Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 32.
...« Berantemnya semenit aja »...
Setelah kepulangan Gavan dari rumah sakit, hari ini terhitung sudah seminggu Gavan kembali beraktivitas seperti biasa. Pagi ini mereka berlima sedang memulai hari dengan memakan menu sarapan yang dimasak oleh Mami.
“Mami... Selesai sarapan, aku mau ke luar main sama temen. Kayaknya pulangnya malem, gapapa ya, Mami?”
Mami yang dimintai izin mengangguk memperbolehkan tanpa banyak bertanya. Sedangkan si sulung langsung membuat wajah garang menatap Arasya.
“Mau ke mana, Dek? Kok kemarin gak bilang dulu sama Mas? Kenapa mendadak banget minta izinnya?” ujar Gavan setengah mengomel.
“Gimana mau bilang? Mas kemarin juga ke luar sampai malem kok. Aku udah tidur Mas baru pulang, bau rokok sama minuman lagi.” Ucap Arasya tanpa disaring. Ia berani menjawab karena kesal terhadap lelaki tersebut.
Berita terbaru itu membuat Devan dan sang Mami saling bertatapan. Sedikit kaget juga karena sudah lama Gavan tidak meminum minuman alkohol itu.
“Mas kemarin sempat telpon kamu lho, Dek. Waktu bilang bakal pulang agak telat. Kenapa pas itu gak cerita juga?” tensi Gavan ikut meninggi. Merasa malu karena pernyataan itu ke luar dari mulut si kecil.
“Kok Mas nyalahin aku? Kemarin aku udah panggil, mau bilang ke Mas, tapi Mas gak denger. Di sana berisik. Makanya aku gak jadi bilang.” Bela Arasya. Tidak ingin disalahkan karena tindakannya yang padahal menurutnya tengah menghargai posisi Gavan yang kemarin sibuk bekerja. Entah benar-benar bekerja atau tidak, Arasya hanya tidak ingin disalahkan.
“Eh, udah-udah. Kenapa jadi berantem gini deh? Mas juga kenapa gitu, Adeknya mau main ya gapapa dong. Jarang banget loh dia ke luar sama temen-temennya. Sampai malamnya Adek tuh gak kayak Mas. Beda. Udah, stop. Gak boleh berantem. Habisin dulu makanannya.” Lerai Mami di waktu yang tepat.
Devan tertawa di tempatnya, merasa terhibur dengan pertengkaran pertama dari sang Kakak dan si kecil. Seperti melihat sepasang kekasih sedang adu mulut karena hal sepele.
Arasya mengerucutkan bibirnya, menarik kursinya agar berjarak dari Gavan. Lebih tepatnya merajuk. Arasya kemarin sudah menuruti permintaan Gavan di mana ia disuruh menunggu di kamar lelaki tersebut. Tetapi sampai malam, dibatas jam tidur Arasya, Gavan belum juga pulang hingga ia ketiduran.
Sebenarnya Arasya berusaha bersikap mengerti, namun saat Gavan pulang, ia justru disuguhi bau yang menyeruak. Asap rokok dan bau minuman keras yang jarang Arasya cium tetapi ia tahu. Jika mengingat bau itu, perut Arasya terasa mual dan ingin muntah. Bau yang biasanya ada di tubuh Gavan, yang sudah membuat Arasya kecanduan, kemarin menghilang di telan bau tidak enak itu.
Ditambah kalimat pamit dari mulut Gavan yang berkata akan bekerja pada panggilan kemarin tidak sesuai realitanya. Pun hari ini Arasya meminta izin pada Mami karena sudah membuat janji bersama teman-temannya, Gavan justru bersikap menyebalkan bagi Arasya. Alhasil kekesalannya meluap tanpa bisa dibendung lagi.
Sesi sarapan mereka telah usai, Arasya buru-buru pulang ke rumahnya setelah membantu Senaza mencuci piring. Sekarang dirinya sibuk menyiapkan tas beserta isinya untuk dibawa main setelah berganti baju.
“Dek, Mas ikut.”
Dari pantulan cermin di kamar Arasya, terlihat Gavan sudah bersiap dengan pakaian santai dan bersandar di pintu sambil bersedekap dada.
“Emang Mas gak main sama Kak Kaya?” tanya Arasya setengah malas.
