Suatu kondisi yang mengharuskan Zidan menikahi Khansa, teman masa kecilnya yang tinggal di desa, atas permintaan terakhir neneknya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Disisi lain, Zidan memiliki kekasih setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Pernikahan itu terjadi karena satu syarat yang diberikan Khansa, mau tidak mau Zidan menerima syaratnya agar pernikahan mereka bisa berlangsung.
Bagaimana kehidupan pernikahan Zidan dan Khansa?
Lalu bagaimana hubungan Zidan dengan kekasihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lentera Sunyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia adalah Kamu
“Zi—”
“Iya?” Zidan menunduk memandang Khansa setelah beberapa saat melamun. “Ada yang ingin kamu katakan?”
Khansa mengangguk pelan dan juga ragu. “Iya, hanya saja aku ragu untuk mengatakannya. Aku takut jika nantinya akan menyinggung kamu, atau berakhir dengan sesuatu yang tidak kita harapkan.”
“Katakan saja, tidak perlu ragu. Kalaupun yang kamu tanyakan cukup sensitif, aku akan berusaha agar tidak tersinggung.” Zidan meyakinkan Khansa agar mengutarakan isi hatinya.
Khansa melepaskan pelukannya, berbari terlentang dengan kaki yang masih menggantung ke lantai.
Zidan menghadap ke arah Zidan yang terbaring. Ia mengangkat kaki kirinya ke atas kasur. Menunggu apa yang akan dikatakan oleh istrinya.
“Apa kamu sudah tidak memiliki rasa pada mantanmu? Maaf jika aku bertanya mengenai ini, aku hanya ingin memastikannya.” Khansa melirik sekilas, lalu berganti menatap langit-langit kamarnya.
Khansa membelalakan matanya saat Zidan sudah berada di atasnya. Dengan kedua tangannya yang menjadi tumpuan.
“Zi-zi?” Khansa menahan dada Zidan dengan kedua tangannya.
“Sa, lihat mata aku. Apakah masih ada rasa dalam diriku untuk dia?” Hanya sebuah gelengan. “Jika kamu bisa melihatnya, kamu tidak perlu lagi mempertanyakan itu padaku. Satu hal lagi, bolehkah aku yang bertanya sekarang?” Meskipun ragu, Khansa tetap saja mengangguk.
“Tanyakan saja.”
“Kamu bisa melihat jika aku sudah tidak memiliki perasaan itu ke Naya, tapi apa kamu bisa lihat perasaanku ini untuk siapa?” Pertanyaan Zidan membuat Khansa diam tak berkutik.
Khansa tau jika Zidan mencintainya, sorot matanya dengan jelas memancarkan rasa cinta dan perhatian yang mendalam untuknya. Sayangnya Khansa tidak bisa leluasa seperti Zidan untuk menunjukan perasaannya.
“Aku tau,” lirih Khansa.
“Benarkah?” Khansa mengangguk.
“Siapa?” tanya Zidan yang sengaja memancing Khansa agar mau mengakuinya.
“Kamu tau benar apa yang kamu rasakan, Zi. Hanya saja masih ada beberapa hal yang perlu kutanyakan padamu.” Khansa menatap mata Zidan tanpa mengalihkan pandangannya sedetik pun.
“Kalau begitu katakan apa yang ingin kamu tanyakan padaku.” Zidan meraih tangan kiri Khansa yang ada di dadanya.
“Tidak pernahkah kamu penasaran siapa laki-laki yang sudah membuatku jatuh hati?”
Zidan memandang Khansa yang ada di bawahnya dengan seksama. Raut wajahnya seketika berubah menjadi masam, tapi sebisa mungkin Zidan terlihat biasa saja.
“Aku tidak akan menanyakan hal itu, jika kamu sendiri tidak ingin memberitahuku. Tapi, aku sangat iri padanya karena bisa dicintai olehmu, meskipun hanya diam-diam.”
Zi, bukan ini yang aku inginkan. Jika seperti ini, mungkin kamu tidak akan pernah tau jika dia adalah kamu sendiri. Aku ingin memberitahumu, tapi aku tidak yakin. Karena kamu tidak ada usaha untuk mencari siapa laki-laki yang sudah masuk ke dalam hatiku, batin Khansa yang merasa sedih karena kecewa.
Jika saja Zidan berusaha bertanya siapa orang itu, mungkin Khansa akan benar-benar membuka hatinya. Sayangnya, apa yang menjadi harapannya tidak terjadi sama sekali.
Keputusannya untuk menyembunyikan perasaannya yang dulu pernah ada, mungkin selamanya akan menjadi rahasia. Karena Khansa sudah memutuskan untuk tidak memberitahu Zidan, kecuali Zidan menanyakannya.
