Ana yang baru masuk ke tempat kerja baru, terpikat dengan Aris, pemuda yang tampan, baik, rajin bekerja dan sopan. Sempat pacaran selama setahun sebelum mereka menikah.
Di tahun kedua pernikahan mereka, karakter Aris berubah dan semakin lama semakin buruk dan jahat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Frans Lizzie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 - Mereka sepasang kekasih
Hari Senin, seperti biasa Ana selalu datang yang paling pagi. Ia pergi ke front office bagian operator untuk mengambil kunci kantor sales.
Satria yang masuk shift malam tiba-tiba muncul.
“Ana, aku ingin berbicara denganmu,” kata Satria dengan suara pelan.
“Baik, Bang. Ada apa ya?”
“Apa benar kabar Ana pacaran dengan Aris, engineering?” tanya Satria lugas. Langsung to the point.
Ana lumayan kaget.
Ini hari Senin yang masih sangat pagi lho. Kemarin ia dan Mas Aris sampai ke pelabuhan Punggur sudah pukul 6 sore. Pulang sampai ke mess mungkin pukul 8.30 malam, karena makan malam dulu.
“Dari siapa Bang Satria tahu?” tanya Ana keheranan.
Satria langsung menyibak rambut di kepalanya.
“Wah, berarti berita itu benar.” Suara Satria terdengar frustasi.
“Aduh Anaa…,” keluh Satria. “Kenapa malah pilih Aris sih.”
Ana terbengong-bengong mendengar perkataan Satria.
“Ana, apakah sudah tahu….”
Perkataan Satria terpotong oleh panggilan dari front desk, “Hello, good morning. Is anybody here?”
Satria langsung melesat ke arah depan.
Terdengar percakapan antara Satria dan tamu bule di depan.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Ana meninggalkan front office untuk membuka officenya sendiri.
Pukul sembilan kurang 30 detik, terdengar bunyi beberapa pasang kaki yang berlarian di sepanjang lorong koridor. Lalu muncullah Yudi, disusul dengan Yuni dan Tiur. Rambut mereka sedikit acak-acakan.
Dengan sigap mereka duduk di meja masing-masing menyalakan komputer dan menyisir merapikan rambut mereka.
“Say,” desis Yuni. “Beneran ya Ana jadian sama Aris. Sudah ngamar juga di Tanjung Pinang?”
DEG!
Orang-orang sales juga sudah tahu? Secepat itu?
Pandangan Tiur langsung melekat erat pada Ana dan begitu juga Yudi yang memanjangkan lehernya dari seberang sana menunggu jawaban Ana dengan penuh antusias.
“Iyo, Mbak Ana…kepriye kuwi beritane bener opo ora?”
Ana bergantian menatap ketiga rekan kerjanya, bukan menjawab tetapi malah balik bertanya, “Darimana kalian dengar berita itu sih?”
“Wes rame mbak beritane neng kalangan wong hotel,” ujar Yudi.
Walau wajah Tiur sudah tampak mulai terganggu dengan boso jowo-nya Yudi, kali ini dia memilih tidak menanggapinya karena menunggu respon dari Ana jauh lebih menarik.
“Kemarin itu Ana pergi sama Aris berdua ke Tanjung Pinang kan.” Tiur tiba-tiba teringat kenapa Ana pulang cepat Jumat kemarin. “Jadi beneran ini Ana dan Aris pergi pacaran ya ke Tanjung Pinang.”
“Wah, joss, Aris iki pancen paten.” Tahu-tahu Yudi sudah berdiri di depan meja-meja kerja sales.
Terdengar langkah kaki yang cepat tapi ringan dari arah lorong koridor. Lalu dari arah pintu masuklah Ling Xie.
“Good morning, guys! Hus, jangan nge-gosip. Mr. Duncan menuju ke sini lho. Kerja, kerja, kerja.”
Bersamaan itu Mr. Duncan masuk dan segera memanggil semua staf sales masuk ke ruang meeting.
Yudi tetap ditinggal di luar untuk meng-handle setiap telepon yang masuk.
Selesai meeting, gosip tentang Ana dan Aris pun sudah terlupakan. Otak mereka sudah terlalu penuh dengan tugas-tugas dari bos mereka. Tidak ada tempat lagi untuk mengurusi gosip orang lain.
Saat Ana turun ke kantin karyawan untuk makan siang, hampir semua orang sudah tahu kalau ia pacaran dengan Aris. Pertanyaan demi pertanyaan bertubi-tubi datang kepadanya.
Ana jadi merasa tidak nyaman. Kenapa mereka semua ini kepo sekali
Padahal belum ada 24 jam ia berada kembali di Batam, namun hal privasi seperti itu cepat sekali menyebarnya.
Berdasarkan logika berpikir Ana, hanya dirinya dan Mas Aris, yang tahu persis mengetahui hal ini. Dan ia tahu pasti bukan dirinya yang buka suara, jadi bukankah berarti Aris yang menyebarkan berita ini? Untuk apa?
