Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.
Bagaimana Kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sikap Zane Sangat Aneh
Pelajaran sekolah akhirnya usai. Suara riuh para siswa yang saling berpamitan terdengar bersahut-sahutan di halaman sekolah, sementara Lesham dan Alia berjalan beriringan hingga sampai di depan gerbang. Keduanya tampak enggan untuk berpisah, terlebih bagi Lesham yang masih ingin mendengar kelanjutan cerita Alia.
“Hah, jadi kita harus berpisah, ya? Besok jangan lupa lanjutkan ceritamu itu,” ucap Lesham dengan senyum tipis yang masih tersisa di wajahnya.
Alia tersenyum riang, lalu menganggukkan kepala sambil menepuk ringan lengan sahabatnya itu. “Oke, oke, nanti aku ceritakan sampai selesai, ya. Aku duluan, sebentar lagi bus selanjutnya pasti datang. Bye-bye!” katanya seraya melambaikan tangan, kemudian melangkah pergi meninggalkan Lesham yang kini berdiri seorang diri di depan gerbang.
Lesham menghela napas pendek, matanya beralih menatap layar ponsel di genggamannya. “Ish, kenapa mobilnya belum datang juga? Dan Kai… kenapa dia tidak membalas pesanku? Apa di jam segini dia masih bekerja? Tidak biasanya dia seperti ini,” gumamnya lirih dengan dahi yang berkerut, matanya tetap terpaku pada layar ponsel seakan menunggu sebuah keajaiban berupa notifikasi pesan masuk.
Tiba-tiba, sebuah suara memanggilnya dari arah belakang, membuat Lesham spontan membalikkan tubuh. Pandangannya segera tertumbuk pada sosok pria yang cukup familiar, bahkan terlalu dikenalnya. “Zane? Oh… ada apa?” tanyanya dengan nada yang ia usahakan terdengar tenang.
Namun tatapan Zane tidak beranjak dari wajah Lesham, tepat pada pipi yang masih terlihat lebam, bekas tamparan keras dari Evelyn tadi. Menyadari arah tatapan itu, Lesham dengan cepat menutupinya menggunakan tangan, berusaha menutupi rasa kikuk yang mendadak muncul. “Ka–kau mau bicara apa? Sebentar lagi aku akan pulang,” ucapnya dengan nada terbata-bata, seolah baru saja terciduk menyembunyikan sesuatu.
“Kenapa dengan wajahmu?” tanya Zane datar, tatapannya masih menusuk.
“Oh? Ahahah… aku tadi hanya terjatuh di toilet, lantainya licin sekali. Jadi tidak apa-apa. Sebenarnya, kau ingin bicara apa?” sahut Lesham, mencoba mengalihkan pembicaraan agar Zane tidak terus mendesaknya. Tetapi meski begitu, tatapan pria itu tetap sama, seakan menyimpan sesuatu yang tidak ingin ia ungkapkan.
Tiba-tiba, tanpa banyak kata, Zane meraih tangan Lesham dengan cukup kuat, menariknya untuk ikut bersamanya. “Eh? Kau mau membawaku ke mana? Lepas! Supirku sebentar lagi akan datang! Hei! Aku tidak mau ikut bersamamu!” seru Lesham panik, berusaha sekuat tenaga melepaskan genggaman itu, tetapi ia justru menyadari bahwa tenaga Zane kali ini sangat kuat, jauh lebih sulit dilawan.
Tidak lama kemudian, Lesham mendapati dirinya sudah berada di dalam ruang UKS, hanya berdua dengan Zane. Dadanya berdegup kencang, perasaan was-was merayapi dirinya. 'Astaga, apa dia berniat mengobati lukaku? Tidak, aku harus kabur dari sini,' batin Lesham, berusaha menurunkan dirinya dari ranjang UKS. Namun niat itu langsung pupus ketika tatapan Zane, tajam dan menusuk, membuatnya seakan terkunci di tempat.
“Maaf… sebenarnya kau ingin mengobati lukaku? Aku baik-baik saja, luka ini tidak seberapa bagiku. Jadi, aku boleh keluar dari sini, kan?” ucap Lesham dengan suara hati-hati, mencoba membaca reaksi lawannya.
“Tidak. Tetaplah di sini, ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” jawab Zane tegas, seraya memotong kasa perban di tangannya.
Lesham makin panik, keringat dingin mengalir di pelipisnya. 'Kenapa perasaan aku tidak enak? Jangan-jangan… jangan bilang dia sudah tahu aku bukan Lesham yang sebenarnya? Kai… aku mohon, tolong aku…' batinnya resah.
