NovelToon NovelToon
Transmigrasi Aziya

Transmigrasi Aziya

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Transmigrasi / Bullying dan Balas Dendam / Putri asli/palsu
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: lailararista

Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.

Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.

Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.

Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Alam yang berbeda

Aziya mengerjap, hatinya bergetar hebat. Kata-kata Gabriel masih terngiang di telinganya.

“Aku mencintaimu.”

Sekali lagi, kalimat itu meluncur jelas dari bibir Gabriel. Dunia seolah berhenti berputar bagi Aziya. Ia menatapnya tak percaya, lidahnya kelu, dada terasa sesak.

“Gak! Gabriel, lo harus sadar, dia itu penipu!” jerit Azura, matanya liar. Ia tak tahan lagi melihat sorot lembut Gabriel hanya tertuju pada kembarannya.

Gabriel menoleh pada Azura, tatapannya dingin menusuk. “Penipu itu lo, Bukan dia.” Ucapannya bagai pisau yang menusuk dada Azura.

Azura meraung, melangkah cepat ke arah Aziya. Tangannya terangkat, menampar pipi Aziya dengan keras hingga bergema di seluruh ruangan.

PLAKK!

“Lo sengaja mau ngancurin hidup gue, ha?!” suara Azura parau bercampur tangis.

Aziya mengusap pipinya yang memerah, matanya menyipit. Senyum miring muncul di bibirnya.

“Lo salah. Hidup lo udah hancur dari dulu. Cuma lo baru sadar sekarang.”

Tanpa aba-aba, bogeman keras mendarat tepat di tulang hidung Azura. BUGHH! Darah langsung mengucur dari hidungnya. Tubuh Azura terhuyung jatuh, membuat semua orang menahan napas.

Rina menjerit, berlari menolong Azura. Ia membantunya berdiri, namun tangan dan wajahnya bergetar hebat. Namun, Azura menepisnya.

Semua orang terdiam, hanya bisa menatap.

Aziya menegakkan tubuhnya, sorot matanya penuh api. “Selamat datang di kehancuran lo sendiri, Azura.”

Senyum dinginnya membuat bulu kuduk merinding.

Ia lalu memutar tubuhnya, menatap satu per satu orang di ruangan itu. Nafasnya berat, tapi nadanya jelas.

“Pa… Aziya sama Azira sayang banget sama Papa. Jaga diri baik-baik, Pa.”

Arion tertegun, matanya melebar, kepalanya menggeleng keras. “Jangan ngomong begitu, Nak… jangan!”

Aziya bergeser menatap Brianna. Air matanya mengalir tanpa ia sadari. “Ma… Azira sayang sama Mama. Tapi Aziya? Aziya benci sosok Mama.”

Brianna membeku. Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan manapun. Air matanya kembali pecah, tubuhnya goyah.

Lalu tatapan Aziya berganti ke arah Jonatan dan Evan.

“Buat kalian berdua… Aziya sayang kalian. Mungkin gue gak bisa maafin perbuatan kalian, tapi gue gak benci kalian. Jadi jangan pernah merasa menyesal.”

Kedua lelaki itu menunduk, rahang mereka mengeras menahan sesal.

Terakhir, pandangan Aziya jatuh ke Gabriel. Senyum lembut muncul di wajahnya, meski tubuhnya mulai bergetar hebat. Kepalanya berdenyut, pandangannya kabur.

“El,” suaranya parau. “I love you…”

Dan saat kata itu lolos dari bibirnya, tubuh Aziya langsung ambruk. Gabriel dengan refleks menangkapnya, mendekap erat tubuh gadis itu dalam pelukannya.

“Ziya! Bangun! Jangan tidur! Kamu harus jelasin dulu ucapan kamu tadi!” suara Gabriel pecah, panik.

Namun tubuh Aziya sudah lunglai, wajahnya pucat, napasnya nyaris tak terdengar.

Brianna dan Arion berlari mendekat. Arion menepuk-nepuk pipi putrinya panik. “Sayang! Bangun! Jangan bikin Papa takut kayak gini!” Suaranya parau, bergetar.

