"Kamu siapa?" tanya wanita berkulit putih dengan beberapa tanda lebam biru di sekitar wajah dan perban mengeliling di kening kepala. Wanita ini berbicara dengan intonasi polos, lain dari biasanya.
"Maldava Ammar, Suamimu ..."
"Benarkah? Setampan ini suamiku.
"Benar, sayang."
Wanita itu tersenyum tanpa ragu. Ia mengelus lembut pipi lelaki yang menyebut dirinya menjadi suami. Ammar memejamkan mata, menyambut penuh cinta usapan lembut yang tidak pernah ia rasakan selama satu rabun pernikahan dengan sang istri.
Jika kebanyakan suami akan bersedih karena istrinya mengalami hilang ingatan, beda hal dengan Maldava Ammar. Lelaki itu sangat bersyukur karena dengan begitu ia bisa memiliki Putri Ganaya Hadnan seutuhnya, baik dari segi hati dan raga.
Selama setahun pernikahan, Ammar selalu mencoba menjadi suami yang sempurna untuk Ganaya, namun semua itu tidak cukup menghadirkan cinta di hati istrinya. Bukan hanya cinta yang belum bisa Ganaya berikan, namun juga kehormatannya.
Bagaimana perjuangan Ammar untuk bisa menikah dan menghempaskan masa lalu Ganaya? Memanfaatkan kehilang ingatan Ganaya untuk bisa mencintainya?
Menghempas jati diri asli sang istri agar tidak ada lagi orang yang menganggapnya ada?
Menjaga rumah tangganya dari berbagai teror bandid?
Dan disaat Ganaya sudah mencintai Ammar, ia harus menelan pil pahit? Apakah yang terjadi?
Dan inilah kisah mereka.
IG : @megadischa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megadischa putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong Doakan Aku.
Setelah kalimat itu mencuat dari bibir Gana, dan wanita itu sadar dengan apa yang ia ucpakan. Gana langsung menjerit dalam tangis. Mau tidak mau, Ammar langsung menyudahinya. Ia memang tertohok, tapi ia hanya bisa memaklumi. Karena Adri masih melekat di hati istrinya.
Ammar terduduk di ranjang, lelaki itu menatap hening Gana yang juga duduk berhadapan dengan dirinya. Menutup tubuh bagian atasnya yang sudah berhasil Ammar poloskan dengan selimut. Ganaya menunduk dan menangis.
Rasanya seperti karma. Atau mungkin hukum sebab dan akibat sedang ia rasakan.
Ammar teringat ketika dulu bersama Asyifa. Mereka pun pernah saling memagut bibir, namun Ammar melenguh nama Gana. Dan saat ini ia tahu bagaimana rasa sakitnya.
"Aku maafkan, Gana ..." dalam tangis Ganaya terus memohon maaf atau kehilafannya. Sudah berkali-kali ia memohon maaf dan Ammar dengan sabar mengangguk dan memberikan maaf.
"Maafkan aku." pelan sekali, sampai sepertinya sulit untuk didengar. Gana meremat kain selimut yang ia biarkan menutup bagian dadanya. Tidak mampu menatap Ammar.
Wanita itu malu sekali. Bagaimana bisa, ia malah bereuforia dengan bayangan Adri barusan. Secara gamblang, ia tidak menganggap Ammar ada.
"Aku masih sulit, Ammar ..."
Ammar mengangguk. "Aku mengerti." lantas memegang kedua lengan Gana.
"Aku tidak masalah kamu ingin anggap aku apa, yang penting kamu senang."
Sungguh terlalu, Ammar sampai rela tidak dianggap, walau ia menderita, tidak masalah baginya. Yang penting sang istri berhasil mencapai titik kebahagiaan di malam ini.
Ganaya menggeleng lalu mendongak, menatap manik mata suaminya dengan air mata yang terus menetes. "Tidak boleh, Ammar! Kamu suamiku, didalam kepalaku harus kamu!"
Ammar melamun.
"Bantu aku, Ammar! Bantu aku, buat aku jatuh cinta ..." Gana berseru sambil menggenggam tangan suaminya. Ia mencium tangan Ammar, dan kembali memohon maaf.
