Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Aldric tersenyum lembut saat mendengar pertanyaan Arlena yang lirih namun penuh harap.
Di matanya, tampak cahaya kecil seberkas harapan yang mulai tumbuh kembali setelah sekian lama terpendam dalam luka dan penderitaan.
Tanpa berkata apa pun dulu, Aldric merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah amplop kecil.
Ia duduk di tepi ranjang dan perlahan menarik satu lembar foto dari dalamnya.
Dalam foto itu, sepasang suami istri tengah tersenyum lebar, pria dengan wajah tegas namun hangat, dan wanita anggun dengan tatapan penuh kasih sayang.
“Ini mereka, Arlena,” ucap Aldric, menyerahkan foto itu ke tangan gadis yang masih lemah di ranjang.
Arlena menatap foto itu dengan mata membulat, air matanya langsung mengalir.
“Mereka… mereka sangat cantik dan tampan…” bisiknya, bibirnya bergetar.
“Ayahmu Tuan Maxim Hendricko, pemimpin perusahaan besar di Asia Tenggara dan Ibumu, Nyonya Alena, seorang wanita luar biasa yang tak pernah berhenti mencari anaknya.”
Arlena mendekap foto itu ke dadanya, seakan ingin menyerap kehangatan dari kedua orang tua kandungnya.
“Mereka baik?” tanyanya lagi, penuh ketakutan yang belum sepenuhnya hilang.
“Mereka sangat baik, Lena. Dan mereka mencintaimu sejak hari pertama kau dilahirkan. Mereka tidak pernah berhenti mencarimu,” kata Aldric pelan.
Arlena menutup matanya, air mata masih mengalir. Tapi kali ini air mata kelegaan, bukan ketakutan.
“Aku ingin segera bertemu mereka,” ucapnya pelan, nyaris seperti doa.
Aldric menggenggam tangan Arlena dengan lembut, menatap mata gadis itu yang mulai berkaca-kaca lagi kali ini bukan karena luka, tapi harapan.
“Setelah kamu keluar dari rumah sakit,” ucap Aldric dengan suara tenang namun tegas,.
“Aku sendiri yang akan mengantarmu. Kita akan pergi bersama, dan aku akan pastikan kamu bertemu mereka."
Arlena terdiam sejenak, napasnya sedikit gemetar.
“Benarkah, Tuan?”
“Kamu tidak perlu takut lagi. Kamu tidak sendirian, Lena. Aku akan ada di sampingmu, sampai kamu siap berdiri sendiri atau bahkan lebih lama dari itu.” jawab Aldric sambil menganggukkan kepalanya.
Arlena menggenggam balik tangan Aldric, lebih erat. Meskipun tubuhnya masih lemah, hatinya mulai menguat. Untuk pertama kalinya, masa depan terasa mungkin.
Untuk sementara ini, Aldric memutuskan untuk tidak meninggalkan Arlena sendirian, bahkan sejenak pun.
Ia tahu trauma yang dialami Arlena belum sepenuhnya pulih, dan luka-luka yang tak terlihat jauh lebih menyakitkan daripada yang tampak di permukaan.
Ia memindahkan sebagian pekerjaannya ke rumah sakit, duduk di samping ranjang Arlena dengan laptop menyala
Sesekali menatap gadis itu yang tertidur dengan napas tenang.
Setiap kali Arlena menggeliat atau merintih dalam tidur, Aldric segera menenangkannya, menggenggam tangannya agar ia tahu dan ia tidak sendiri.
Dokter dan perawat pun mengerti, mereka tidak mengganggu. Mereka melihat betapa pentingnya kehadiran Aldric bagi kesembuhan Arlena.
Di antara sunyi ruangan itu, Aldric membisikkan janji pelan-pelan.
"Aku akan tetap di sini sampai kamu benar-benar siap. Jadi tidurlah tenang, Lena. Kamu aman sekarang.”
***
Keesokan paginya, sinar matahari menyusup lembut ke sela-sela tirai ruang perawatan.
Arlena masih terlelap saat seorang psikiater datang ditemani perawat. Aldric yang duduk di sofa kecil di sudut ruangan segera berdiri dan menyambut mereka.
"Selamat pagi, Tuan Aldric," sapa psikiater dengan tenang.
"Hari ini saya ingin memeriksa kondisi mental Nona Arlena."
Aldric mengangguk, lalu mendekati ranjang dan dengan suara lembut membangunkan Arlena.
“Lena, ada dokter yang ingin bicara denganmu, hanya sebentar saja.”
Arlena membuka mata perlahan, terlihat sedikit cemas namun mencoba tenang.
