NovelToon NovelToon
Obsesi CEO Psikopat

Obsesi CEO Psikopat

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Mantan Perawat

Aluna gadis yatim piatu berusia 21 tahun, menjalani hidupnya dengan damai sebagai karyawan toko buku. Namun hidupnya berubah setelah suatu malam saat hujan deras, ia tanpa sengaja menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya. Di sebuah gang kecil ia melihat sosok pria berpakaian serba hitam bernama Darren seorang CEO berusia 35 tahun yang telah melenyapkan seorang pengkhianat. Bukannya melenyapkan Aluna yang menjadi saksi kekejiannya, Darren justru membiarkannya hidup bahkan mengantarnya pulang.

Tatapan penuh ketakutan Aluna dibalik mata polos yang jernih menyalakan api obsesi dalam diri Darren, baginya sejak malam itu Aluna adalah miliknya. Tak ada yang boleh menyentuh dan menyakitinya. Darren tak ragu melenyapkan semua yang pernah menyakiti Aluna, entah itu saat sekarang ataupun dari masa lalunya.

Ketika Aluna perlahan menyadari siapa Darren, akankah ia lari atau terjatuh dalam pesona gelap Darren ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mantan Perawat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab.4

©Toko Buku : Rencana yang Beradu ©

Aluna baru saja menghabiskan makan siang yang diberikan Fino. Ia lalu memandangi kotak makanan yang kini kosong di tangan Yasmin. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena makanan itu direbut, melainkan karena pesan yang menyertainya.

"My baby chubby, Aluna."

Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan dengan rasa manis seperti seseorang yang menerima perhatian, melainkan dengan ketakutan yang perlahan mencengkeram dadanya.

"Siapa yang mengirim ini? Kenapa ada yang memanggilku begitu?"

Aluna meremas ujung roknya, pikirannya masih berkecamuk dengan peristiwa semalam,pria bertopeng itu. Belati berlumuran darah yang ia lihat masih tergambar jelas di kepalanya, bersama dengan tatapan tajam pria itu sebelum bibirnya menyentuh pipi chubby miliknya.

Kenapa?

Kenapa pria itu tidak membunuhnya?

Kenapa justru sekarang dia merasa semakin diawasi?

"Kenapa diam saja? Takut?" Yasmin mencibir, menarik Aluna kembali ke realitas.

Aluna tidak menjawab. Ia hanya menggigit bibir bawahnya, menyembunyikan kegelisahannya.

Fino menatap Yasmin tajam. "Kamu selalu cari masalah ya?"

Yasmin menyilangkan tangan, bersandar ke rak buku dengan ekspresi meremehkan. "Aku cuma makan makanan yang terbuang. Memangnya kenapa? Lagian, kalau Aluna takut karena ada yang mengirim hadiah misterius, itu salah siapa? Mungkin dia memang sengaja jual mahal biar ada yang simpati.Oh,atau mungkin saja dia punya sugar daddy."

Aluna tersentak. "Aku tidak seperti itu..."

"Oh ya?" Yasmin mendekat, matanya berkilat licik. "Lalu siapa yang mengirim makanan mahal ini ? Kau bilang tak tahu? Sok polos,sok lugu.Semua pelanggan di toko ini suka padamu. Apa kau menikmati jadi pusat perhatian?"

Fino segera berdiri, menahan diri agar tidak membentak. "Yasmin, cukup."

"Kenapa? Cemburu?" Yasmin menantangnya, bibirnya menyunggingkan senyum meremehkan. "Atau jangan-jangan kamu juga suka Aluna? Oh, kasihan. Dia bahkan tidak sadar."

Aluna menunduk semakin dalam, pipinya semakin memerah bukan karena malu, melainkan karena tertekan. Ia benci ini. Ia benci jadi pusat perhatian, apalagi perhatian yang membuat orang lain membencinya.

"Aku pergi dulu," gumam Aluna, cepat-cepat mengambil tasnya.

