Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31— Batas Kepercayaan
Gestur tubuh orang yang sedang jatuh cinta memang sulit untuk disembunyikan, dan Alana adalah contoh nyata dari hal itu. Biasanya, ia sangat menjaga jarak dengan lelaki selain Naresh, namun kali ini ia membiarkan tangannya digenggam oleh Jendral. Ada Nisya juga di sana yang masih setia menemani. Tadinya Nisya ingin pergi, tetapi melihat kedekatan Alana dan Jendral membuatnya ragu untuk meninggalkan mereka.
"Sekarang mereka pegangan tangan, kalau aku tinggalin mungkin mereka bakal lanjut ke adegan ciuman." Entah datang dari mana pikiran itu, tetapi itulah alasan Nisya memilih untuk tetap tinggal.
Aska dan Dewa yang baru datang dan melihat itu saling menatap. Mereka penasaran sejak kapan Jendral dan Alana sedekat itu.
"Pegangan tangan banget nih sekarang?" tanya Aska. Dewa yang mendengar itu hanya bisa menghela napas, ingin sekali dia menampar mulut Aska yang sudah terang-terangan mengatakannya.
“Nggak apa-apa, nggak usah malu, kita di sini santai kok,” ujar Aska, berusaha mencegah Alana melepaskan tautan tangannya dengan Jendral.
“Bukannya lo takut sama Alana?” tanya Dewa, mengingatkan kembali tentang Aska yang pernah mengaku takut pada Alana. “Kok sekarang lo berani banget sih ngomong gitu?”
Aska langsung menelan ludah. Ia teringat kembali saat Alana memberi Kaluna pelajaran di kelas, tatapan mata Alana yang menghujam saat ia mengambil video perempuan itu, dan rasa takut itu pun kembali merayap dalam dirinya.
Tatapan Alana membuat Aska sedikit gentar. Tidak bisa dipungkiri, ia memang cantik. Kulitnya mulus dan terawat, rambut hitamnya sedikit bergelombang, dan bibirnya merah seperti buah ceri. Ia benar-benar masuk dalam kriteria perempuan idaman. Namun, ada ketakutan tersendiri yang muncul dalam dirinya setiap kali menatap wajah itu.
“Kenapa lo takut sama Alana?” tanya Jendral. Ia sebenarnya tahu alasan di balik ketakutan Aska, tapi sengaja bersikap seolah-olah tidak ada yang perlu ditakutkan dari perempuan semanis dan secantik Alana.
Aska ingin sekali mengumpat saat Jendral menanyakan hal itu, tetapi sampai saat ini, Jendral masih menduduki posisi pertama sebagai orang yang paling ditakuti olehnya. Alana memang sudah menunjukkan taring—membuktikan bahwa dirinya berbahaya lewat aksinya memberi Kaluna pelajaran. Namun, Jendral jauh lebih berbahaya dan menakutkan dari itu.
"Oh ya, lo yang video gue waktu itu, kan?" Tanpa diduga, Alana justru mengungkit kejadian saat Aska merekam dirinya. Kini, Aska jadi lebih waspada.
"Iya, tapi sekarang gue udah hapus kok videonya. Nih, cek aja kalau nggak percaya," sahut Aska cepat sambil mengeluarkan ponselnya untuk membuktikan perkataannya.
Alana menolak menerima ponsel dari Aska. Namun, sesuatu terlintas di benaknya sekarang.
"Gue inget, waktu itu cuma lo yang ngerekam gue," ucap Alana tiba-tiba, entah dengan maksud apa ia melontarkan pernyataan itu.
"Lo yang ngasih video itu ke kepala sekolah?" tanyanya lagi—dan kali ini, suasana langsung berubah. Semua orang yang ada di sana terdiam dan saling menatap.
Video yang dimaksud pernah digunakan kepala sekolah untuk memanggil orang tua Alana. Maka, kemungkinannya cukup besar jika Aska adalah orang yang memberikan video itu kepada kepala sekolah.
"Hah? Apa?" Aska terkejut dengan tuduhan mendadak itu. Terlebih lagi, Jendral kini menatapnya tajam—tatapan yang seolah menuntut jawaban.
“Bukan lo pelakunya, kan?” tanya Jendral saat Aska tidak juga memberikan penjelasan.
