Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab : Mengasah Naluri di Medan Perang
Fajar virtual di Zero Point Survival menyingsing, membawa serta hawa dingin yang menusuk. Cahaya keemasan menembus celah pepohonan, menerangi wajah-wajah lelah tim Ren. Mata mereka, meskipun di dunia game, tampak cekung, mencerminkan kelelahan yang nyata setelah melewati malam panjang di hutan. Bagi Rangga, ini adalah pengalaman pertama merasakan 'pagi' di dunia lain, dan ia merasa seolah ia benar-benar baru bangun dari tidur di alam liar.
"Oke, tim, waktunya bergerak," Aisha berkata dengan suara tegas, bangkit dari posisinya di gua. "Zona aman sudah menyempit lagi. Kita harus lebih agresif sekarang."
Ren ikut bangkit, merasakan otot-ototnya kaku. Namun, ada semangat baru yang membara. Mereka telah melewati malam, dan ia merasa lebih percaya diri. Ia telah belajar banyak tentang perannya sebagai Support, dan ia tahu timnya mengandalkannya.
Mereka keluar dari gua, kembali menyusuri hutan belantara. Suara kicauan burung terdengar lebih nyaring sekarang, dan aroma embun pagi menyeruak, begitu hidup hingga Rangga nyaris lupa ia ada di dalam sebuah konsol di kosan. Mereka bergerak dengan formasi ketat: Guntur di depan sebagai pelindung, Aisha dan Dio di sisi-sisi, Bara menyelinap di belakang dengan perangkap, dan Ren tetap di tengah, siap memberikan bantuan kapan saja.
"Hati-hati, tim," Dio memperingatkan dari posisi pengintaiannya di atas pohon. "Aku melihat setidaknya tiga tim di arah barat daya. Mereka sepertinya bergerak menuju zona aman."
Aisha mengangguk. "Baik, kita akan bersembunyi di reruntuhan di depan. Mungkin kita bisa mencegat mereka."
Mereka bergerak cepat, mengendap-endap di antara pepohonan besar dan semak belukar. Ren merasakan ranting-ranting kecil yang patah di bawah kakinya, setiap langkah ia atur agar tidak menimbulkan suara terlalu keras. Bau tanah basah dan daun-daun kering masih memenuhi indra penciumannya.
Reruntuhan yang dimaksud Aisha adalah sisa-sisa bangunan kuno yang ditutupi lumut dan tanaman menjalar. Tempat itu memberikan perlindungan yang sangat baik. Aisha segera mengatur posisi. Guntur mengambil posisi di balik dinding batu tebal, siap menahan tembakan. Dio naik ke lantai atas reruntuhan yang masih kokoh, mencari celah untuk menembak. Bara menempatkan perangkap kawat tipis di jalur masuk utama, menyamarkannya dengan dedaunan.
"Ren, kamu di sini, di balik pilar ini," Aisha menunjuk ke sebuah pilar batu besar. "Tetap di belakang Guntur, tapi pastikan kamu punya jalur tembak untuk Heal Pack."
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki dan obrolan samar mulai terdengar. Musuh datang.
"Mereka masuk perangkap Bara!" teriak Dio. Seketika, suara dentuman keras dan teriakan kesakitan memecah keheningan. Satu musuh terkena perangkap Bara.
"SERANG!" teriak Aisha, dan tembakan pun pecah.
DOR! DOR! DOR! Suara senapan serbu Aisha menggelegar, disusul oleh suara tembakan sniper Dio yang tajam dari atas. Guntur menahan tembakan musuh dengan tubuhnya yang terlindungi vest tebal, peluru-peluru virtual menghantam dirinya dengan suara thump keras, terasa seperti pukulan nyata. Ren merasakan getaran tanah di bawah kakinya karena intensitas tembakan. Ia bersembunyi rapat, matanya mencari siapa yang membutuhkan bantuannya.
Seorang musuh berhasil melompati perangkap Bara dan menyerang Guntur dari samping. Guntur menjerit kesakitan. "Ren! Aku kena!"
