Kiran begitu terluka ketika mendapati kekasihnya berdua dengan wanita lain di dalam kamar hotel. Impiannya untuk melanjutkan hubungannya ke arah yang lebih serius pun sirna.
Hatinya semakin hancur saat mendapati bahwa pada malam ia merasa hampa atas pengkhianatan kekasihnya, ia telah melalui malam penuh kesalahan yang sama sekali tidak disadarinya. Malam yang ia habiskan bersama atasannya.
Kesalahan itu kemudian menggiring Kiran untuk membuka setiap simpulan benang merah yang terjadi di dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uma hajid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hancur
Radit melangkah ragu memasuki ruangan serba putih diikuti oleh Tuan Mahesa yang berjalan sembari memeluk Mama Ariana. Wanita itu masih tampak begitu syok.
Kiran mengikuti paling belakang. Wajah gadis itu juga masih tampak bingung. Belum bisa memahami semua yang terjadi.
Ketika mereka semua masuk, Bara sudah menunggu di dalam ruangan. Di samping stretcher/ bangkar dorong rumah sakit. Stretcher itu berisi seseorang di atasnya. Seluruh tubuhnya di tutupi kain putih.
Mereka semua berada di sebuah rumah sakit yang letaknya tak jauh dari tempat terakhir Ari berada, di mana mobilnya ditemukan tenggelam di sana. Mereka segera meluncur ke rumah sakit ini begitu Radit mengabarkan pada mereka bahwa Ari telah ditemukan. Lebih tepatnya jasad Ari yang telah ditemukan.
Tuan Mahesa juga begitu kaget setelah mendengar kabar dari Radit bahwa putra keduanya telah ditemukan. Hatinya hancur mengetahui bahwa Ari ditemukan di dalam sungai dalam kondisi tentu saja sudah tak bernyawa. Selain mobilnya, ternyata sang pemilik juga ikut tenggelam di sana. Namun ia tidak ingin menunjukkan kesedihan di depan istrinya. Hati wanita itu pasti sangat hancur. Ia begitu menyayangi Ari.
Selama ini, ia cukup berhasil membangun harapan buat istrinya bahwa Ari masih baik-baik saja di luar sana. Ia masih bisa mengatakannya sebelum jasad Ari ditemukan. Dengan kejadian ini maka harapan itu telah hancur seketika. Putra kesayangan istrinya itu memang telah tiada.
"Pa, dia bukan Ari kan, Pa? Dia bukan Ari ...." Mama Ariana menatap Tuan Mahesa dengan wajah dipenuhi air mata. Kepala istrinya menggeleng, menolak bahwa tubuh yang ditutupi oleh kain putih itu adalah anaknya.
Kiran yang berada di belakang juga tak kalah kagetnya. Tadinya ia bersiap ingin tidur tatkala kemudian kamarnya diketuk dari luar. Begitu terbuka, Mama Ariana langsung menyongsongnya dengan pelukan. Mertuanya itu langsung terisak sembari mengabarkan bahwa pria yang seharusnya jadi suaminya itu telah meninggal dunia. Ya, pria itu telah meninggal dunia. Yang berjanji tidak akan pernah meninggalkannya justru pergi saat mereka seharusnya bersama.
Miris. Hati Kiran pun merasa teriris. Sakit yang ditimbulkan Rangga tidak seberapa jika dibandingkan dengan luka akibat ditinggalkan karena kematian ini. Lagi-lagi ia harus menelan pil pahit karena perpisahan akibat kematian.
Radit juga merasakan hal yang sama. Hatinya sangat sakit begitu Bara memberi kabar tadi. Harapannya bahwa akan menemukan sang adik dalam keadaan baik-baik saja telah hancur seketika. Harapannya musnah. Begitupun ia belum percaya jika belum memastikannya secara langsung.
Dengan gemetar, tangan Radit terjulur ingin membuka kain penutup yang menutupi wajah mayat di depannya yang kata Bara adalah adiknya. Sebelum jemarinya menyingkap kain putih itu, tangan Bara menahannya.
"Kuatkan dirimu, Dit. Tubuhnya sudah membengkak dan biru. Selain itu wajahnya juga rusak parah. Diduga kuat karena pada malam itu arus air sungai sangat tinggi dan deras sehingga mungkin wajahnya mengalami benturan keras dengan bebatuan besar yang ada di sungai itu." Mendengar penuturan Bara, tubuh Mama Ariana menegang, begitu juga Tuan Mahesa dan Kiran.