Zane kemudian duduk di hadapannya, mengambil kapas bertangkai yang sudah dibasahi betadine. Tangannya terulur mendekati pipi Lesham, membuat jarak di antara wajah mereka semakin dekat. Lesham hampir menahan napasnya sendiri karena tidak terbiasa dengan kedekatan semacam ini. Ia sendiri bingung, apakah niat Zane benar-benar tulus ingin mengobati lukanya, atau ada maksud lain yang tersembunyi di balik gerakannya.
“Emm… bisakah kau agak mundur sedikit? Aku merasa risih wajahmu sedekat ini denganku,” ucap Lesham, mendorong pelan bahu Zane.
Namun justru sebaliknya, tatapan mereka akhirnya bertemu. Detik itu, jantung Lesham berdetak tak karuan, seperti ada sesuatu yang berusaha ia tolak namun justru semakin kuat ia rasakan. 'Astaga, jangan bilang aku mulai tertarik dengan pria di bawah umurku?' pikirnya kalut.
“Oh? A–apa sudah selesai? Terimakasih sudah mengobati lukaku, Kalau begitu aku pergi dulu, sepertinya supirku sudah sampai di gerbang. Aku akan pergi sekarang,” katanya, buru-buru hendak turun dari ranjang. Tetapi baru saja ia bergerak, Zane lebih dulu mendekatkan wajahnya, membuat Lesham kembali terdiam dengan napas yang tercekat.
“Katakan padaku… apa kau benar-benar Lesham yang dulu?” suara Zane terdengar rendah namun mantap, matanya menatap lekat penuh keraguan.
Lesham menghela napas panjang, kemudian menjawab dengan nada getir. “Jadi kau tidak percaya aku Lesham yang dulu? Kau ingin aku kembali menjadi gadis culun yang dulu pernah kau tolak hadiah kecilnya, yang dengan teganya kau buang ke tempat sampah? Dan sekarang, kau masih punya keberanian mengatakan aku berbeda dari Lesham yang dulu? Menyingkirlah, dari awal aku sudah menyesal mengenalmu.”
Ia melangkah cepat menuju pintu UKS, tangannya sudah meraih knop, tetapi Zane lebih dahulu mencengkeram tangannya dengan kuat. Lesham langsung menoleh dengan wajah kesal.
“Apa lagi? Sebenarnya kau ini kenapa, hah? Tiba-tiba membawaku kemari, mengobati lukaku, dan sekarang menahanku pergi. Sebenarnya apa niatmu? Kau berniat menghancurkan hidupku lagi?” bentaknya dengan suara meninggi.
Dengan kasar ia melepaskan genggaman tangan Zane, hendak beranjak pergi, namun kalimat tenang Zane membuat langkahnya terhenti seketika. “Apa itu ulah Evelyn?” tanyanya datar, namun penuh makna.
Lesham memejamkan mata, menahan rasa marah sekaligus perih di dalam dadanya. Tanpa menoleh, ia menjawab lirih namun tegas, “Kalau kau sudah tahu ini ulah kekasihmu, maka kuharap kau bisa mendidik dia agar tidak menyakiti orang lain dengan cara yang kejam.”
Usai berkata begitu, Lesham melangkah keluar begitu saja, meninggalkan Zane sendirian di ruang UKS. Pria itu hanya terdiam, wajahnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Entah rasa bersalah, marah, atau justru kerinduan yang tak mampu ia ucapkan.
>>>
Zane masih berdiri terpaku di tengah ruang UKS yang kini hening, hanya terdengar suara jarum jam yang berdetak pelan di dinding. Tangannya yang tadi sempat menggenggam erat tangan Lesham kini kosong, dingin, seolah kehilangan sesuatu yang penting. Pandangan matanya kosong menatap pintu yang baru saja ditutup Lesham dengan keras, meninggalkan bayangan terakhir gadis itu yang tampak penuh amarah sekaligus terluka.
'Sial. Kenapa rasanya aku yang justru semakin bersalah?' batinnya, mengusap wajah dengan kasar. Hatinya terasa sesak, bukan hanya karena sikap Lesham yang kian menjauh, tetapi juga karena pertanyaan yang sejak tadi menghantui kepalanya. Apakah gadis yang ia lihat sekarang benar-benar Lesham yang dulu ia kenal?.