Jendral tidak suka anak buahnya bertele-tele. Jika bukan dia pelakunya, Arka seharusnya bisa segera menyangkal. Jika iya, maka ia hanya perlu mengaku.
Mahen dan Dewa hanya menyimak. Begitu pun Nisya. Mereka merasa tidak berhak untuk membela atau menyalahkan siapa pun sekarang.
“Nggak mungkin lah gue ngelakuin itu,” Aska dengan cepat menyangkal. Ia sama sekali tidak merasa pernah melakukan hal tersebut. Tidak berani juga.
“Jen, lo kenal gue, kan? Gue mana pernah ngusik cewek yang deket sama lo!” lanjutnya, berusaha meyakinkan Jendral.
Jendral diam. Ia tahu Aska dan anak buahnya yang lain tidak pernah berani mengusik perempuan yang dekat dengannya selama ini. Namun, ia masih perlu tahu siapa yang sebenarnya memberikan video itu kepada kepala sekolah.
Alana yang melihat ketegangan di antara keduanya buru-buru angkat bicara. “Udah, nggak usah dipikirin. Udah lewat juga. Gue cuma nanya aja kok.”
“Yakin cuma nanya?” Suara itu tiba-tiba menginterupsi. Savana menghampiri mereka dengan Liora di sampingnya.
“Atau, lo sendiri yang ngasih video itu ke kepala sekolah? Lo kan kurang dapet perhatian orang tua, mungkin lo mau dapetin perhatian makanya sengaja ngasih video itu ke kepala sekolah? Terus lo gunain itu buat bikin The Rogues pecah?” tambahnya, mulai mengompori. Ia merasa ini kesempatan bagus untuk menjauhkan Alana dari The Rogues, terutama dari Jendral.
“Lo ngomong apa, hah?” Alana langsung melepaskan genggaman tangannya dari tangan Jendral. Ia hendak menghampiri Savana untuk meminta penjelasan, tetapi Jendral kembali meraih tangannya.
“Nggak usah diladenin, gue percaya sama lo,” ucap Jendral pada Alana.
Savana terkekeh mendengar Jendral mengatakan itu. Lalu, ia kembali mengompori. “Lo tadi sempat curiga sama Aska, tapi sekarang langsung percaya sama Alana? Seriously?” tanyanya.
Savana lalu menatap Aska dengan ekspresi prihatin—jelas pura-pura. “Kasihan banget sih lo. Lo dicurigai ketua lo, tapi dia dengan mudah percaya ceweknya.”
Aska diam. Tidak terpancing. Justru pikirannya bekerja cepat—mencoba mengingat setiap momen, setiap kemungkinan. Jika memang bukan dia yang mengirim video itu... lalu siapa?
“Lagian, kalian kan baru di sini. Kalian belum tahu Alana kayak gimana, kan? Dia nggak sebaik yang kalian kira!” Liora ikut bicara demi menjalankan aksi mereka.
Kesempatan untuk menjatuhkan Alana mungkin tidak akan datang dua kali. Mereka harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya.
Nisya ingin membela Alana karena tidak terima sahabatnya dipojokkan oleh The Velvets. Namun, perkataan Aska menghentikannya.
“Gue bahkan nggak ngira Alana itu baik waktu pertama kali kita ketemu,” ucap Aska menanggapi Liora.
Pandangan Aska saat pertama kali bertemu Alana: cantik, tapi jutek dan sombong. Apalagi waktu itu Alana menolak menunjukkan ruang kepala sekolah kepada mereka.
“Kalian udah nyoba ngehasut kita, tapi nggak mempan,” Dewa ikut menimpali Aska.
“Lagian, yang dulu pura-pura balik di depan mereka kan kalian,” ujar Nisya, tidak mau kalah. Ia ikut bicara agar Alana tidak terus-menerus dituduh berpura-pura baik oleh Savana dan Liora.
Boro-boro ingin terlihat baik, Alana bahkan tidak pernah mau menonjol di hadapan murid lain di sekolah. Kedekatannya dengan The Rogues pun terjadi karena Jendral yang terus berusaha mendekatinya.
“Jangan sampai aku panggil Naresh buat urus kalian, ya,” ancam Nisya.
“Ck.” Savana berdecak.
Nama Naresh seperti mantra pemecah keributan. Savana dan Liora langsung kabur, seolah tahu apa yang akan terjadi jika tetap tinggal.