Psikiater duduk di samping ranjangnya, memperkenalkan diri dengan suara hangat dan penuh empati.
Ia mulai menanyakan beberapa pertanyaan ringan, mencoba membuat Arlena nyaman, lalu secara bertahap menyentuh hal-hal lebih dalam lagi perasaannya, ketakutan yang masih membayangi, serta pikirannya saat mencoba mengakhiri hidupnya.
“Aku takut... Aku merasa tidak layak... Aku lelah...” ucap Arlena ketakutan.
Psikiater mendengarkan tanpa menghakimi, mencatat dan menenangkan.
Setelah sesi singkat namun penuh makna itu, ia menyampaikan kepada Aldric bahwa Arlena mengalami trauma berat, depresi mendalam, dan membutuhkan pendampingan rutin secara psikologis, serta pengawasan ketat dalam masa pemulihannya.
Aldric mengepalkan tangannya pelan, lalu mengangguk.
“Apa pun yang diperlukan, akan saya penuhi. Saya tidak akan membiarkan dia sendiri lagi.”
Psikiater mengangguk pelan, menatap Aldric dengan serius namun penuh empati.
“Untuk sementara ini, Anda harus tetap di sisinya, Tuan Aldric.
Arlena sangat rapuh. Kepercayaan dirinya hancur, rasa aman yang ia punya pun nyaris tak tersisa.
Hanya Anda yang mampu membuatnya merasa sedikit lebih tenang saat ini.”
Aldric menatap Arlena yang tertidur kembali setelah diberi obat penenang.
Ada luka di wajahnya, namun luka yang lebih dalam ada di dalam dirinya yang tak bisa sembuh hanya dengan waktu.
“Saya akan menjaganya,” ucapnya lirih, nyaris seperti janji pada dirinya sendiri.
“Yang ia butuhkan bukan hanya perlindungan, tapi juga kehadiran dan ketulusan.”
Dalam hati ia tahu jika ini bukan lagi sekadar tanggung jawab.
Arlena telah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih penting, seseorang yang ingin ia lindungi, bukan karena kasihan tapi karena ia peduli, lebih dari yang bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Aldric menoleh cepat saat mendengar suara lirih itu. Arlena membuka matanya perlahan, suaranya lemah namun penuh harap,
“Tuan Aldric…”
Ia segera mendekat, duduk di sisi ranjang sambil menggenggam tangan Arlena dengan hati-hati.
“Aku di sini, Arlena. Kamu aman sekarang.”
Mata Arlena berkaca-kaca, ada ketakutan yang belum sepenuhnya pergi, tapi juga ada ketenangan kecil saat melihat Aldric benar-benar ada di sana.
“Kamu… nggak pergi lagi, kan?”
“Aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap di sini sampai kamu kuat lagi. Kamu tidak sendiri.”
“Aku takut… tapi aku percaya sama kamu.”
“Terima kasih sudah percaya padaku. Aku janji, mulai sekarang hidupmu akan jauh dari rasa sakit itu.”
Dalam hening yang penuh makna, keduanya tahu: luka bisa sembuh, jika ada seseorang yang benar-benar bertahan di sampingmu.
Aldric duduk di samping ranjang rumah sakit, memandangi wajah pucat Arlena yang masih tertidur dengan alat infus di lengannya.
Hatinya terasa berat, dipenuhi sesal yang tak kunjung reda. Ia mengepalkan tangan, mencoba meredam emosi yang membuncah di dada.
"Aku terlambat..." gumamnya lirih, hampir seperti mengakui kesalahan pada dirinya sendiri.
Matanya memandang jemari Arlena yang masih menggenggam tangannya lemah.
"Seandainya aku lebih cepat, seandainya aku tidak pergi waktu itu..."
Ingatan akan teriakan Arlena, tubuhnya yang terluka, dan luka-luka di wajahnya masih terpatri jelas.
Semua itu menghantui setiap detik diam yang ia lewati di ruangan itu.
Ia menundukkan wajahnya dengan tangan. Ini bukan sekadar rasa bersalah tetapi ini penyesalan seorang pria yang seharusnya bisa melindungi, tapi gagal.
"Aku berjanji, Lena. Aku akan menebus semuanya. Dengan caraku, dengan hidupku kalau perlu. Aku tidak akan biarkan siapa pun menyakitimu lagi," ucapnya dengan suara tegas, meski matanya mulai berkaca.
Saat Arlena menggeliat pelan dalam tidurnya, Aldric buru-buru mengusap air matanya.
Ia mengatur napas, menyembunyikan kelemahannya. Untuk Arlena, ia harus kuat.
Meski hatinya penuh luka dan ia akan jadi perlindungan terkuat yang Arlena miliki.