Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
"P-Polisi ..." Elara membatin kaku. Kedua kakinya bak dipaku. menancap beku di lantai.
"Selamat pagi Bu Elara Putri?" sapa salah satu anggota polisi wanita.
Elara menelan ludah. "P-Pagi, Pak ... Bu. Ada apa ya?" Dia berusaha mengendalikan kegugupannya.
"Kami dari pihak kepolisian, mendapat perintah untuk menyampaikan surat panggilan resmi kepada anda untuk datang ke kantor polisi. Anda diminta memberikan keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan penganiayaan yang mengakibatkan meninggalnya Bapak Soni Dinata."
Wajah Elara langsung pucat. Tangannya bergetar saat menerima amplop cokelat itu. "S-Saya ... j-jadi saksi? kenapa harus saya, Pak, Bu? Saya merasa tidak terlibat dalam kasus itu." Suaranya parau.
Polisi itu menjawab dengan nada formal namun tegas, "Dalam pemeriksaan, tersangka: Zavier Dinata menyebut nama Anda sebagai salah satu orang yang mengetahui kondisi emosional dan interaksi dia sebelum kejadian. Anda juga disebut beberapa kali berada bersama tersangka pada hari-hari sebelum insiden."
Elara terperanjat. "Z-Zavier menyebut nama ss-saya?" Napasnya tercekat.
"Betul. Untuk itu, besok ... Anda wajib hadir tepat pukul sepuluh pagi. Jika tidak hadir tanpa alasan jelas, akan ada pemanggilan berikutnya disertai tindakan sesuai prosedur."
Mata Elara membola, sekaligus berkaca-kaca, bukan karena sedih ... tetapi lebih ke panik.
Setelah polisi itu pergi, pintu ditutup, dan Elara terjatuh duduk di lantai. Napasnya sesak.
"Kenapa dia menyeretku ke dalam kasusnya? Apa yang dia bilang ke polisi?" desisnya. "Padahal aku sudah mengakhiri hubunganku dengan dia! Tapi ... argh!" Elara menendang tempat payung yang ada di dekat rak sepatu. "Zavier sialan!" Dia menggeram emosi.
Kini, selain kehilangan Zavier, sumber uangnya dan acara pernikahannya gagal total, ia juga harus menghadapi ketakutan terbesar: diseret ke kasus kriminal yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya.
Dan lebih buruk lagi ... Elara tahu keluarga besar Zavier sangat membencinya.
Dia juga mendengar kabar burung jika Zhea ingin melaporkannya atas perselingkuhan yang ia lakukan dengan Zavier. Dan kini, polisi pun menatapnya sebagai bagian dari lingkar masalah yang dialami Zavier.
Elara menggigit bibirnya keras. "Brengsek! Semua ini karena si Zhea! Gara-gara dia membongkar perselingkuhanku dengan Zavier di ulang tahun Zavier yang ke tiga puluh lima ... masalah ini jadi merembet ke mana-mana! Memang keparat si Zhea! Wanita gila! Setan!" Elara menyapu barang-barang yang ada di meja ruang tamu dengan tangannya. "Tuhaaaan ...! Kenapa hidupku jadi begini?! Apa salahkuuu ...!" jeritnya tak sadar dosa besar yang telah ia lakukan.
_______
Zhea baru saja keluar dari kantor Zola, ia berniat akan langsung ke kantor polisi untuk memberikan keterangan sebagai saksi di kasus yang menimpa Zavier. Tapi pengacara Rindu mengirim pesan kepadanya. Jika jadwalnya diundur jadi besok, jam sepuluh pagi.
Zhea menghela napas lega. "Alhamdulillah ... setidaknya hari ini, aku bisa menghabiskan waktu dulu dengan Zheza. Kasihan gadis kecilku itu ... sudah beberapa hari ini terus kutinggal-tinggal pergi." Dengan langkah cepat, Zhea segera masuk ke dalam mobilnya. "Zheza ... Mama pulang," ujarnya sambil melajukan mobil membelah jalanan ibu kota yang cukup lengang.
Saat sedang fokus menyetir, ponselnya berdering. Zhea langsung mengangkatnya seraya memasang TWS ke telinga, "Assalamu'alaikum, Ma. Ada apa?"
Zahrani menyahut cepat dari ujung sana. "Wa'alaikumussalam. Zhea, kamu masih di kantor Om Zola, atau sudah mau pulang?"
"Udah di jalan, Ma. Kenapa emang?"
"Diapers Zheza habis."
"Oooh ... ya udah, Ma. Aku mampir dulu ke minimarket sekarang. Tapi Zheza nggak lagi pup kan?"
"Enggak, cuma takutnya bentar lagi dia pup. Soalnya dari tadi nyusu terus." Zahrani menjawab sambil tertawa.
"Iya, Ma. Kalau gitu udah dulu ya."
"Iya, sayang. Hati-hati bawa mobilnya. Jangan ngebut."