Brianna berlutut, tangannya gemetar menyentuh pipi Aziya. Begitu dingin. Begitu rapuh. Tangisnya pecah tak terbendung. “Anakku… Ya Tuhan… ampuni aku…”

Arion menatap istrinya dengan sorot tajam penuh amarah. “INI SEMUA KARENA KAMU, BRIANNA!!!” bentaknya.

Ruangan meledak dalam keheningan yang menyesakkan. Gabriel masih memeluk Aziya erat, wajahnya basah air mata. “Jangan tinggalin aku, Ziya… tolong… kamu janji gak akan ninggalin aku…”

Sementara itu, Ronald berdiri di pojok ruangan, tubuhnya gemetar hebat. Untuk pertama kalinya, ketakutan nyata tergambar di wajah tuanya.

...•••••...

Aziya berdiri di tepi sebuah danau yang airnya jernih bagai cermin, memantulkan langit biru yang tak ternoda sedikit pun. Angin berhembus lembut, membawa aroma segar dedaunan dan bunga liar yang bermekaran. Pemandangan itu begitu indah, terlalu indah hingga membuat Aziya bingung, apakah ini surga? Tapi tidak mungkin, pikirnya lirih, orang penuh dosa sepertinya mana pantas berada di tempat seindah ini.

Dengan langkah ragu, ia berjalan menelusuri jalan setapak berbatu kecil. Pepohonan tinggi berjejer anggun, dahan-dahannya dipenuhi buah ranum yang tampak manis dan segar. Sesekali burung-burung berwarna cerah beterbangan, menciptakan harmoni yang asing namun menenangkan. Namun hati Aziya tetap gelisah. Ia tidak tahu dirinya ada di mana, dan pertanyaan itu terus menghantuinya

Apakah aku sudah mati?

Tiba-tiba, samar-samar telinganya menangkap suara tawa. Suara yang terasa nyata di antara kesunyian. Aziya berhenti, menajamkan pendengaran, lalu berjalan pelan ke arah sumber suara. Langkahnya semakin cepat ketika siluet dua sosok terlihat di kejauhan duduk berdampingan di bangku taman, menghadap ke danau.

Saat mendekat, Aziya membelalak. Tubuhnya kaku, napasnya tercekat. “Azira?!” suaranya pecah. “Bukannya… lo udah mati?” Tatapannya beralih ke sosok lelaki di samping Azira, sosok yang juga sangat dikenalnya.

Azira berdiri perlahan. Senyum tipis tersungging di wajahnya, namun sorot matanya penuh kedamaian yang tidak pernah dimilikinya semasa hidup. Ia mengangguk pelan. “Memang. Kamu sadar, kan? Kita bukan lagi berada di dunia?”

Dahi Aziya mengernyit dalam, hatinya mencelos. “Jadi gue… gue juga udah mati?” tanyanya terbata.

Azira menggeleng, senyumnya masih terjaga. “Enggak. Kamu belum mati. Kamu di sini… cuma sementara.”

“Terus…” Aziya menoleh ke arah lelaki itu, suaranya bergetar. “…Gabriell juga mati?”

Gabriell tetap diam, duduk tegak sambil menatapnya. Mata itu, mata yang dulu membuat Aziya yakin akan perasaan mereka kini terasa asing.

Azira melangkah maju, menggenggam kedua tangan Aziya erat. “Dengar aku, Ziya. Kita mungkin udah gak bisa kembali. Tapi kamu bisa. Kamu ada di sini untuk satu alasan, untuk tau kebenaran yang sebenarnya gak pernah kamu sadari.”

Aziya terdiam. “Maksud lo apa?” tanyanya penuh curiga.

Azira menoleh sekilas ke Gabriell, lalu kembali menatap adiknya. “Gabriell mencintai aku. Dia di sini bersamaku karena kami saling mencintai. Sehidup… semati.”

Wajah Aziya seketika pucat. Ia melangkah mundur, matanya berkaca-kaca. “Gak mungkin…” Pandangannya beralih pada Gabriell dengan tatapan penuh harap. “Lo cinta kan sama gue, El? Katakan kalau lo cinta sama gue!”

