Hulla ... selamat datang di novel ketigaku❤❤❤
Masih berkaitan dengan dua novelku terdahulu ya, semoga ngga bosen😆 baca dulu biar ngga bingung✌
~Menikahi Bos Mantan Suamiku~
~Kekasihku, Asisten Adikku~
"Kamu adalah hal yang paling mustahil untukku. Bahkan aku tidak percaya semua kata-katamu, sejak aku mulai mengenalmu!" Jenny Putri.
"Cinta itu seperti gigitan nyamuk. Ngga akan terasa sebelum nyamuk itu kenyang mengisap darahmu, lalu terbang pergi. Setelah itu kamu baru merasa gatal, bahkan kesal karena tidak berhasil menangkapnya. Kuharap kamu bisa menyadari sebelum nyamuk itu pergi dan hanya meninggalkan bekas merah yang gatal di dirimu." Zabdan Darrenio.
Demi menyelamatkan Jen, Darren rela mengaku sebagai calon suami Jen. Meskipun Jen selama ini tidak pernah menganggap Darren sebagai teman melainkan musuh. Karena sejak kecil, Darren selalu menjahili Jen, sehingga Jen tidak menyukai pria tersebut. Bagaimana kisah pasangan absurd ini? Yuk simak sampai akhir ...
Picture by Canva
Edited by me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Mertua
Jen masih tak menyangka, jika harinya akan berakhir di sini. Di rumah mertuanya. Ia bahkan mengumpati Darren yang menghilang dari rumah setelah sarapan. Namun kini, ia menarik lagi umpatannya tersebut, sungguh ia sangat menyesal.
Kerabat Darren masih ada yang menginap di sini, sehingga rumah ini terasa sangat ramai dan penuh. Jen terasa asing di rumah ini, selain menempel pada Mama mertuanya ia hanya berdiam diri di tempat yang tak menarik perhatian. Sesekali ikut bergabung jika ada yang melibatkannya.
Mereka masih berkumpul di ruang tengah yang menyatu dengan ruang makan. Saling melepas rindu dan menceritakan perjalanan hidup masing-masing.
"Kalau capek, kamu istirahat saja dulu." Desy mengusap tangan Jen yang saling bertaut. Menantunya tersebut terlihat terkejut dan tersenyum menguasai diri.
"Ngga capek, kok, Ma," jawab Jen datar. Sejenak memperhatikan mama mertuanya yang baru saja datang dari arah dapur dengan membawa nampan. "Mama mau beresin gelas?"
Desy menoleh ke arah nampan yang ia simpan di sisi tangan yang lain. "Iya, cuma mau mama kemasi saja, takut kucingnya Dinka bikin ulah lagi." Desy tersenyum.
Jen mengulurkan tangannya, tiba-tiba ia ingat pesan mamanya tadi siang. "Disini gak ada pembantu jadi apapun pekerjaan mama mertuamu kamu harus bantu!"
"Biar Jen bantu, Ma ...," ujarnya sembari tersenyum. Jika hanya hal kecil, ia yakin ia bisa melakukannya.
"Ngga usah, Jen ... kamu istirahat saja." Desy menjauhkan nampan tersebut dari jangkauan Jen yang sedikit lagi menggapai nampan di tangannya. Desy berada dalam posisi dilema, ia selalu butuh bantuan sebenarnya, tetapi ia sungkan bila Jen yang membantunya.
"Jen ngga capek, Ma ... seharian Jen cuma duduk aja, 'kan? Sini, biar Jen saja ... Mama tunjukin aja mana yang harus Jen ambil." Dengan tidak sabar, Jen mengambil alih nampan itu dan beranjak menuju kumpulan kecil yang telah menghabiskan kopi dan teh yang terhidang.
Jen sejenak tersenyum ketika delapan orang yang duduk lesehan di karpet ruang tengah itu menoleh. Darren dan Dinka juga berada di sana.
"Rajin kali mantu kau, Des ...!" celetuk perempuan yang Jen tahu adalah tante papa mertuanya, bernama Ita. Satu keluarga ini belum lama tiba, sebab mereka tinggal di pulau lain.
Desy tersenyum, "Iya, Bi ...," jawab Desy canggung. "Kamarnya sudah siap jika Bibi mau beristirahat."
"Iya, sebentar lagi lah," Ita mengamati lekat-lekat Jen yang mengemas gelas dengan hati-hati. "Kau beruntung kali punya istri cantik macam dia, Ren!" sambungnya sambil menatap Darren.
Darren hanya tersenyum sekilas menanggapi ucapan Ita. "Nenek suka dia?" Darren selalu memanggil Ita dengan sebutan yang sama dengan neneknya. Meski terlihat galak, tetapi nenek Ita sangat perhatian dan penyayang.
"Iya, Nenek suka sama mantu yang mau membaur dengan keluarga suaminya seperti ini." Tangan Ita terulur untuk menepuk bahu Jen.
Darren tersenyum lagi, "Ajaklah dia tidur dengan Nenek nanti."