Cepat-cepat, Ren mengeluarkan Heal Pack dan melemparkannya ke Guntur. Cahaya hijau menyelimuti Guntur, dan ia kembali membalas serangan. Adrenalin Rangga memuncak. Tangannya gesit, tidak lagi canggung seperti sebelumnya. Ia merasakan setiap ototnya bekerja, setiap gerakannya presisi, didorong oleh dorongan dari kabel-kabel Synapse VR.
"Satu musuh tumbang!" teriak Aisha.
Namun, Aisha sendiri terkena tembakan di kakinya. "AARGH! Kakiku!" Ia terhuyung, berpegangan pada dinding.
"Aisha!" Ren langsung bergerak tanpa ragu, merangkak cepat di antara reruntuhan, mengabaikan potensi bahaya. Ia meraih Aisha, dan segera menggunakan Heal Pack padanya. Sensasi Heal Pack yang mendingin dan kemudian rasa lega saat luka virtualnya sembuh terasa begitu nyata bagi Aisha, bahkan Ren bisa merasakan gelombang panas dari efek penyembuhan itu.
"Terima kasih, Ren. Kamu cepat sekali," Aisha menghela napas, suaranya dipenuhi rasa syukur. Ia segera kembali menembak.
Pertempuran berlangsung sengit. Suara tembakan saling bersahutan, diselingi teriakan pemain yang terluka dan ledakan granat yang menggelegar. Ren bisa merasakan getaran dari ledakan itu, bahkan hembusan angin panas yang tercipta secara virtual. Ia melihat Dio melompat dari ketinggian, menembak saat melayang di udara, dan mendarat dengan mulus—sebuah gerakan yang mustahil dilakukan di dunia nyata.
Tiga dari lima musuh tim pertama berhasil mereka tumbangkan. "Cepat, jarah mereka!" perintah Aisha.
Ren segera mendekati tubuh-tubuh yang tergeletak. Sensasi dinginnya logam dan kekakuan kostum musuh saat ia menyentuhnya terasa nyata. Ia melihat interface looting muncul. Kali ini, ia mencari item yang berguna untuk dirinya dan tim. Ia menemukan Medical Syringe yang lebih kuat, sebuah Energy Bar yang bisa meningkatkan stamina, dan beberapa amunisi tambahan. Ia merasakan berat item-item itu di inventaris virtualnya, seolah ia benar-benar memasukkannya ke dalam saku.
"Aisha! Ada tim lain mendekat! Dari arah tim yang kita kalahkan!" teriak Bara, suaranya tegang. Ia telah menanam perangkap lain, tapi jumlah musuh kali ini lebih banyak.
"Baik, kita bergerak ke zona aman selanjutnya! Jangan sampai terkepung!" Aisha memberi perintah. "Guntur, pimpin jalan! Dio, tembak cover dari belakang! Ren, siapkan Heal Pack! Bara, siapkan smoke grenade!"
Mereka berlari. Ren merasakan paru-parunya bekerja keras, napasnya tersengal-sengal, dan otot-otot kakinya terasa terbakar. Keringat membasahi seluruh tubuhnya di dalam kostum. Ia melangkah cepat, menghindari rintangan, sesekali merunduk saat mendengar desingan peluru yang melewati kepalanya. Suara tembakan musuh dari kejauhan tidak berhenti, dan Ren bisa merasakan tekanan psikologis dari perburuan itu. Ia tidak lagi hanya menekan tombol, ia benar-benar bertahan.
"Aku kena!" teriak Guntur, suaranya serak. Ia tertembak di kaki.
Ren segera berlari mendekat. Ia harus bergerak lebih cepat, mengabaikan rasa takutnya. Ia meraih Guntur, dan dengan cepat menggunakan Medical Syringe yang baru saja ia jarah. Guntur kembali berdiri, meskipun masih sedikit pincang.
"Terima kasih, Ren! Syringe itu langsung berefek!" Guntur tersenyum lega.
"Ini baru permulaan, tim! Kita harus tetap fokus!" Aisha berseru.