Ia mengingat kembali masa lalu saat seorang gadis pemalu dengan rambut terikat sederhana memberinya sebuah hadiah di depan kelas. Hadiah yang ia tolak mentah-mentah, bahkan dengan kebodohan dirinya waktu itu, ia sempat membuangnya di depan mata Lesham. Wajah polos yang menahan tangis itu masih melekat jelas di benaknya. Dan sekarang, gadis itu berdiri dengan tatapan berani, kata-katanya tajam, bahkan mampu membuat dadanya sendiri terasa perih.
Zane menghela napas panjang, tubuhnya bersandar pada dinding dingin ruang UKS. “Apa yang sudah kulakukan padamu" gumamnya nyaris tak terdengar.
Namun keraguan segera menyeruak kembali ketika ia teringat luka lebam di pipi Lesham. 'Apa benar itu ulah Evelyn? Kalau iya, kenapa dia tidak mau mengaku? Kenapa dia justru menutupinya dengan kebohongan konyol tentang dirinya terjatuh di toilet?' Pikirannya bercampur aduk, antara rasa cemas, marah pada Evelyn, dan rasa bersalah yang semakin menekan.
>>•••<<
Teringat yang masih tersisa akibat kejadian di UKS bersama Zane tadi belum benar-benar hilang dari tubuh Lesham, bahkan bayangan akan tatapan dingin sekaligus sikap ambigu pemuda itu terus mengganggu pikirannya sepanjang perjalanan keluar dari lingkungan sekolah. Hatinya diliputi rasa kesal yang sulit diredam, seolah-olah ada sesuatu yang tidak selesai antara dirinya dan Zane, sesuatu yang justru membuat langkahnya terasa berat. Ia bahkan tidak mengerti, mengapa Zane akhir-akhir ini begitu berusaha mendekatinya, padahal sebelumnya hampir tidak pernah ada interaksi berarti di antara mereka. Apa sebenarnya niat laki-laki itu? Pertanyaan itu berulang kali muncul, membuat Lesham semakin diliputi kegelisahan.
Deru mesin mobil yang berhenti tepat di hadapannya memecah lamunannya. Dari balik kaca, ia melihat sosok Pak Arjo, supir keluarga yang setia sejak ia kecil, menurunkan kaca jendela lalu berbicara dengan nada tergesa bercampur canggung.
“Non, maaf saya terlambat menjemput. Tadi saya sempat mampir ke bengkel, ban mobil tiba-tiba kempes di jalan,” ujarnya dengan nada sungguh-sungguh, berusaha memberikan penjelasan agar tuannya tidak merasa dikecewakan.
Lesham hanya mengangguk pelan, berusaha menahan senyum tipis agar suasana tidak terasa terlalu kaku. Ia membuka pintu mobil dan segera masuk ke dalam, lalu menutup pintu dengan hati-hati, sebelum akhirnya menjawab dengan nada tenang namun terdengar sedikit lelah.
“Tidak apa-apa, Pak. Itu bukan salah Pak Aryo. Saya paham, yang namanya kejadian di jalan memang kadang tidak bisa diprediksi.”
Pak Aryo sempat mengangguk, tetapi pandangannya tak sengaja menangkap sesuatu yang berbeda dari wajah majikannya. Melalui pantulan kaca spion tengah, matanya menatap lurus pada pipi Lesham yang kini terbalut perban putih, menutupi sebagian rona lembut wajah gadis itu. Dahi lelaki paruh baya itu langsung berkerut, wajahnya menunjukkan kecemasan yang sulit disembunyikan.
“Nona kenapa? Itu pipi non sampai diperban begitu, apa ada orang yang menyakiti Nona tadi?” tanyanya penuh kekhawatiran, bahkan nada suaranya sedikit bergetar, seakan ia takut jika benar-benar ada seseorang yang berani melukai anak majikannya yang selama ini begitu ia jaga.
Lesham terdiam sejenak, menatap keluar jendela, seolah mencari jawaban yang lebih mudah diucapkan ketimbang kenyataan yang sebenarnya terjadi. Ia menarik napas perlahan, lalu menjawab dengan suara yang dibuat setenang mungkin.
“Tidak apa-apa, Pak. Hanya masalah kecil saja, tidak perlu dikhawatirkan. Yang penting sekarang kita segera jalan, saya ingin cepat pulang ke rumah.”
Pak Arjo menoleh sekilas, masih dengan keraguan yang jelas tergambar dari matanya, sebelum akhirnya ia menurut, memutar kunci dan menginjak pedal gas. Mobil itu pun perlahan bergerak meninggalkan halaman sekolah, sementara di dalam kepalanya ia masih terus bertanya-tanya, ada kejadian apa sebenarnya hingga Anak Majikannya yang selama ini ia kenal begitu hati-hati, bisa sampai terluka begitu rupa.