"Ada-ada saja kau ini! Tak lah ... biar nenek tidur dengan Dinka saja!" kesalnya di buat-buat.
Jen merengut di balik wajahnya yang menunduk. Ekor matanya melirik Darren yang sepertinya sengaja membuatnya kesulitan di rumah ini.
"Saya ke belakang dulu," pamitnya usai mengemas gelas-gelas tersebut. Rasanya ingin lari saja. Terlebih Dinka yang langsung menatapnya tak suka. Sementara yang lain memandangnya penuh perhatian.
"Hati-hati, Nak ... letakkan saja di wastafel. Besok Mama yang akan mencucinya, kamu langsung istirahat saja," perintah Desy. Jen mengangguk lalu beranjak dengan cepat meninggalkan mereka.
Bibir Jen memisah seketika saat melihat banyaknya cucian piring dan gelas kotor di dekat wastafel. Bekas makan malam Nenek Ita dan kerabat Rendi sepertinya belum di sentuh sama sekali oleh mama mertuanya.
Jen meletakkan nampan tersebut, ia menggaruk lehernya. "Masa iya aku harus bereskan ini?" pikirnya malas-malasan.
"Kata mama Desy 'kan besok saja bersihinnya. Sebaiknya aku menurut saja!" Jen memainkan bibir dan menjauhi wastafel.
Tetapi belum sampai ia meninggalkan dapur, kucing Dinka bernama Myung melenggang dengan santainya sambil menjilati ujung hidungnya. Matanya yang bersilak hijau menatap Jen sejenak. Sama seperti pemiliknya, Myung sepertinya tak menyukai Jen. Kucing kelabu itu dengan tangkas melompat ke atas wastafel yang Jen tinggalkan.
Jen melebarkan matanya ketika ekor Myung menyabet gelas-gelas tadi hingga berdenting. "Kamu sengaja, ya, Cing ...," serunya pada kucing yang duduk sambil menatap tembok di depannya. Menanti cicak yang lewat, mungkin.
"Sana pergi ...," ujarnya sambil mengangkat kucing itu, ia meletakkan kucing yang cukup berat itu di dekat kakinya. Mengusapnya perlahan, tetapi Myung langsung memutar kepalanya untuk menggigit tangan Jen.
"Ish ... sakit! Dasar kucing!" Jen mengibaskan tangannya. "Jauh-jauh sana! Kalau gak suka, gak usah main kekerasan. Mentang-mentang kamu tuan rumah di sini, jadi kamu mau seenaknya gitu sama aku?" Punggung kaki Jen terulur untuk mengusir Myung dari dekatnya. Dasar kucing galak!
"Kenapa Myung-ku kamu tendang?" teriak Dinka.
Jen yang masih melihat bekas gigitan Myung yang meninggalkan bekas meski tidak mengoyak kulitnya itu menoleh. "Dia gigit aku!" Ia menunjukkan bekas gigitan Myung pada Dinka yang mengambil Myung dari dekat kaki Jen.
"Segitu aja kamu sampe nendang dia? Kamu jahat banget, ya!" Sekilas Dinka memandang bagian bawah telunjuk Jen yang ada bekas gigitan Myung. Lalu mata Dinka menajam ketika membalas tatapan mengiba kakak iparnya.
"Aku gak nendang, kok, Din ... aku cuma nyingkirin dia pake ka—"
"Alasan saja kamu tuh ... bilang saja kalau kamu ingin balas aku lewat Myung!" potong Dinka, sorot matanya tidak melemah sama sekali mengecam Jen. Ia lantas berbalik dengan membuang wajahnya sangat kasar. Meninggalkan Jen yang mematung menahan kesal.
"Untung dia anaknya Mama Desy, kalau cuma adiknya Darren dah ku remes-remes mulut cabenya itu!" gumam Jen nyaris hanya gerakan bibir saja, sebab Dinka masih berada di ujung dapur. Jen membuang napasnya, melapangkan sabarnya, ia tak mau membuat keributan. Ia lebih memilih berbalik dan menghadapi lagi cucian piring yang menggunung itu.
Jen mau tak mau segera menyisihkan gelas dan tanpa pikir panjang segera membereskannya. Menuang sabun cuci piring banyak-banyak, Jen mulai menggosok piring yang sedikit licin saking banyaknya sabun yang ia tuang.
"Eh ... kok licin banget, ya ...," ucap Jen sambil mengeryit sebab piring di tangannya nyaris meluncur dan menimpa piring lainnya. Buru-buru ia membuka keran dengan volume penuh. Air menimpa piring dengan keras hingga muncrat kemana-mana termasuk wajah dan baju Jen.
"Eh-eh ...." Jen memejamkan mata, karena air semakin deras mengguyur wajahnya, tangannya meraba-raba tuas keran untuk mematikannya.
Darren menyangka Jen sudah ke kamar yang Darren ingat belum sempat ia rapikan. Tetapi ketika sampai di sana, kamarnya masih sepi.
