Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arah yang Salah
Kami terus berjalan, meskipun setiap langkah kami semakin terasa berat. Kabut yang turun semakin tebal, menutupi hampir seluruh pandangan kami. Suasana yang dulunya akrab kini terasa asing, bahkan menakutkan. Setiap pohon yang kami lewati tampak semakin gelap, seolah menghalangi jalan kami. Tidak ada suara selain derap langkah kami dan angin yang berbisik pelan di antara pepohonan. Semuanya terasa sepi, mencekam.
“Apa kita udah benar jalan ini?” tanya Rudi, matanya melirik sekeliling dengan kecemasan. “Kenapa rasanya semakin lama, semakin aneh aja?”
Indra yang berjalan di sampingnya hanya mengangkat bahu. "Dulu jalur ini nggak kayak gini. Rasanya kayak kita udah muter-muter di tempat yang sama." Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan ketakutan yang semakin menekan.
Aku menoleh ke belakang, berharap menemukan tanda atau jejak yang familiar, tetapi yang kulihat hanya kabut tebal yang semakin menutupi segalanya. Waktu terasa berhenti, bahkan udara pun semakin dingin, membuat kami semua semakin cemas.
"Apa lo nggak ngerasa ini aneh?" tanya Danang dengan suara pelan. Dia memandang ke belakang, ke arah yang kami lalui, dan kemudian ke depan. “Kita udah lewat jalur ini, kan? Ini jalur yang sama, kan?”
Aku mulai merasa apa yang mereka rasakan. Sejak kami melangkah lebih jauh, jalur yang kami lewati terasa semakin tidak familiar, dan kami tidak bisa lagi mengingat dengan jelas bagaimana kami sampai di sini. Setiap belokan, setiap pohon yang kami lewati, rasanya kami sudah melewatinya sebelumnya.
“Kita harus kembali,” kata Rudi tiba-tiba, suaranya terdengar panik. “Kita nggak bisa terus begini. Rasanya kita makin jauh dari jalan keluar.”
Aku menatap mereka semua. Rasa cemas itu semakin besar. Setiap langkah kami semakin lambat, semakin terasa semakin jauh dari tujuan. Ketika aku mencoba berpikir jernih, bayangan pasar setan itu muncul lagi, menempel di pikiranku. Seolah-olah pasar itu menunggu kami kembali, menanti kami untuk terperangkap lagi.
“Ini nggak mungkin,” kata Indra, sambil melangkah mundur. “Kita harus kembali ke jalur yang benar, kita harus keluar dari sini. Kita nggak bisa terjebak.”
Danang menggelengkan kepala, wajahnya penuh kecemasan. "Nggak mungkin kita salah jalur. Kita udah pernah lewat sini sebelumnya, tapi kenapa sekarang semuanya berubah?"
Tiba-tiba, tawa yang familiar itu kembali terdengar, terdengar jelas di telinga kami. Tawa itu seperti datang dari dalam kabut, semakin keras, semakin menggelikan, seolah ada ribuan suara yang terbahak bersama-sama. Kami semua terhenti. Ketakutan menyebar begitu cepat di antara kami.
“Apa itu?” tanya Indra, suaranya bergetar. “Gue nggak bisa… gue nggak bisa denger itu lagi. Kenapa suara itu bisa ada di sini?”
Semua mata tertuju pada kabut yang semakin tebal, memudarkan segala yang ada di sekitar kami. Kami berbalik, mencoba mencari jalan keluar, tetapi kabut itu semakin menutupi segalanya. Suara tawa itu semakin keras, semakin dekat. Kami merasakannya—seperti ada yang mengikutinya, ada yang mengejar kami, mengikuti setiap langkah kami. Pasar setan itu kembali menghantui, dan kali ini, kami tidak bisa lari.
“Kita nggak bisa lari,” kata Rudi, suaranya serak. “Gue ngerasa kayak kita nggak pernah keluar dari sana. Rasanya kita muter-muter di tempat yang sama.”
Danang mengeratkan gigitannya pada bibirnya, lalu berkata dengan tegas, “Jangan bilang kita balik lagi ke pasar itu. Jangan bilang kita terjebak di sini lagi!”