Ammar menyudahi lamunannya. Dan tersenyum penuh cinta. "Aku akan berusaha buat kamu." Ammar melepas kecupan hangat di kening Gana.
"Apakah aku harus menunggu?" Ammar sepertinya peka dengan keadaan Gana.
Gana mengangguk pelan. "Sampai aku siap, Ammar ..."
Kecewa sudah pasti. Sedih? Jangan ditanya. Impian para suami ketika sudah berhasil meng Ijab Qabul, maka mereka sudah bisa dilayani oleh istri tercintanya. Nyatanya Ammar belum bisa merasakannya. Saking cintanya, ia mau dan menerima keputusan Gana.
"Baik sayang, aku tidak masalah." Ammar menghapus rasa sedih dan kecewanya.
"Aku berjanji akan berusaha untuk mencintaimu." Gana kembali mengucapkan janjinya.
"Bagaimana kalau----"
Gana menggeleng dan menyelak. "Aku pasti mencintaimu, makanya tolong doakan aku."
Doa? Wajah Ammar tegang ketika Gana memintanya untuk bermunajat.
"Doakan aku dalam shalatmu, agar cintaku bisa berpaling kepadamu, Ammar."
Shalat? Lagi-lagi jantung Ammar bergemuruh. Jangankan untuk mendoakan Gana, mendoakan Mama dan Papa nya saja, ia tidak pernah secara khusyuk. Karena ia sudah lama sekali tidak mengerjakan ibadah shalat.
Hatinya terasa ditikam dengan permintaan Gana yang seharusnya mudah dan murah untuk di jalankan. Tetapi menjadi sulit, karena saat ini ia merasa sudah menjadi iblis. Musuhnya Allah.
"Kamu pernah mendengar kisah cinta Nabi Yusuf dan Zulaikha tidak?"
Ammar menggeleng ragu. "Mungkin pernah dengar, tapi aku lupa." dalihnya.
"Ketika Zulaikha mengejar cinta Nabi Yusuf. Maka Nabi menjauh darinya, tapi ketika Zulaikha mengejar cinta Allah. Allah datangkan cinta Nabi Yusuf kepada Zulaikha ... maka dari itu doakan aku, Ammar."
"Doakan aku." Gana mengulang.
Ammar menggerakkan kepalanya naik turun. Ia hanya hening dalam senyuman tipis. Saliva nya terdorong jauh dengan permintaan istrinya yang sulit ia turuti. Berdoa dan shalat adalah dua hal yang sangat mustahil untuk ia kerjakan. Walau cintanya kepada Gana, melebihi panjangnya sungai Nil, di dunia.
"Aku akan selalu setia dalam pernikahan ini." Gana berjanji lagi.
"Walau Adri masih ada didalam hatimu?" tanya Ammar.
Gana mengangguk.
"Sekalipun ia datang dan memintamu kembali?" Ammar kembali bertanya.
"Iya, aku berjanji. Hanya kamu, suamiku ... selamanya."
Tentram hati Ammar. Ia memeluk istrinya yang sudah berhenti dari gelak tangis.
"Aku akan menunggu sampai kamu siap. Tiga belas tahun saja aku bisa kok untuk menunggu kamu."
"Makasih Ammar, aku tidak bisa membayangkan jika suamiku sekarang bukan lah kamu. Hatimu baik sekali, sungguh perhatian dan pengertian."
Ammar tersenyum dan mengecup kening Gana lagi dan lagi. Oh, Tuhan. Tulus sekali lelaki ini.
Batin Gana menyeruak. "Aku akan berjuang, Ammar ... Aku akan berjuang!"
Wanita itu berjanji dalam dekapan tubuh suaminya.
***
Sebelum adzan subuh, Gana sudah terbangun. Kepalanya masih terasa berat karena semalaman menangis, untung saja ia masih bisa tidur dalam beberapa jam dan rasanya begitu pulas. Sesuai permintaannya, malam ini Ammar mengikutinya. Sang suami tidak menyentuhnya lagi.