Radit menarik nafas perlahan. Mencoba menguatkan diri. Apapun yang ia lihat, ia harus kuat. Ia harus bisa memastikan bahwa jasad yang ada di hadapannya ini adalah benar-benar bukan jasad adiknya.
Radit menyingkap kain putih itu dengan perlahan. Sedikit demi sedikit hingga terbuka pada bagian wajah. Mata semua yang berada di dalam ruangan membulat seketika, kecuali Bara yang telah melihat sebelumnya.
"Papa!" pekik Mama Ariana begitu melihat wajah hancur dari jasad tersebut. Tubuh wanita itu kemudian terhuyung ke belakang. Kesadarannya langsung hilang. Tuan Mahesa yang selalu siaga di belakang langsung menangkap tubuh istrinya yang telah pingsan itu.
"Ma ..., Mama ...," panggil Tuan Mahesa sembari menepuk pelan pipi Mama Ariana yang tak kunjung membuka mata.
Kiran yang berada paling belakang memalingkan wajahnya. Ia juga tak sanggup melihatnya dan sangat syok. Tak menyangka, akan menyaksikan wajah pria yang selalu ingin terlihat tampan jadi begitu. Tanpa sadar, buliran bening jatuh menuruni pipinya.
Radit menatap dengan seksama wajah jasad yang ada di hadapannya. Mulai menilik dari potongan rambut hingga wajah yang tak berupa lagi. Radit memejamkan matanya beberapa saat. Merasa tak sanggup menatapnya. Jika benar itu adalah wajah Ari, betapa sakitnya apa yang dialami oleh adiknya itu. Berapa banyak ia terbentur oleh batu? Hati pria itu terluka dalam.
Selanjutnya ia teringat sesuatu. Sesuatu yang ingin dipastikannya dari rumah. Sebuah tanda yang dikenalinya dari Ari. Ia singkap kain penutup ke arah bawah, menuju tangan si jasad. Kemudian mengambil dan mengamati pergelangan tangan jasad itu. Kening pria itu mengernyit. "Dia bukan adikku!" katanya kemudian sembari meletakkan tangan mayat itu ke tempat semula dengan perlahan.
Bara terkesiap. "Apa maksudmu?"
"Aku tidak menemukan tanda yang seharusnya ada di tangan adikku. Dia bukan adikku, Bara." sahutnya menatap Bara yang menarik nafas perlahan. Ia paham, sahabatnya itu hanya tidak terima. Ia belum bisa menerimanya.
"Dialah jasad yang kami temukan di sana Radit. Usia kematiannya serupa dengan usia menghilangnya Ari. Wajahnya memang sudah rusak, sebab itu kita tidak bisa mengenalinya. Jaringan kulitnya juga sudah rusak karena tenggelam selama tiga hari di dalam sungai. Jasad yang tenggelam di air tawar memang cepat membusuk. Belum lagi ia juga mengalami benturan pada tubuhnya. Tidak hanya di wajah. Bahkan anggota tubuh yang lain juga luka. Selain itu tubuhnya juga membengkak. Maka tanda apapun yang ada selagi hidup tidak akan bisa kita temukan setelah ia tenggelam apalagi selama tiga hari di air tawar." Bara menjelaskan.
Radit menatap Bara tajam. "Pokoknya dia bukan adikku. aku mengenalnya lebih baik darimu. Hatiku juga mengatakan hal itu. Tak usah kau jelaskan lagi panjang lebar. Semua itu tak penting bagiku. Yang jelas dia bukan adikku!"
Tuan Mahesa memahami situasi yang terjadi. Dengan perlahan ia mengangkat tubuh istrinya keluar dari ruangan kemudian melangkah menuju parkiran. Sebelumnya ia sudah meminta pada Kiran yang masih tampak syok untuk mengikutinya.
"Tunggulah di sini. Aku akan menenangkan Radit dulu. Kau tunggui dulu Mamamu ya," ucapnya sembari mendudukkan istrinya di bangku belakang. Kiran mengangguk pelan. Mata gadis itu tampak basah.
"SUDAH KUBILANG DIA BUKAN ADIKKU! KUPINGMU TULI, HAH?!" teriakan Radit menggema, membuat Tuan Mahesa melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ruangan yang tadi ia tinggalkan. Sembari berlari kecil ia memberi kode pada suster yang melongok ke dalam ruangan, memberi tahu bahwa semua baik-baik saja. Para suster itu mengangguk kemudian kembali ke meja kerja mereka.
