnya perlahan menghilang di lorong gelap mansion.
Namun sebelum benar-benar kehilangan kesempatan, Olivia memanggil, suaranya terdengar hampir seperti bisikan yang putus asa.
"Hei, bagimu... Clara itu apa?"
Langkah Herald terhenti. Ia berdiri diam untuk sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya dengan hati-hati. Lalu, tanpa menoleh, ia menjawab dengan suara pelan namun penuh keyakinan.
"Dia adalah... seseorang yang berharga bagiku."
Tak ada kata-kata lain setelah itu. Herald kembali melangkah, menghilang di balik kegelapan, meninggalkan Olivia yang kini berdiri sendiri, membeku dalam diam.
Hanya keheningan yang menyelimutinya saat ia akhirnya mulai berjalan kembali menuju kamarnya. Sepanjang lorong, Olivia bergumam dengan suara rendah, penuh emosi yang bergejolak.
"Sial... Pasti Clara sudah menceritakan semuanya kepada dia. Dasar mulut ember! Aku harus memberinya pelajaran."
Namun, seiring langkahnya yang semakin berat, nada suaranya mulai melemah, dipenuhi keraguan.
"Seseorang yang berharga...? Omong kosong apa itu..." bisiknya, namun kata-kata itu terasa lebih seperti usaha untuk meyakinkan dirinya sendiri, daripada benar-benar menyangkal.
**
Sementara itu, di sebuah ruangan yang remang, Astalfo tengah berbincang dengan kepercayaan lamanya, Hermas.
"Tuan Astalfo, tidakkah Anda merasa ada sesuatu yang aneh?" tanya Hermas, sambil membetulkan posisi duduknya. "Sudah satu minggu Nona Olivia menginap di sini. Itu bukan kebiasaannya."
Astalfo mengangkat alis, menatap Hermas dengan ekspresi berpikir.
"Heh, kau benar juga. Aku baru sadar... Biasanya, dia paling lama bertahan tiga hari di mansion ini," jawabnya sambil mengusap dagunya dengan pelan.
Olivia memang terkenal jarang mengunjungi mansion, dan bahkan jika datang pun, ia selalu pergi secepat mungkin. Namun kali ini berbeda. Satu minggu penuh... Hal itu, meski tampak menggembirakan di permukaan, tetap terasa janggal.
Hermas melanjutkan, nada suaranya lebih rendah, seolah membicarakan rahasia yang penting.
"Ada satu hal lagi yang lebih aneh, Tuan. Dari para prajurit dan pelayan, aku dengar... Nona Olivia selalu mengikuti ke mana pun Nona Clara dan Herald pergi. Singkatnya, dia menguntit mereka."
Astalfo mengerutkan kening sejenak, sebelum akhirnya tertawa kecil, sebuah tawa yang sarat makna.
"Hmm, kurasa sesuatu yang menarik sedang berlangsung di antara mereka," katanya sambil bersandar di kursinya, ekspresi wajahnya penuh rasa ingin tahu. Entah itu pertanda baik... atau mungkin, pertanda buruk.