Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Sebuah Rahasia
Kematian Ana yang tragis di hadapan Enzi hanyalah sebuah ilusi yang dirancang dengan dengan begitu matang. Fabian adalah orang yang merencanakan semua ini untuk membebaskan sahabatnya dari belenggu suaminya yang kejam. Dia telah memanfaatkan seorang korban untuk memanipulasi Enzi. Begitu Ana keluar dari rumah neraka itu, dia segera melancarkan rencananya. Berkat koneksi gelap yang ia miliki di dunia forensik dan berita adanya jenazah korban kebakaran yang tidak dapat diidentifikasi, ia menyusun rencana sempurna dan mengganti Ana dengan korban itu.
Fabian memastikan bukti-bukti di TKP, seperti jam tangan dan tas milik Ana di lokasi kejadian. Ia menyuap petugas forensik untuk memanipulasi laporan dan memastikan jenazah yang hangus itu didaftarkan sebagai Anasera, istri Enzi. Bagi dunia, Ana sudah mati, terbakar dalam kecelakaan mobil yang tragis saat melarikan diri.
Pada saat yang sama, Ana yang sekarang sudah berganti identitas baru dengan nama belakangnya Sera, sesuai identitas baru yang disiapkan Fabian.
Di dalam jet pribadi yang melaju melintasi samudra dan benua, Fabian menatap wanita yang duduk di seberangnya. Kelelahan jelas terpancar di wajah Ana, namun ada secercah harapan yang belum pernah dilihat Fabian sebelumnya.
"Ana, dengarkan aku baik-baik," kata Fabian dengan nada tegas, memegang sebuah kartu identitas baru yang berkilauan. "Mulai saat ini, Ana sudah mati. Anasera sudah terkubur. Identitasmu, masa lalumu, rasa sakitmu, semuanya sudah terkubur di sana."
Ana mengangguk, menatap foto di kartu identitas itu. Rambutnya diubah, sedikit riasan menutupi kesedihan lama, dan namanya kini tercetak jelas, Sera Valencia.
"Aku... aku mengerti, Fabian. Terima kasih. Tapi bagaimana dengan semua yang ada di sana? "
"Itu semua palsu. Sebuah makam kosong untuk Enzi dan awal baru untukmu," potong Fabian cepat. "Aku ingin kau menjalani kehidupan yang selalu kau impikan. Bebas, tanpa belenggu, tanpa rasa takut. Kau sudah menanggung terlalu banyak penderitaan. Sekarang, hanya ada Sera. Sera yang kuat, Sera yang bebas."
Mata Sera berkaca-kaca. Ia tahu, pengorbanan yang dilakukan Fabian ini sangat besar. Bukan hanya uang dan koneksi, tetapi juga bahaya.
"Aku berutang segalanya padamu, Fabian."
"Utangmu hanya satu, hiduplah dengan bahagia, Na. Itu saja," jawab Fabian sambil tersenyum tulus.
Setelah penerbangan panjang yang melelahkan, mereka tiba di Paris, kota yang terkenal dengan Menara Eiffel dan romantismenya. Udara musim gugur yang dingin menyambut mereka. Fabian membawa Sera langsung ke apartemennya yang terletak di kawasan tenang, tidak jauh dari jantung kota.
"Istirahatlah di sini malam ini," kata Fabian sambil menunjukkan kamar tamu yang mewah.
"Aku tahu ini sangat melelahkan. Besok, aku akan menunjukkan apartemen baru untuk mu. Sekarang kita fokus istirahat saja, aku tidak akan macam-macam. Banyak pelayan disini." kata Fabian lagi sedikit salah tingkah.
Sera memeluk Fabian erat. Pelukan yang penuh rasa syukur dan kelegaan. "Terima kasih, Bian. Kau adalah malaikat penyelamatku."
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang sahabat. Tidurlah, dan beristirahat dengan baik, Na. Selamat datang di kehidupan barumu."
Mereka berpisah, masing-masing menuju kamar. Meskipun lelah, Sera merasa damai. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa aman. Ia menatap ke luar jendela, melihat kerlip lampu kota. Ana telah mati, dan Sera akan berjuang untuk hidup.
Sementara Sera menikmati kebebasan pertamanya, Enzi masih terkunci dalam kegelapan di Indonesia. Sudah tiga hari sejak pemakaman, dan Enzi tidak keluar dari kamar kecuali untuk mengambil air minum. Rumah itu terasa seperti kuburan.