"Luna..."

"Aku butuh udara segar," tambahnya sebelum Fino bisa menahan.

Yasmin mendengus dan berbalik, membiarkan Aluna pergi dengan langkah tergesa-gesa.

Fino menghela napas berat sebelum menatap Yasmin dengan tajam. "Kamu menyebalkan."

Yasmin hanya terkekeh, lalu kembali bersandar ke rak, matanya berkilat dengan sesuatu yang lebih gelap.

© Seberang Toko Buku: Mata yang Mengintai ©

"Dia pergi sendirian."

Arga melirik Hernan yang masih menatap Aluna dari dalam mobil mereka. Gadis itu berjalan cepat, tangannya meremas tali tasnya dengan kuat.

"Kau mau kita mengikutinya?" Arga bertanya, tahu bahwa Darren pasti ingin setiap gerakan gadis itu diawasi.

Hernan menyeringai kecil. "Kau tahu jawabannya."

Mobil hitam itu perlahan mulai bergerak, mengikuti Aluna dari kejauhan.

© Ruang Kerja Darren : Dimulainya Peringatan ©

Darren menatap layar ponselnya, membaca pesan dari Hernan.

"Aluna pergi sendirian. Yasmin terus saja mengganggunya."

Matanya menyipit. Jarinya bergerak mengetik perintah.

"Kita mulai dari yang kecil. Pastikan Yasmin mengerti batasannya."

Hernan menerima pesan itu dan tersenyum miring.

"Kau dengar itu?" katanya pada Arga. "Bos ingin memberi peringatan."

Arga tidak bertanya lebih lanjut. Ia sudah terbiasa dengan cara Darren menyelesaikan masalah.

© Di Taman : Aluna dan Ketakutan yang Menghantuinya ©

Aluna duduk di bangku taman, memeluk lututnya. Udara sore berhembus lembut, tetapi perasaannya tetap kacau.

"Siapa yang mengirim hadiah-hadiah itu? Dan kenapa pria bertopeng itu membiarkanku hidup?"

Ia masih bisa merasakan sentuhan bibir pria itu di pipinya, begitu kontras dengan darah yang menetes di gang semalam.Sebuah suara langkah mendekat. Aluna mendongak, sedikit tegang, tetapi lega saat melihat Fino berdiri di sana.

"Kau kenapa tiba-tiba pergi?" tanyanya lembut.

Aluna menggigit bibirnya. "Aku hanya... merasa gelisah."

Fino duduk di sebelahnya, tidak bertanya lebih lanjut, hanya menatapnya dengan tatapan kakak yang penuh perhatian.

"Kalau ada apa-apa, jangan pendam sendiri, ya?" ucapnya.

Aluna tersenyum kecil, meski kegelisahannya masih ada.

© Malam Hari : Peringatan untuk Yasmin ©

Yasmin berjalan pulang sendirian setelah toko tutup. Jalanan sudah mulai sepi.Tiba-tiba, lampu di sekitarnya berkedip. Suasana menjadi lebih gelap.Langkahnya melambat. Perasaan tidak nyaman menjalar di punggungnya.

Tepat saat ia akan berbalik, seseorang menariknya ke gang sempit.

"AAK...."

Sebuah tangan kasar membungkam mulutnya. Yasmin meronta, tetapi tubuhnya langsung dibenturkan ke dinding dengan keras.

Napasnya terengah, matanya melebar ketakutan saat melihat dua pria berjas hitam mengenakan penutup wajah berdiri di depannya.

Salah satu dari mereka, Hernan, menyeringai dingin.

"Kau terlalu berisik, Yasmin."

"Siapa kalian?!" Yasmin mencoba memberontak, tetapi pegangan pria yang satunya lebih kuat.

"Kami hanya ingin memastikan kau belajar sesuatu."

Tanpa peringatan, Hernan meraih pisau kecil dari sakunya.

Mata Yasmin membulat, ketakutan menjalari tubuhnya.