Ah, bingung.
Karena tidak bisa mengelak lagi, Ana pun mengakui kebenaran gosip itu, mengiyakan jika ia dan Aris memang berpacaran.
Yah, mau bagaimana lagi. Dia sudah terdesak.
Sehabis makan siang, Ana sengaja mencari daerah yang sepi dari Hotel Atlantic ini. Ia ingin menghubungi Aris lewat hp.
Ia ingin membicarakan masalah hubungan mereka yang sudah menyebar ke semua orang bahkan sebelum tuntas 24 jam setelah mereka kembali menginjak tanah Batam.
Ana berhenti di ballroom hotel yang saat itu kosong karena tidak ada event. Di situlah Ana menghubungi hp Aris. Berkali-kali Ana mencoba menghubungi tetapi tidak diangkat.
Ana menarik nafas panjang.
Selalu begitu.
Di jam kerja, sangat sulit menghubungi Aris. Dia pasti akan kembali menguap hilang seperti hantu.
Kembali Ana menarik nafas dalam-dalam.
Oke, itu memang kerjaan Aris. Mungkin pekerjaan di bidang engineering memang seperti itu. Tapi setidaknya kerja di bidang itu bisa menghasilkan uang yang banyak. Nyatanya Aris dengan sangat mudah menghamburkan uang jutaan hanya untuk sekali makan.
Ya, it’s worth it.
Ana mengetikkan pesan lewat aplikasi WA. Dua centang berwarna abu-abu.
Hpnya aktif.
Cuma dia tidak sempat membukanya.
Ya sudah, ditunggu saja sampai ia menjawab.
______________________
Dua hari sudah, status WA terakhir yang Ana kirim kepada Aris masih berwarna abu-abu?
Ana jadi overthinking.
Sesibuk itukah pekerjaan seorang engineer di sebuah hotel, sampai sekedar membaca pesan dari kekasih yang katanya mau segera dinikahi saja tidak sempat?
Apalagi setiap Ana mencoba menghubungi hp Aris selalu tidak diangkat.
Oke, putus Ana. Langsung ku hubungi saja ext untuk Chief Engineer. Itu kan perangkat yang wajib untuk dijawab jika berdering. Peraturan perusahaan.
Nekad?
Biar saja.
Yang penting bisa bicara dengan Aris.
“Good afternoon, Syamsul speaking.”
Matilah.
Si bos engineering langsung.
“Selamat siang, Pak Syamsul,” jawab Ana dengan suara sopan. “Ana speaking here. Boleh saya bicara dengan Pak Aris?”
“Tunggu sebentar, Miss.” Terdengar gagang telepon diletakkan.
“Aris. Telepon dari bini mu.”
GEERRR!
Terdengar riuh godaan beberapa pria dalam ruangan itu.
Mati!
Untung tidak berhadapan langsung.
Coba kalau langsung.
Lebih baik Ana berubah jadi lalat saja agar bisa terbang menjauh.
“Siang Ana.” Suara Aris merdu. “Ada apa?”
Sekarang Ana jadi mati gaya. Apa yang bisa ia tanyakan, coba? Di saat Aris sedang dikelilingi rekan kerjanya.
“Aku sudah dua hari kirim wa ke Mas Aris. Tapi belum terbaca juga. Aku jadi kuatir.”
Keluar juga pernyataan Ana. Ana berpendapat itu adalah kata-kata tepat untuk menegur Aris yang sering menghilang tanpa kabar sama sekali.
“Oh, Ana kirim wa ya?” Terdengar bunyi kresek-kresek dari arah Aris. “Oo iya. Iya, ini ada. Aduh maaf Ana, banyak yang masuk ke wa-ku, wa Ana jadi tertindih.”
“Wah, payah Pak Aris.”
“Marahin itu, Miss.”
“Hukum dia, Miss. Jangan kasih jatah.”
“Udah dapet yang cantik ayu gitu lho. Kok dicuekin.”
Suara-suara gaduh bisa terdengar dari telepon kantor Ana. Belum lagi suara Pak Syamsul yang ikutan tertawa keras.
“Kami, engineering lagi akan menjalani audit.” Terdengar lagi suara Aris
Oh, audit!
Ana menyesal karena sudah mengganggu jam kerja Aris akibat ke overthinking-annya.
“Oh, baik kalau begitu.” Ana semakin merasa ciut. “Aku minta maaf ya sudah bikin gaduh. Ganggu kerja Mas Aris saja. Aku minta maaf.”
“Aku tutup ya. Aku lanjut kerja dulu.”
Telepon ditutup.
Dan Ana merasa bersalah.
Bodohnya dia.
Memalukan.
Pasti Aris di-bully habis-habisan oleh teman sejawatnya.
Dia sungguh bodoh sekali