“Oke, kalau begitu tidak ada lagi yang ingin aku tanyakan. Hanya saja, untuk saat ini aku masih takut dengan kata cinta. Aku tidak ingin merasakan kecewa untuk kedua kalinya.”
Apalagi orangnya sama. Jika diingat, kamu bisa melupakan janji yang kamu buat sendiri, dan itu sudah cukup untuk menjadi pelajaran untukku, sambung Khansa dalam hatinya.
Zidan masih setia menatap Khansa, ia merasa masih ada sesuatu yang disembunyikan oleh Khansa darinya.
“Kenapa aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu dariku, tidak bisakah kamu memberitahuku?” Kali ini Zidan berharap jika Khansa mau sedikit terbuka dengannya.
Khansa tersenyum, tangan kanannya menyentuh pipi Zidan dengan lembut, bahkan ibu jarinya berulang kali mengusap pipinya.
“Bukan sesuatu yang penting. Jadi, tidak perlu dibahas lagi.”
Untuk yang kesekian kalinya Khansa harus tunduk dengan keegoisannya sendiri. Seharusnya Khansa memberi tahu Zidan yang sebenarnya, agar hubungan mereka bisa semakin dekat.
Apalagi saat Zidan tau jika orang yang dicintai Khansa dulunya adalah dia, Zidan pasti tidak akan membiarkan Khansa mengalaminya untuk yang kedua kalinya. Terlebih lagi masih dengan orang yang sama.
“Kamu yakin? Aku bersedia jika kamu ingin mengatakannya. Sekali saja apa kamu tidak bisa terbuka denganku?” Raut wajah Zidan terlihat kecewa karena untuk yang kesekian kalinya Khansa selalu menutup dirinya.
“Aku akan melakukannya, tapi sungguh tidak ada masalah yang serius. Aku juga sudah memutuskan untuk lebih terbuka denganmu. Jika tidak aku tidak akan memperlihatkan rasa khawatirku padamu.” Khansa berusaha meyakinkan Zidan jika saat ini ia sedang mencoba dengan lapang hati mengenai hubungan mereka yang akan berumur satu bulan.
Zidan menghela nafasnya, bisa dilihat jika yang dikatakan Khansa sangat bersungguh-sungguh.
“Boleh aku memelukmu?” Lirih Zidan yang menatap Khansa.
Khansa ingin menolak, hanya saja jika ia melakukannya itu akan membuat Zidan melupakan semua yang mereka bahas saat ini.
“Tentu saja, untuk hari kamu bebas melakukannya. Aku tidak akan melarangmu, jika kamu tidak keberatan sama sekali.”
“Untuk apa aku keberatan? Aku sangat senang kamu mengizinkan aku. Kalau begitu, untuk hari ini aku tidak akan melepaskanmu, jangan minta untuk menyingkirkan tanganku.” Zidan memperingatkan Khansa, untuk hari ini ia bebas memeluknya tanpa ada teguran sama sekali.
Kesempatan itu datang, tentu saja aku akan memanfaatkannya. Jangan harap kamu bisa lepas dariku untuk hari ini, final Zidan dalam hatinya.
Zidan menyandarkan kepalanya di dada Khansa. Dengan senang hati Khansa menyambutnya dengan mengusap lembut surai rambut Zidan yang hampir panjang.
“Rambut kamu mulai panjang, apa kamu tidak akan memotongnya?” tanya Khansa yang masih mengusap rambut Zidan.
“Benarkah?” Zidan mendongak. Khansa mengangguk karena memang rambut Zidan sudah panjang.
“Kalau begitu, apakah kamu mau menemaniku untuk potong rambut? Sekalian kita jalan-jalan, bagaimana?” Usul Zidan berharap agar Khansa tidak menolaknya.
“Kapan?”
“Jika kamu mau kita bisa pergi besok, atau kapanpun yang kamu inginkan. Mungkin lusa?”
“Baiklah, kita pergi besok. Aku sudah lama tinggal di kota, tapi hanya beberapa kali keluar rumah. Aku lebih sering di rumah, itu karena aku juga yang selalu nolak ajakan kamu.”
Zidan memeluk erat pinggang Khansa, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Khansa.
Khansa menahan nafasnya saat Zidan terus menggerakan wajahnya di lehernya. Selain itu, rambut Zidan beberapa kali menusuk kulitnya dagunya hingga membuat sensasi geli.
“Oke fiks! Besok kita akan keluar untuk jalan-jalan.”
Dan aku berharap kejadian terakhir kalinya tidak akan terulang lagi. Semoga saja Khansa tidak bertemu dengan Naya lagi, atau dia akan merasa bersalah untuk yang kesekian kalinya. Sangat sulit untuk membujuknya, aku berharap besok akan berjalan mulus, ucap Zidan dalam hatinya.