Satu minggu ini juga ada beberapa kali Gavan pergi bersama Fikaya tanpa sepengetahuan Arasya. Namun Arasya tahu karena ulah Devan yang ember seperti biasa. Arasya berusaha untuk tidak terlihat peduli, yang terpenting Gavan mengerti bahwa perasaannya tidak baik jika bersama Fikaya setelah tempo lalu mereka saling berbagi cerita.
Gavan menghela nafasnya, sudah bisa menebak siapa dalang yang membocorkannya. “Devan, ya?” gumamnya sendiri.
“Mas ngerti maksud dari ceritaku gak sih? Kenapa juga Mas sembunyi-sembunyi? Mikirnya aku nanti jauhin Mas lagi kalau ketahuan? Mas salah besar kalau beneran mikir gitu. Aku gapapa Mas sama Kak Fikaya, yang penting aku gak ada di dalamnya.” Ungkap Arasya lebih jelas lagi.
Gavan tertegun sejenak, seperti merasakan tamparan keras di pipinya sehingga membuatnya tersadar detik itu juga. “Iya, Mas minta maaf. Mas salah mikir kayak gitu.” Lirihnya membenarkan ucapan Arasya.
Air mata Arasya seketika menggenang di pelupuk matanya, satu kedipan atau mungkin satu kalimat yang menyakiti hatinya lagi akan membuat air mata itu terjun ke bawah.
“Maaf.” Tidak ada kata selain maaf yang mampu Gavan ucapkan setelah melihat Arasya mati-matian menahan tangisnya. “Sini, ayo pelukan sebentar sama Mas.”
Gavan mendekati Arasya perlahan, lalu menarik pergelangan tangan si kecil agar saling berhadapan dan mendekapnya erat.
“Inget ya, Mas. Aku setuju kok Mas sama Kak Kaya. Tapi aku gak bisa bersikap ke dia kayak aku bersikap ke Kak Sena. Eh, belum bisa. Mungkin aku cuma butuh waktu aja buat kenalan.” Jelas Arasya kembali, yang diakhir kalimat ada beberapa revisi.
“Iya, Adek. Mas bakal ingat semuanya.”
Kemudian keduanya hanya saling berpelukan, menunggu suasana mencair dari sebelumnya. Dan mereka mengucapkan maaf satu sama lain tanpa adanya paksaan. Sampai suara dering ponsel milik Arasya terdengar memecahkan suasana hangat itu.
“Eh, itu pasti Dina. Aduh, aku lupa. Telat deh jadinya.” Gerutu Arasya, melepaskan pelukan mereka dan meraih ponselnya di tas kemudian mengangkat telepon tersebut.
“Halo? Iya maaf. Aku sebentar lagi ke sana. Siapa aja yang belum nyampe?”
Gavan menatap Arasya dari belakang, mengamati gerak-gerik gadis tersebut yang panik. Lalu ikut melangkahkan kakinya ke luar kamar saat Arasya melenggang pergi.
“Mas beneran mau ikut? Tapi nanti agak jauhan ya duduknya? Mereka malu katanya kalau Mas dengerin pembicaraan mereka. Gapapa, ‘kan?” papar Arasya yang diangguki Gavan tanpa banyak protes. “Sampai malem juga. Gapapa, ‘kan?” katanya memastikan lagi.
Gavan mencubit hidung Arasya pelan. “Iya, Sayang. Mas nurut, yang penting Mas boleh ikut.”
“Oke, ayo, Mas. Mereka udah nunggu.” Ajak Arasya menggandeng Gavan.
“Weh, udah baikan nih ceritanya?” Devan yang sedang mengelap motor kesayangan Gavan menyindir tipis pada dua sejoli itu.
“Kita naik mobil, Mas?” tanya Arasya, sengaja mengabaikan Devan yang sedang jahil itu.
“Woy, lagi ngomong juga!” semprot Devan sambil menyemprotkan air ke arah Arasya. Meskipun begitu, airnya tidak sampai pada si kecil. Tetapi ternyata teriakan protes Arasya menggema kencang.
“Mas Devan, ih! Nanti bajuku basah gimana?!” geram Arasya.
“Ya ampun, Dek. Alay banget. Enggak kena itu lho. Basah apa deh, mau Mas basahin beneran?” ancam Devan yang membuat Arasya bersembunyi dibalik Gavan.
“Dev, Mas pulang nanti kita ngobrol ya.”
Permintaan simpel, namun sukses membuat Devan ketar-ketir di tempatnya. “Aku lagi yang kena.”
...« Terima kasih sudah membaca »...