Saat Tuan Mahesa masuk, tangan Radit sudah mencengkram kerah Bara, mendorong tubuh sahabat anaknya itu kedinding. Menekan kuat hingga kaki pria itu berjinjit.
"Radit! Tenangkan dirimu!" suara bariton Tuan Mahesa seketika membuat Radit melepaskan tangannya di baju Bara. Selanjutnya Tuan Mahesa memberi isyarat pada Bara agar segera keluar dari ruangan. Dengan segera Bara meninggalkan ruangan.
"Kenapa kau harus sampai marah begitu pada Bara? Dia cuma memberi tahu apa yang ia ketahui," ucap Tuan Mahesa pelan.
"Laki-laki bodoh itu bilang tidak ingin melanjutkan pencarian. Dia merasa paling benar memastikan bahwa jasad ini adalah Ari!" ucap Radit dengan suara yang bergetar menahan marah. Nafasnya masih tampak turun naik, menahan gemuruh di dadanya. Jika saja mereka bukan di rumah sakit, mungkin ia sudah memukulnya.
Tuan Mahesa mendekati Radit merangkul putra sulungnya itu dengan erat. "Jika dia bukan Ari, lalu jasad siapa ini? Bukankah cuma kita yang kehilangan keluarga di sungai itu? Tidak ada yang lainnya, Dit. Hanya keluarga kita," bisik Tuan Mahesa. Tangan Radit mengepal. Badannya bergetar.
Bahkan Papanya pun berkata seperti itu.
"Dia bukan Ari, Pa. Dia bukan adikku. Ari itu pintar berenang, Pa. Jika hanya arus sungai, dia pasti bisa mengatasinya. Dia tidak akan tenggelam begitu saja." Radit menjauhkan tubuhnya. Menatap dalam mata Tuan Mahesa. Memberikan perlawanan, menyanggah apa yang Tuan Mahesa barusan ucapkan.
"Jika memang begitu, kenapa kau perintahkan Bara untuk mengerahkan penyelam mencari Ari di dalam sungai. Kenapa tidak langsung mencari ke penduduk sekitar?"
Radit tersentak. Dadanya terasa sakit seketika. Sedari awal ia memang sudah khawatir jika adiknya itu tenggelam. Radit menggeleng pelan. Kemudian terhuyung ke belakang. "Itu karena ... Radit hanya memastikan ...." Radit tak sanggup lagi melanjutkan.
"Berarti sedari awal Radit memang sudah memiliki firasat itu, kan? Jika hanya memastikan berarti kau pun sudah meragukan kemampuan berenang adikmu itu." Tuan Mahesa menatap Radit bijak.
Radit menggeleng kuat. "Bukan, Pa. Dia bukan Ari. Dia tidak bisa pergi seperti ini, Pa. Dia bukan Ari. Tubuh ini bukan tubuh Ari," tunjuknya pada jasad itu. Menatapnya dengan sorot mata tak percaya lalu kembali menggeleng kuat. Dadanya begitu sesak.
"Kematian sudah ditetapkan oleh Allah. Semua diatur oleh Allah. Kita sebagai hamba hanya bisa pasrah menghadapi semuanya. Ikhlaskan, Dit. Mungkin ini yang terbaik buat Ari."
Mata Radit memerah. Dadanya bergemuruh begitu kuat. Rasa sesak menguasainya. Ia sudah tak sanggup menahannya.
"Jika kau ingin menangis, maka menangis lah. Papa tidak pernah melarangmu. Tapi setelah itu kau harus merelakan adikmu," ucap Tuan Mahesa sembari kembali merangkul Radit.
"Dia bukan Ari, Pa. Ari tidak mungkin pergi seperti ini. Radit selalu mengawasinya, Pa. Radit selalu menjaganya. Jika keluar kota, Radit selalu mengirimkan pengawal bersamanya. Radit juga sudah mengajarinya berenang. Dia bukan Ari, Pa. Pasti bukan." Pria itu masih belum bisa menerima. Tangannya mengepal menahan tangis.
Tuan Mahesa menepuk bahu Radit pelan. "Semua sudah ketetapan Allah. Papa tidak pernah menyalahkanmu, Nak. Maka jangan salahkan dirimu sendiri." Tuan Mahesa menjauhkan tubuh Radit, mencengkram kedua bahunya sembari menatap Radit dalam.
❤❤❤💖