Takdir hidup memang pilihan, lalu bagaimana kalau takdir itu yang memilihmu?
"Disaat takdir sudah memilih mu, aku sudah siap dengan segala resikonya!"
Bekerja sebagai pengasuh anak berkebutuhan khusus, membuat Mia harus memiliki jiwa penyabar yang amat besar.
Bagaimana reaksi Mia, saat anak yang diasuhnya ternyata pria berusia 25 tahun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Defri yantiHermawan17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SA BAB 33 Tekad Bulat
Januar menggigit bibirnya gugup, kepalanya terus menunduk- kedua tangannya sibuk memainkan rubik kesayangannya.
"Emm- Janu, kalau kamu ragu kita pergi aja ya. Lain kali aja nemuin Nyonya-,"
"Enggak! pokoknya Janu mau ketemu sama Mama sekarang. Janu mau bilang, kalau Janu mau nikah sama Mia!"
Mia berkedip cepat, gadis manis itu meringis mendengarnya. Ada rasa tidak percaya diri yang amat besar tengah menghantam hatinya.
'Aku yakin Nyonya Arista enggak mungkin ngasih ijin, Janu,' batinnya.
"Mia?"
"I-iya?" Mia tersentak, gadis itu mendongak- tinggi tubuh Januar sangat sulit untuk dia jangkau.
"Ayo! Mia pegang tangan Janu aja kalau takut. Nanti, biar Janu yang bilang sama Mama- Mia diam aja,"
Mia menggigit bibir bawahnya, entah kenapa dirinya malah berkaca kaca saat mendengar ucapan Januar. Mia bukan takut, dia hanya tidak percaya diri saja.
Tidak ingin larut terlalu dalam, Mia mengembangkan senyuman tipisnya. Sang pengasuh mengangguk yakin, Mia meraih satu tangan Januar yang tengah bermain di rubik nya.
"Kalau Janu ragu, pegang aja tangannya Mia ya!"
Kali ini giliran Januar yang membatu, pria berwajah tampan dan manis itu mengangguk kecil. Kedua mata teduhnya tidak lepas dari Mia-nya. Januar ikut tertular senyuman tipis pengasuhnya, pria itu menatap mantap pada pintu besar yang ada di hadapannya.
"Ayo Mia, Janu udah siap!" ucapnya mantap.
🍭SA🍭
"Ara, Ara dengerin aku dulu, please!"
Maura memejamkan kedua mata, kala merasakan cengkraman erat di lengannya. Gadis yang memakai blazer putih khas dokter itu berbalik, kedua manik matanya menatap penuh permusuhan pada mantan kekasihnya.
"Apa? gue suruh dengerin apa? suruh dengerin cerita kalian di masa lalu?" ucap sinis Maura.
Si calon dokter spesialis saraf itu melipat kedua tangannya di dada. Maura memindai sepasang mantan selingkuhan yang pernah mengoyak hatinya.
"Atau lo berdua mau saling tukar cerita di depan gue, 'ahaha- iya kita ketemu lagi ya'. ' ah iya, gimana kabar kamu mantan selingkuhan'?"
Maura berdecih pelan setelah menyelesaikan kalimat ejekan, yang dia tujukan pada Julian dan wanita mantan selingkuhan pria itu.
"Ara, apa yang ada di pikiran kamu itu semuanya enggak bener! aku enggak pernah seling-,"
"Enggak pernah selingkuh! itu kan yang mau lo omongin? hohoho- enggak selingkuh tapi kalian ciuman bibir?" Maura menyela penuh sindiran.
Perdebatan mereka kini menjadi tontonan banyak mata, terlebih tempat yang mereka jejaki saat ini adalah tempat umum. Maura sempat merasa tidak nyaman, namun gadis itu mengabaikannya- rasa tidak nyaman di hatinya lebih dominan dari pada rasa malunya saat ini.
Biarkan saja mereka tahu, Maura tidak peduli- suruh siapa mantan sialannya ini terus saja mengusiknya.
"ARA!" Julian sedikit meninggikan suaranya.
Pria berdimple di dagu itu mengusap wajahnya kasar, Julian menghela napas pelan- kedua kakinya mendekat pada Maura. Raut wajah Julian yang tadinya mengeras, kini perlahan melembut.
"Ara sayang, aku enggak pernah ngelakuin itu," ujar lirih Julian, mampu membuat Maura melirik sinis padanya.
"Tapi dia yang nyosor duluan, jadi aku enggak bisa ngehin- tunggu dengerin dulu, astaga!"
Julian segera mendekap tubuh Maura dari belakang, saat melihat gadis itu hendak pergi meninggalkannya.
"Lepasin! lo enggak malu di liatin sama pengunjung rumah sakit?!"
Maura meronta, bahkan gadis itu memukul hingga mencubit lengan Julian. Namun Julian tetap kekeuh, pria tampan itu menggeleng pelan- sampai akhirnya Julian memekik saat Maura menginjak salah satu kakinya, menggunakan ujung heels yang Maura pakai.
"Ara- aakhhh shii*t kaki aku, astaga,"
Maura tidak peduli, dia segera berjalan menjauh dari Julian dan Shiren. Maura mengabaikan tatapan para perawat dan dokter seniornya, karena terlalu larut pada amarahnya.
Tapi kenapa dia harus marah? bukannya dia dan Julian sudah selesai?
Maura berdecak kesal, saat menyadari sesuatu yang mulai menggebu dari dalam hatinya. Rasa ingin mencekik seseorang, untuk menjadi pelampiasannya saat ini.
Almia! Maura butuh Almia saat ini!
**TARIK NAPAS HEMBUSKAN
SABAR YA DEDE JANU
ADA YANG KANGEN SAMA DEDE JANU?
JANGAN LUPA LIKE VOTE KOMEN HADIAH DAN FAVORITNYA
SEE YOU NEXT PART MUUUAAACCHH😘😘**
jadi pengasuh malah 🤗