Gana menatap sendu Ammar yang sedang tidur memunggunginya sambil memeluk guling. Wanita itu mendesahkan napas berat, ia kasian kepada Ammar. Namun bagaimana lagi? Ia hanya ingin melepas kehormatannya jika ia sudah benar-benar mencintai Ammar.
"Aku akan melupakannya demi kamu." Gana mengusap pelan punggung suaminya yang masih terasa pias.
"Ammar ..." Gana mencoba membangunkan. Tetapi lelaki itu masih pulas, malah dengkurannya terdengar sekali.
"Ya udah aku dulu yang mandi." ucapnya.
Gana pun beranjak bangkit untuk membersihkan diri, sebelum bersiap untuk menunaikan ibadah shalat subuh. Ia akan membangunkan Ammar jika dirinya sudah selesai mandi.
***
"Shalat ya ... sajadah dan sarung sudah aku siapkan." bisik Gana.
Ammar hanya mengangguk dengan mata terpejam. Gana beranjak dan meninggalkan dirinya yang masih memeluk guling, Gana fikir Ammar pasti bisa bangun sendiri. Nyatanya dia tidak akan terbangun sepagi itu untuk mengambil air wudhu.
Hari ini adalah hari pertama Gana sebagai seorang istri. Selepas shalat subuh, ia pergi ke dapur untuk mulai melaksanakan kewajibannya dalam hal menyiapkan sarapan untuk Ammar. Ia tidak ingin merasa cacat di semua hal.
Gana tidak mau Ammar bertambah kecewa, cukup dirinya terasa kurang karena belum bisa memberikan kenikmatan, tapi ia masih bisa menyiapkan segala keperluan dan kebutuhan suaminya dalam hal yang lain.
Tapi sepertinya ia baru teringat, kalau suami baiknya itu sudah memperkerjakan banyak art di rumah. Mereka bertiga menoleh ke arah Gana ketika wanita itu sudah masuk ke ambang pintu dapur.
"Nyonya butuh apa? Mau dibuatkan sesuatu?" tanya Yuni. Gadis muda itu adalah asisten pribadinya sekarang. Ia melangkah menghampiri Gana dan melepaskan seonggok sayur yang sedang ia cuci di wastafel.
Ibu Ningsih yang sedang meracik bumbu ikut menoleh, sedangkan Ibu Ratih sedang berjongkok di hadapan kulkas yang tengah terbuka, beliau juga menoleh.
Mereka tersenyum dengan penuh hormat. Ammar berhasil membuat istrinya menjadi ratu di rumah ini.
Gana menggeleng. "Tidak, Yun. Saya ingin memasak sarapan untuk Bapak." jawab Gana. Jika saja Ammar dengar, lelaki itu pasti sudah tersenyum bahagia.
"Tapi kata Bapak, Ibu enggak boleh ke dapur." jawab mereka serentak. Gana sampai terhenyak, ia tidak menyangka Ammar sampai menginstruksi mereka seperti ini.
"Bapak enggak mau, kuku Ibu kotor atau kena percikan minyak panas." ucap Yuni.
"Iya, Bu. Biar kita aja." sambung Ibu Ratih.
"Ibu mau saya buatin teh?" Ibu Ningsih menawarkan.
Ganaya hanya termenung saja. "Papa sangat mencintai Mama, tapi tetap membiarkan Mama di dapur untuk memasak makanan untuk kami. Tapi, Ammar? Apa cintanya sebesar itu untukku?" wanita itu membatin dengan kepala tertunduk. Ingatan semalam membuat ia kembali berenang dalam penyesalan.
"Bu, kenapa?" tanya Yuni. Ia terlihat khawatir.
Gana menggelengkan kepala, seraya menyeka air mata yang sudah mengembun lagi.
"Saya tetap ingin memasak, tolong bantu saya ya." mereka saling melemparkan pandangan.
Gana tetap masuk kedalam dapur dan mengambil celemek. Yuni dengan sigap langsung membantu permaisuri rajanya.
"Setidaknya aku harus tetap menjadi istri yang berguna baginya." Gana membatin.
****