Panggilan itu diakhiri oleh Zhea.
____
Elara berdiri di depan kasir, kedua tangannya sedikit gemetar saat meletakkan sebotol air mineral besar dan dua bungkus roti di meja. Wajahnya pucat, kantong matanya menghitam akibat sudah tiga malam penuh dengan kecemasan karena permasalahan yang ia hadapi saat ini. Dari mulai perselingkuhannya dan Zavier yang terbongkar, tekanan dari ibunya, dan ditambah lagi dirinya kini terseret kasus pembunuhan Soni Dinata. Ketiga masalah itu membuat kepalanya nyaris pecah.
"Totalnya tiga puluh dua ribu," ujar kasir.
Elara mengangguk, menyerahkan kartu debitnya. Ia menunggu, berharap transaksi cepat selesai karena ia ingin segera kembali ke apartemennya.
Beep.
Mesin kartu berbunyi aneh. Kasir mengerutkan kening. "Maaf, Kak ... kartunya declined. Sepertinya sudah diblokir."
Elara spontan menatap kasir, wajahnya memanas, menegang. "Tidak mungkin ... coba sekali lagi, Mbak."
Kasir mencoba lagi ... namun kembali gagal. "Tidak bisa, Kakak."
Dan sebelum Elara sempat mengambil napas untuk memahami kesialan yang menimpanya, terdengar suara dari samping kirinya, berasal dari seorang wanita yang baru menyimpan belanjaannya kepada si kasir satunya lagi. Suara wanita itu sangat dingin, tajam dan sinis.
"Susah ya ... kalau hidup dari mengandalkan kartu yang dikasih suami orang?"
Elara menegang. Perlahan ia menoleh dengan leher yang mendadak kaku. "Z-Zhea ..." batinnya terhenyak.
Zhea berdiri di sampingnya, kedua tangan terlipat anggun di dada, tatapannya menusuk seperti belati yang sengaja diarahkan tepat ke tempat paling sakit. Wajah Zhea terlihat jauh lebih segar dari terakhir kali Elara melihatnya, seakan penderitaan yang Zavier berikan justru menjadi bahan bakar untuk kebangkitan wanita itu.
"Apa yang kamu dapatkan dari suamiku ..." ucap Zhea dengan senyum miris yang sedikit terangkat di ujung bibir, "Satu per satu akan kuambil lagi," lanjutnya menusuk.
Elara tercekat. Lidahnya kelu. Napasnya tersendat.
Orang-orang di antrean mulai memperhatikan. Ada yang saling berbisik, menyoroti pertengkaran dingin yang mulai menguap di udara.
Zhea melangkah maju, menatap barang belanjaan Elara yang sangat sederhana ... air mineral dan dua buah roti. Ia tersenyum tipis. "Kasihan sekali. Biasanya, kamu makan di restoran mahal, belanja, ke salon dan hura-hura pakai kartu yang sama kan?" Nada bicaranya pelan, tapi setiap katanya seperti tamparan. "Tapi sekarang ... sudah tidak bisa digunakan, ya?"
Elara menelan ludah, berusaha menjaga martabatnya yang tersisa. "Aku ... aku akan bayar pakai uang cash." Namun itu hanya bualan semata. Tak ada satu rupiah pun di dalam dompetnya, karena semua uang pemberian Zavier alias tabungannya ... ia simpan di kartu yang kini tak berguna itu.
"Tidak usah memaksakan," bisik Zhea lembut, namun tajam. "Kamu kan sudah tidak punya ATM berjalan lagi. Aku sudah menyuruh pihak bank memblokir semua kartu kredit dan juga debit milik suamiku, jadi ..." Zhea mengangkat bahunya sambil tersenyum manis, tapi terlihat mengerikan bagi Elara.
Lalu tanpa diduga, Zhea merogoh tasnya, mengeluarkan uang tunai, dan meletakkannya di kasir ... membayar belanjaan Elara tanpa diminta. "Anggap saja ini sedekah dari istri sah," ucapnya datar. Setelah itu, Zhea membayar belanjaannya sendiri.
Elara membeku di tempat. Malu. Terhina. Tapi tidak berani menolak, karena ia benar-benar tak punya uang.
Sebelum berbalik pergi, Zhea menatap satu detik wajah Elara. "Kamu tidak hanya merusak rumah tanggaku, Elara ..." katanya. "Tapi kamu juga ... sudah merusak hidupmu sendiri." Zhea benar-benar berbalik, melenggang pergi dengan hati yang puas.
Elara menggigit bibirnya keras hingga hampir berdarah.
Dan di minimarket kecil itu ... di antara rak makanan ringan dan tatapan penasaran pelanggan lain ... Elara merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya ...
Hancur.
Benar-benar hancur.
Dan dipermalukan dengan cara yang paling hina.
jadi ayah yg baik untuk anak mu apalagi anakmu perempuan hati"loh