Namun jawaban yang ia terima hanyalah gelengan kepala. “Meskipun kalian mirip…” suara Gabriell tenang, namun menghancurkan, “…orang yang gue cinta tetap Azira.”

Air mata Aziya jatuh, deras, tanpa bisa ia tahan. “Terus… terus omongan lo di pesta waktu itu apa? Lo bilang lo cinta sama gue. Jadi… itu semua palsu?” Suaranya pecah, nyaris tak terdengar.

Gabriell menunduk. “Enggak. Itu gak palsu. Itu nyata. Tapi bukan aku yang ngomong.”

Aziya terpaku. Jiwanya terasa dicabik. Azira, yang mengerti luka itu, langsung memeluknya erat. “Maafin aku, Ziya. Maaf karena aku narik kamu ke dalam semua masalahku. Tapi aku juga bersyukur… karena lewat kamu, semua kebusukan mereka terbongkar. Kamu bikin orang-orang buka mata tentang siapa aku sebenarnya. Kamu kuat, Ziya. Lebih kuat dari aku. Aku lemah… aku menyerah. Tapi kamu… kamu terus berdiri.”

Aziya mendengus kasar, menepis pelukan itu dengan marah. “Lo jahat, Ra! Demi kepentingan lo, lo libatin gue. Lo biarin gue yang ngadepin keluarga lo yang busuk itu. Lo bikin hidup gue jadi berantakan. Dan sekarang lo bilang semua ini demi kebaikan?!”

Azira hanya menunduk. “Tapi mereka keluarga kamu juga…” suaranya lirih.

Aziya mengepal tangannya, hatinya hancur. Namun sebelum ia bisa bicara lagi, Azira melanjutkan. “Ziya, soal Gabriell… orang yang bilang cinta sama kamu itu bukan Gabriell. Dia orang lain. Sama kayak kamu, dia terdampar di tubuh yang bukan miliknya. Tubuh Gabriell cuma wadah.”

Aziya tersentak. Tatapannya melunak, bingung. “Jadi… yang selama ini sama gue… bukan Gabriell cowok lo?”

Azira menggeleng, sedangkan Gabriell atau entah siapa sosok yang duduk di bangku itu akhirnya bicara lirih, “Bukan. Selama ini aku ada di sini. Menemani Azira.”

Aziya hampir tak bisa bernapas. “Terus… dia siapa?”

“Namanya Xavier.” Gabriell menjawab singkat, nada suaranya hampa.

Aziya menatapnya tidak percaya. “Gue harus cari dia di mana?”

Gabriell hanya menggeleng. “Mungkin lo gak bisa nyari dia. Tapi kalau cinta dia beneran besar buat lo, dia yang bakal nyari lo. Karena itu, lo harus balik… sebelum terlambat.”

Azira mengangguk, memeluk Aziya sekali lagi. “Iya, Ziya. Kamu harus balik sekarang.”

Dengan suara serak, Aziya bertanya, “Gimana caranya?”

Azira menunjuk ke belakang, ke arah sebuah cahaya putih terang yang muncul di antara pepohonan. “Disana. Itu pintunya.”

Aziya menoleh, menatap cahaya itu, lalu kembali pada Azira. Air matanya jatuh lagi. “Maafin gue…”

Azira tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Kamu gak perlu minta maaf. Aku yang harusnya bilang itu.”

Aziya tersenyum tipis, lalu mengangguk tegas. “Gue harus balik.”

Azira dan Gabriell berdiri berdampingan, menatapnya dengan penuh makna. Aziya melangkah perlahan menuju cahaya putih itu. Sesaat sebelum masuk, ia menoleh lagi.

“Selamat tinggal, Azira… Selamat tinggal, Gabriell…” ucapnya sambil melambaikan tangan.

Azira dan Gabriell membalas dengan senyum damai dan lambaian yang tenang. Hingga akhirnya, tubuh Aziya berlari masuk, ditelan oleh cahaya putih yang menyilaukan.

1
lailararista
selamat membacaaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!