"Apa yang kalian...."

Pisau itu bergerak cepat. Bukan ke tubuhnya, tetapi ke rambut panjangnya yang ia banggakan. Dalam sekejap, sejumput rambutnya dipotong kasar dan jatuh ke tanah.

"Peringatan kecil," bisik Hernan dengan suara mengancam.

Yasmin ingin menjerit, tetapi ketakutan membuat suaranya hilang.

"Lain kali, hati-hati dengan kata-katamu," tambah Hernan sebelum melepaskannya dengan kasar.

Yasmin tersungkur ke tanah, tangannya gemetar saat melihat rambutnya yang terpotong.

Sementara dua pria itu berjalan pergi, Yasmin menggigit bibirnya keras-keras.

Amarah dan ketakutan  membuncah dalam dirinya.Ia tak mengerti mengapa dua pria tadi berbuat hal mengerikan padanya.Dan apa maksud keduanya dengan 'peringatan kecil'? Untuk apa dan mengapa ?.

© Ruang Kerja Darren : Kepuasan Sang Pemilik ©

Darren menerima laporan dari Hernan dan tersenyum tipis.

"Yasmin tidak akan mengganggu Aluna lagi untuk sementara."

Tatapannya kembali pada foto Aluna di layar laptopnya.

"My baby chubby... milikku."

Gadis kecil berpipi chubby itu tidak tahu apa pun. Tidak tahu bahwa sejak semalam, ia sudah berada dalam genggamannya. Tidak tahu bahwa pria bertopeng yang membuatnya ketakutan… adalah dirinya.

Darren tersenyum kecil.Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, membiarkan pikirannya dipenuhi oleh gadis bermata polos itu.

Hari ini, ia sudah memberikan peringatan kecil.

Tapi jika ada yang berani lagi menyentuh Aluna, maka kali ini... tidak akan ada peringatan kedua.

© Kamar Kos Aluna: Hadiah yang Menghantui©

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aluna masih duduk di kasurnya, memandangi sebuah kotak besar yang berada di atas meja kecil di sudut kamar. Itu adalah kotak hadiah berisi sneakers mewah yang tadi pagi ia temukan di depan pintu kosnya.

Aluna menggigit bibirnya. Tangannya mencengkeram bantal di pangkuannya, dadanya berdebar tidak nyaman. Ini bukan pertama kalinya ia menerima hadiah aneh.

Tapi kali ini... hadiah itu terasa lebih mengerikan.

"Siapa yang mengirim ini?" bisiknya pelan, menatap kotak itu dengan curiga. "Dan kenapa... kenapa aku merasa dia memperhatikan setiap gerakanku?"

Wajahnya sedikit memucat saat pikirannya kembali ke kejadian semalam. Pria bertopeng. Darah. Pembunuhan. Bibir pria itu yang menyentuh pipinya sebelum ia pergi.

Aluna mengguncang kepalanya, mencoba mengusir ingatan itu.

"Tidak, dia tidak akan mencari ku, kan,?"gumamnya, seolah ingin meyakinkan diri sendiri. " Bagaimana kalau dia mengawasi aku ? Bagaimana kalau aku bertemu dengannya di luar sana ..,?" gumam Aluna dengan lirih penuh tanya.

Aluna menelan ludah, ketakutan semakin menelannya. Ia bahkan tidak tahu wajah pria itu karena tertutup topeng. Tapi... entah kenapa, ada firasat buruk yang membuatnya semakin takut.

Tok... tok... tok.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu menggema di kamarnya.Jantung Aluna seakan berhenti berdetak.Ia menegang, kedua tangannya menggenggam erat bantalnya. Siapa yang datang malam-malam begini? Apa mungkin... pria bertopeng itu?

Tidak... tidak mungkin... kan?

Tok... tok... tok...

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih pelan, seolah menunggu Aluna membuka pintu.