Kami berlari, mencoba menghindari suara itu, mencoba menghindari kabut yang semakin menebal. Namun, semakin kami berlari, semakin kami merasa seolah kami tidak maju sedikit pun. Jalur yang kami lewati terasa seperti berulang. Setiap belokan tampak sama, setiap pohon yang kami lewati seolah mengingatkan kami bahwa kami tidak akan bisa melarikan diri.
“Kenapa kita nggak bisa keluar dari sini?” tanya Indra, matanya mulai berkaca-kaca. “Kenapa kita nggak bisa keluar dari tempat ini?”
Aku menatap mereka semua. Kami sudah berusaha sekuat tenaga, tapi semakin kami berusaha, semakin kami merasa terjebak. Tidak ada tanda-tanda keluar, tidak ada jalan yang benar-benar mengarah ke tempat yang aman. Kami hanya berjalan, dan semakin kami berjalan, semakin kami merasa tidak bisa melarikan diri dari tempat yang sama.
Tiba-tiba, kami semua berhenti. Seberkas cahaya muncul dari dalam kabut, dan kami melihat sosok itu—pria tua yang pertama kali kami temui di pasar setan. Sosoknya muncul di depan kami, berdiri tegak, memandang kami dengan mata kosong dan senyum yang mengerikan. Tawa itu, yang sejak tadi mengikutinya, tiba-tiba berhenti. Suasana menjadi sunyi.
“Lo semua kembali,” kata pria tua itu dengan suara serak. “Kalian nggak bisa keluar. Pasar setan itu sudah menunggu. Kalian sudah kembali ke tempat yang sama.”
Kami semua terdiam, tubuh kami seolah dipenuhi oleh kekosongan yang mendalam. Kami sudah berusaha lari, berusaha menghindari pasar itu, tetapi kenyataannya—kami tidak pernah benar-benar keluar. Pasar itu tidak hanya mengikat tubuh kami, tetapi juga jiwa kami. Kami masih terjebak di antara dunia nyata dan dunia yang dipenuhi oleh ketakutan itu.
“Kenapa kita masih ada di sini?” tanya Rudi, suaranya penuh dengan keputusasaan. “Kenapa kita nggak bisa keluar?”
Pria tua itu tersenyum, senyum yang semakin mengerikan. “Karena kalian terperangkap di antara dua dunia. Pasar setan itu tak akan pernah membiarkan kalian pergi. Kalian terikat di sini, selamanya.”
Kami semua merasa terhimpit, seperti ada yang menahan setiap gerakan kami. Setiap langkah kami, setiap detik yang berlalu, semakin terasa semakin jauh dari jalan keluar. Pasar itu menunggu kami untuk menyerah, untuk menyerahkan diri pada kegelapan yang tak berujung.
Danang, yang semakin tertekan, mulai berkata, “Jadi, kita nggak bisa keluar? Kita akan terus terjebak di sini?”
Pria tua itu mengangguk, dan untuk pertama kalinya, ada rasa pasti di dalam hatinya. “Hanya satu pilihan yang kalian punya,” katanya dengan suara datar. “Melepaskan diri dari pasar ini berarti kalian harus membayar dengan sesuatu yang sangat berharga.”
Kami semua saling pandang, merasa putus asa. Pasar itu memang menunggu kami, menunggu kami untuk menyerah. Kami terjebak dalam dimensi yang tak bisa kami pahami, dan sepertinya tidak ada cara untuk keluar. Semakin kami berusaha, semakin kami merasa tidak ada jalan yang benar-benar aman.
Namun, di dalam hati kami, masih ada sedikit harapan—harapan bahwa meskipun kami terperangkap, kami masih bisa menemukan cara untuk keluar. Kami tidak bisa menyerah begitu saja. Kami harus melawan, meskipun kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dengan langkah yang semakin berat, kami melanjutkan perjalanan. Pasar setan itu mungkin sudah menunggu, tapi kami akan berjuang untuk keluar, karena kami tahu bahwa tidak ada yang bisa menahan kami selamanya.