"Kemana dia?" batin Darren sambil menutup lagi pintu kamarnya. Ia berbalik dan mendapati Nenek Ita bersama Dinka dan Myung dalam gendongannya menuju kamar yang letaknya berseberangan tetapi tidak berhadapan.
Kamar Darren paling belakang dan bersisihan dengan teras yang menghadap ke tembok pagar. Halaman belakang rumah ini memang sempit hanya cukup untuk menjemur pakaian. Mungkin sekitar satu meter sebelum mencapai pagar belakang.
"Nyari Jen, Nek ...," ucap Darren mendahului pertanyaan yang mungkin akan diucapkan oleh wanita tua itu.
"Mau kau ajak tempur, ya?" Nek Ita bertanya dengan ekspresi serius. "Jangan berisik nanti, ya ... mengganggu tidur yang lain nanti." Nenek Ita menggerakkan alisnya ke atas secara berulang, sebelum berbelok ke kamar Dinka.
Darren tak bisa berkata-kata selain mengikuti gerakan tertatih nenek tua itu. Mendengar kata bertempur, sudut bibir Darren tertarik sekilas. Ia menggelengkan kepala sebelum berlalu dan mencari Jen lagi. Mungkin masih di dapur.
Gemercik air menyegerakan langkah Darren ke dapur. Ketika matanya melihat Jen yang basah kuyup dan lantai sekitar kaki Jen basah, ia bergegas mendekat.
"Jangan kenceng-kenceng buka airnya. Filter airnya di ambil sama Mama," Darren meraih tuas keran dan mengecilkan aliran air dari keran tersebut. Ia tersenyum melihat Jen yang sudah hampir separuh jalan mencuci piring.
"Aku tahu, tapi selalu lupa ...," Jen menyeka wajahnya dengan ujung bahunya. "... jadinya muncrat-muncrat terus."
Darren terkekeh, "Kan udah mama bilang besok aja bersihinnya."
Jen melirik Darren sekilas. "Tadi kucingnya Dinka naik kesini, takutnya mecahin gelas dan piring ini." Ia kembali sibuk menggosok piring yang tersisa dua saja.
"Kucingnya udah masuk kamar Dinka, jadi gak bakal dia ke sini lagi." Darren mengambil piring di tangan Jen. "Kamu yang sabunin, biar aku yang bilas!" Darren mengusir Jen dengan tubuhnya.
Keduanya membisu, hanya suara air yang jatuh sebagai irama penjeda.
"Maaf untuk tadi pagi," ucap Jen tiba-tiba. Ia memalingkan wajahnya untuk menatap Darren.
"Jangan dipikirkan ... maaf juga karena aku kamu jadi dimarahin mama." Darren tersenyum sekilas. Jen mengangguk dan kembali menunduk.
"Kamu kasih sabunnya kebanyakan ini tadi, ya ... sampe licin begini. Tuh, busanya banyak banget." Darren mencoba memecah kecanggungan diantara mereka. Entah, Darren sendiri bingung, mereka akan sangat banyak bicara ketika berantem, tetapi ketika akur, hanya satu dua kata saja yang keluar dari mulut mereka berdua.
"Ngga juga, sih ...," Jen mengambil botol sabun yang terisi cairan kental berwarna kuning dan beraroma jeruk lemon. Menggoyangnya di depan Darren. "... segini masa banyak?"
Darren tersenyum lagi ketika melihat wajah Jen yang mengerut penuh tanya. Bukan lagi banyak, tapi kebanyakan, batin Darren dengan sudut bibir semakin melebar. Tetapi ia tak mau membuat Jen merasa bersalah.
"Kalau sabunnya kebanyakan dan bilasnya gak bersih, bau sabunnya tertinggal di sini ...," Darren menyodorkan gelas di tangannya ke hidung Jen. "Jadi, sponnya jangan kamu masukin bolak balik ke wadah sabun itu. Gini, nih."
Darren mengambil alih spon di tangan Jen. "Kamu yang bilas, tapi airnya jangan kenceng-kenceng!"
Jen menurut, ia membilas sisa bilasan Darren dan mengikuti apa kata Darren. Menggosok perabot itu hingga keset.
"Kenapa gak di kasih saringan keran aja? Biar airnya tetep pelan mengalir?"
"Mama gak sabaran orangnya, kadang isi airnya kelamaan padahal mama harus cepet-cepet ngurus nenek dan kami ... jadi mama congkel saringannya." Ia menunjukkan saringan keran yang di letakkan di kusen jendela.
"Oh!" Jen seperti baru menyadari betapa repotnya keluarga ini. Jadi dia hanya tersenyum saja dan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya.
"Kamu bisa 'kan beresin semuanya?" Tanya yang diangguki oleh Jen. "Aku akan pel lantainya, biar gak licin. Takut kamu lupa dan jatuh."
Jen mengangguk lagi. Melihat Darren seperti itu membuat leher Jen kering.
.
.
.
.
.
Pending bentar😁