Arvin tidak menyerah. Ia tahu Enzi butuh dorongan keras, bukan sekadar kata-kata manis. Ia mendobrak masuk kamar Enzi, menyibak tirai tebal, membiarkan cahaya matahari yang menyengat masuk.
"Bangun, Zii! Sampai kapan kau akan terus seperti ini?" bentak Arvin, menarik selimut dari tubuh sahabatnya.
Enzi meringis dan menutupi wajahnya dengan tangan. "Pergi, Vin. Biarkan aku sendiri."
"Sendiri? Kau sudah sendirian, Enzi! Ana sudah pergi! Kau tidak bisa menghidupkannya lagi dengan mengurung diri seperti ini!" Arvin menarik Enzi hingga terduduk.
"Aku tahu! Tapi aku tidak bisa, Vin! Setiap detik, aku teringat wajahnya. Aku teringat semua kekejaman yang aku lakukan. Aku membunuhnya, Vin! Aku monster!" Enzi menunduk, rambutnya jatuh menutupi wajah.
"Ya, kau melakukan kesalahan besar. Kesalahan fatal! Tapi kau pikir Ana ingin melihatmu seperti ini? Terkubur hidup-hidup oleh rasa bersalah? Tidak, Zie! Ana mungkin sudah pergi, tapi kau harus menjadikan ini pelajaran. Bangkit! Tunjukkan pada dirimu bahwa pengorbanan Ana, kepergiannya, tidak sia-sia! Ingatlah kamu memiliki ribuan karyawan yang harus kamu hidupi. " Arvin menggenggam bahu Enzi kuat-kuat.
"Aku merindukannya, Vin. Aku merindukan saat dia menyiapkan kopi. Aku merindukan saat dia menungguku sampai ketiduran di kursi, tapi aku selalu mengacuhkannya. Aku merindukan senyumnya yang polos sebelum aku menghancurkannya. Aku tidak tahu bagaimana memulai hidup dengan rasa bersalah ini."
"Mulai dari sekarang! Mandi, cukur janggutmu, dan hadapi dunia!" perintah Arvin. "Jika kau benar-benar mencintainya dan menyesalinya, hiduplah dengan baik. Jangan biarkan Amel atau wanita lain masuk lagi dengan mudah dan menghancurkan hidupmu lagi. Jadikan ini titik balikmu. Biarkan duka ini menjadikan pelajaran untukmu. Atau kau akan membuktikan kata-kata Fabian benar, bahwa kau tidak layak!"
Kata-kata terakhir Arvin menyengat Enzi. Fabian. Pria yang menuduhnya sebagai pembunuh dan monster. Enzi tidak bisa membiarkan dirinya menjadi lemah di hadapan musuhnya.
"Dimana pria itu sekarang. " tanya Enzi saat diingatkan nama Fabian sahabat istrinya.
"Dia sudah kembali ke luar negeri, sepertinya dia juga terpukul dengan kematian Ana. Karena itu dia mungkin mencoba untuk memulai hidup baru di luar negeri. " jawab Arvin.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Enzi, suaranya sedikit lebih kuat.
"Pertama, bersihkan dirimu. Kedua, buang semua barang Amel wanita sampah itu. Ketiga, kembali bekerja. Ana tidak akan kembali, Enzi. Tapi kau masih bisa memperbaiki dirimu sendiri. Jadilah pria baik, pria yang Ana inginkan."
Perlahan, Enzi berdiri. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—seorang pria yang hancur, dikuasai duka, dan penuh penyesalan. Ini memang adalah titik terendah dalam hidupnya, dia sudah kehilangan kedua orang tuanya, sekarang dia kehilangan istrinya. Benar-benar pria malang. Tapi dia harus bangkit. Bukan untuk melupakan Ana, tetapi untuk menghormati kenangan dan rasa sakitnya.
"Aku akan mencobanya, Vin," bisik Enzi.
"Bagus. Aku akan menunggumu di bawah. Jangan coba-coba mengunci diri lagi," Arvin menepuk punggung Enzi dan keluar, meninggalkan Enzi untuk menghadapi dirinya sendiri.
Enzi berjalan ke kamar mandi, memulai ritual pembersihan diri yang diharapkan bisa mencuci sedikit kotoran penyesalan di jiwanya. Ia tahu, perjalanannya masih panjang, dan rasa bersalah itu akan selalu menjadi bayangan yang mengikutinya.
Biar Enzi hidup dalam penyesalan nya.
😁🤣
dobel up thor sekali" tak tiap hari jg🤭🥰🥰 thank you thor 🙏🥰