Mereka terus bergerak, bertarung, dan bertahan. Ren merasa waktu game berjalan begitu lambat sekaligus begitu cepat. Setiap detik adalah perjuangan. Ia telah menyembuhkan Guntur dan Aisha beberapa kali. Ia bahkan berhasil melemparkan Energy Bar ke Dio yang mulai kelelahan. Perannya sebagai Support benar-benar krusial. Ia bukan hanya sekadar mengantar makanan lagi; ia adalah penyelamat di medan perang yang nyata.
Di Bawah Rentetan Tembakan
Tiba-tiba, saat mereka melintasi area terbuka yang dikelilingi bebatuan tinggi, rentetan tembakan meletus dari atas. TRATA-TATA-TATA! Itu adalah tembakan senapan mesin otomatis.
"MUSUH DI ATAS! KITA TERKEPUNG!" teriak Aisha, suaranya panik.
Ren merasakan hentakan keras di punggungnya. BUK! Rasanya seperti ada tangan raksasa yang mendorongnya dari belakang. Secara refleks, tubuhnya terhuyung ke depan, kabel-kabel Synapse VR di kostumnya menegang, menariknya mundur dengan kuat, mensimulasikan dampak pukulan peluru yang melaju. Ia merasakan sengatan panas di titik yang tertembak, dan rasa perih yang menusuk, seolah kulitnya benar-benar robek. Sepersekian detik, pandangannya sedikit berputar. Darah virtual berwarna merah terang menyebar di area punggung kostumnya, terlihat jelas di sudut pandangannya.
"REN KENAAAA!" teriak Dio.
Aisha langsung menariknya ke balik batu besar terdekat. "Bagaimana, Ren?! Kamu bisa bergerak?"
Ren terengah-engah, tubuhnya gemetar. Ia mencoba menyentuh punggungnya, tapi tangannya tak sampai. Sensasi sakit itu masih terasa, meskipun ia tahu itu hanya simulasi. Ini lebih dari sekadar indikator bar HP di layar; ini adalah rasa sakit fisik yang meyakinkan.
"Aku... aku baik-baik saja," jawab Ren, suaranya sedikit gemetar. Ia segera mengeluarkan Medkit terbaiknya. Ia menyentuh ikon itu dan merasakan sensasi dingin saat ia menggunakannya pada dirinya sendiri. Cahaya hijau menyelimuti tubuhnya, dan rasa sakit itu mereda perlahan, digantikan oleh sensasi kebas dan kemudian pulih.
"Syukurlah," Aisha menghela napas lega. "Fokus, Ren. Jangan sampai kena lagi."
Pertarungan berlanjut. Ren, yang kini sudah lebih terbiasa, bergerak lincah, menghindari tembakan musuh sambil fokus pada tugasnya. Ia melemparkan Heal Pack dan Energy Boost dengan presisi. Ia bahkan sesekali menembakkan pistolnya ke arah musuh, meskipun dengan akurasi yang masih terbatas. Setiap peluru yang ia tembakkan terasa berat di tangannya, dan tendangan balik pistol terasa di pergelangan tangannya.
Aisha bertarung seperti singa, melompat dan menembak. Dio, dari posisi tersembunyi, memberikan headshot demi headshot yang mematikan.
Pada akhirnya, setelah perjuangan panjang, Zero Point Survival mengumumkan pemenangnya. Tim mereka berhasil meraih Chicken Dinner.
Euforia membanjiri Ren. Ia menjatuhkan pistol virtualnya, mengangkat tangannya ke udara, dan berteriak kegirangan. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, napasnya tersengal, tapi ia merasa luar biasa. Ia telah menang. Ia telah menjadi bagian dari kemenangan ini.
"Kerja bagus, tim!" suara Aisha terdengar, kali ini penuh kelegaan dan kebanggaan. Ia mendekat, senyum lebar terukir di wajahnya. "Dan kamu, Ren. Aku tidak menyangka seorang newbie bisa secepat itu beradaptasi. Kamu punya bakat sebagai support."
Senyum Aisha, di dunia virtual itu, terasa lebih berharga dari apa pun. Rangga merasa benar-benar hidup.