NovelToon NovelToon
Kepepet Cinta Ceo Arogan

Kepepet Cinta Ceo Arogan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / CEO / Romansa / Fantasi Wanita / Nikah Kontrak / Wanita Karir
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: keipouloe

Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.

Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.

Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lengser

Aroma bawang putih tumis memenuhi dapur kecil villa itu. Arash berdiri di depan kompor, tangannya cekatan mengaduk nasi goreng. Meski sederhana, ia berusaha membuatnya senikmat mungkin—bukan untuk Devan, tapi agar dirinya sendiri bisa menenangkan hati.

Karena diam itu pilihan terbaik untuk pagi itu.

Karena ia masih takut.

Karena bayangan Devan yang menindihnya subuh tadi masih membuat jantungnya mencelos.

Di luar, Devan duduk termenung di sofa. Jemarinya saling meremas, rahangnya tegang. “Nggak seharusnya gue melakukan itu… Arash,” gumamnya lirih. Rasa penyesalan itu menusuk dalam. Ia menunduk, membenamkan wajah ke kedua telapak tangan.

Setelah beberapa detik mengatur napas, ia bangkit. Langkahnya pelan menuju dapur, seakan takut ditolak.

Saat sampai, ia melihat punggung mungil Arash yang sibuk mengaduk nasi. Setiap gerakan gadis itu terlihat kaku—terlalu kaku.

“Rash…” ujar Devan pelan.

Tidak ada jawaban.

Devan menelan ludah, lalu bergerak mendekat. Tanpa izin, ia menaruh kedua lengannya di pinggang Arash dan memeluknya dari belakang. Pelukan erat, hangat… dan memaksa.

“Jangan diamkan saya, Arash…” ucapnya pelan, seperti permohonan.

Namun Arash tetap diam. Tangannya mencoba melepaskan pelukan Devan, tapi pria itu jauh lebih kuat. Saat usahanya tak berhasil, ia menyerah, membiarkan tubuhnya tetap terkurung.

Devan menurunkan dagu, bersandar nyaman pada pundak Arash. Tubuh tingginya yang hampir dua meter itu menutupi seluruh tubuh Arash yang kecil. Dari jarak sedekat itu, ia bisa mencium wangi sabun mandi Arash, dan itu membuat hatinya berdesir.

“Pak… lepas,” ucap Arash lirih.

“Nggak,” jawab Devan cepat. “Nggak kalau kamu masih diam aja.”

“Ya lepas dulu,” ujar Arash kesal, masih tanpa menatapnya. “Saya mau naruh nasi goreng di meja.”

Devan akhirnya melepaskan pelukannya dan berbalik duduk di meja makan. “Enak banget kayaknya, Rash,” ucapnya berusaha mencairkan suasana.

Masih tidak ada jawaban.

Arash menyajikan nasi goreng ke piring Devan tanpa satu kalimat pun keluar dari mulutnya.

Mereka makan dalam diam.

Hanya suara sendok-garpu yang terdengar. Tidak ada percakapan, tidak ada lirikan hangat, tidak ada perdebatan kecil seperti biasanya. Dan bagi Devan, itu jauh lebih menyakitkan daripada teriakan Arash sekalipun.

Setelah makan selesai, Devan bangkit, masuk ke kamar tanpa bicara. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan pakaian rapi.

“Rash, nanti kita pulang jam sebelas,” ucapnya singkat.

“Iya, Pak,” jawab Arash pelan.

Lalu mereka kembali sibuk dengan dunia masing-masing. Arash mencuci piring dan membereskan dapur, sementara Devan duduk di sofa, memandangi ponselnya yang sudah hidup kembali. Notifikasi berderet: telepon, pesan, email, semua menumpuk.

Devan tidak menghiraukan satu pun.

......................

Sementara itu, di Jakarta…

Meja makan keluarga Adhitama dipenuhi hidangan mahal, tapi tidak satu pun yang benar-benar menyentuh. Suasana tegang menyelimuti ruangan sejak Danu pulang dengan kemarahan semalam.

Danu memegang koran, tapi dari gerakan tangannya yang terus meremas halaman, semua orang tahu ia sedang menahan amarah.

Diana duduk di sampingnya, wajahnya pucat, matanya mengawasi reaksi sang suami dengan was-was.

Dewa di seberang meja hanya bisa memainkan sendok, tidak berani membuka suara.

Tiba-tiba Danu meletakkan koran dengan keras. Suara bantingan itu membuat Diana terlonjak.

“Kalau dalam waktu satu bulan kakakmu tidak menerima perjodohan dengan Vena,” ujar Danu dingin, “maka perusahaan akan jatuh ke kamu, Dewa.”

Dewa sontak terbelalak. “A-apa? Dad, jangan bercanda! Aku—aku udah cukup pusing mengurus perusahaan keluarga Naila. Aku nggak bisa pegang dua-duanya!”

“Bukan urusan Daddy,” ujar Danu tegas. “Daddy sudah memutuskan.”

“Tapi Dad—”

“Kalau Devan masih keras kepala seperti itu, kalau dia berani-beraninya menghilang di acara penting yang Daddy sendiri rencanakan… Daddy akan ambil semua fasilitasnya.”

Diana menatap suaminya dengan cemas. “Dad… jangan begitu…”

“Aku serius. Aku akan keluarkan dia dari daftar pewaris Adhitama Group.”

Dewa menganga tidak percaya. “Dad! dia kakak ku!”

“Dan dia mempermalukan Daddy! Di depan investor! Di depan keluarga Vena! Di depan semua orang!” teriak Danu sambil menghantam meja dengan tinjunya.

Diana menutup mulut, menahan air mata. Sementara Dewa hanya bisa menunduk—antara kaget dan bingung. Ia tahu kakaknya keras kepala. Tapi ia juga tahu… Devan pasti tidak melakukan itu tanpa alasan.

Namun Danu sudah bulat. Keputusan itu mencengkeram meja makan seperti badai yang siap menenggelamkan siapa pun.

......................

Kembali ke villa…

Jam dinding menunjukkan pukul sembilan. Udara dingin pegunungan menusuk kulit.

Arash duduk di dapur, memandangi jendela kaca yang mengarah ke kebun teh. Ia masih diam, tapi sedikit demi sedikit ketakutan di wajahnya berubah menjadi ragu dan bingung.

Sementara Devan… masih duduk di sofa, tangan meremas rambut sendiri.

Akhirnya, ia berdiri perlahan dan mendekati Arash. Tapi kali ini ia tidak menyentuhnya. Ia duduk di kursi seberang, memandang nasi goreng sisa sarapan.

“Rash…” ujarnya pelan.

Arash hanya menoleh sebentar, lalu kembali memandang keluar. Ketakutannya masih menempel, tapi ada sesuatu lain: hatinya patah sedikit melihat wajah Devan yang terlihat begitu menyesal.

“Saya…” Devan menelan ludah. “Saya minta maaf.”

Untuk pertama kalinya sejak pagi, Arash menatap Devan langsung.

Mata wanita itu masih waspada. Masih takut. Masih gelap.

Devan menghela napas, menunduk dalam-dalam. “Saya… saya kelewatan. Saya janji nggak akan kayak gitu lagi. Kamu boleh marah. Kamu boleh kesel. Tapi jangan diam begini… saya nggak tahan.”

Arash menggigit bibir, berusaha keras menahan gemetar. “Saya… cuma kaget, Pak…”

Devan mengangguk cepat. “Saya tahu. Makanya saya minta maaf. Serius.”

Hening mengisi ruang di antara mereka.

Hening yang tidak sepanas tadi.

Lebih lembut… tapi tetap rapuh.

Arash akhirnya berdiri dan mematikan kompor yang tidak menyala. “Saya—saya siap pulang jam sebelas, Pak.”

Devan menatapnya, sedikit lega. “Oke.”

Namun, ada hal lain yang tidak mereka ketahui:

Saat mereka menata hati di villa sunyi itu… badai besar sedang menunggu mereka di Jakarta.

Dan ketika pintu villa itu akhirnya terbuka nanti…

Tidak ada jaminan hidup keduanya masih sama.

1
Reni Anjarwani
lanjut thor doubel up
Reni Anjarwani
doubel up
Reni Anjarwani
doubel up thor
rokhatii: stay tune kak🙏🙏
total 1 replies
Reni Anjarwani
lanjut thor
rokhatii
ditanggung pak ceonya🤣🤣🤣
matchaa_ci
lah kalo gajinya di potong semua gimana arash hidup nanti, untuk bayar kos, makan, bensin pak ceo?
aisssssss
mobil siapa itu kira kira
aisssssss
bagua banget suka ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!