Dengan napas yang masih tidak beraturan, Aluna berdiri dari kasurnya dan berjalan mendekati pintu. Tangannya sedikit gemetar saat meraih gagang pintu.

Satu... dua... tiga...

Perlahan, ia membukanya.

"Surprise!"

Aluna hampir menjerit, tapi ia segera mengenali wajah seseorang yang berdiri di hadapannya.

"Kak Reta?"

Tetangga kosnya itu berdiri sambil mengangkat sebuah kotak martabak dan laptop di tangan lainnya.

"Wajahmu kenapa? Kayak lihat hantu aja," tanya Reta dengan ekspresi bingung.

Aluna menghela napas panjang, merasa sedikit lega.

"Aku kira siapa," gumamnya.

"Siapa lagi? Tukang kredit?" ledek Reta sambil masuk ke kamar tanpa permisi. Ia meletakkan laptopnya di atas meja dan langsung duduk di kasur Aluna. "Aku bawa martabak. Sekalian nonton drakor. Kamu mau?"

Aluna menatap Reta yang tampak santai, lalu mengangguk pelan.Mungkin dengan menonton bersama, pikirannya bisa teralihkan dari ketakutannya... untuk sementara.

© Ruang Pribadi Darren: Obsesi yang Menelan Akal Sehat©

Darren berdiri di tengah ruang pribadinya, menatap dinding yang kini dipenuhi foto-foto Aluna.Setiap sudut wajahnya. Setiap ekspresi polosnya. Setiap momen di mana gadis itu tampak tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi milik seseorang.

Miliknya.

Darren mengulurkan tangan, mengelus salah satu foto Aluna. Kemudian, tanpa ragu, ia menempelkan bibirnya ke foto itu.

"My baby chubby," bisiknya pelan. "Kau bahkan tidak tahu, kan? Aku sudah memiliki dirimu."

Ia menutup matanya sejenak, membiarkan aroma khayalannya membaur dengan obsesinya. Namun, pikirannya kembali pada satu hal yang masih mengganggunya.

Yasmin.

Perempuan bodoh itu berani mengambil makanan yang ia kirim untuk Aluna.

Darren mengertakkan rahangnya, matanya menatap gelap.

Hernan dan Arga sudah memberinya peringatan kecil. Tapi... Darren tidak puas.

Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Hernan.

"Bos?" Hernan menjawab dengan nada santai.

"Aku ingin kau melanjutkan pelajaran untuk Yasmin," ujar Darren dingin. "Tidak hanya dia... tapi keluarganya juga."

Di ujung telepon, Hernan menyeringai.

"Tentu, Bos. Akan sangat menyenangkan."

© Kamar Yasmin: Ketakutan dan Kebencian yang Beradu©

Yasmin menatap pantulan dirinya di cermin, jari-jarinya menyentuh bagian rambutnya yang telah terpotong.Ia masih bisa merasakan ketakutan itu. Tatapan dingin pria bertopeng tadi. Nada suaranya yang mengancam.

"Kau terlalu berisik, Yasmin."

Yasmin mengepalkan tangan.Siapa mereka? Kenapa mereka melakukan ini padanya?Dan... apa maksud mereka ketika mengatakan bahwa dia telah berani menyentuh sesuatu yang bukan miliknya? Yasmin menggigit bibir, lalu tiba-tiba ia tersenyum miring.

Apa mungkin... ini ada hubungannya dengan Aluna?Yasmin bangkit berdiri, matanya menyala penuh kebencian.

Aluna.

Gadis polos menyebalkan itu.Semua orang di toko buku lebih memperhatikannya. Bahkan pelanggan lebih sering bertanya tentang Aluna dibanding dirinya, padahal ia sudah bekerja lebih lama.

Dan sekarang, Fino juga lebih peduli padanya.

Yasmin mengepalkan tangan.Dia tidak akan membiarkan Aluna terus mendapat perhatian.

Satu-satunya cara adalah menyingkirkan Aluna dari toko buku.Senyum licik terukir di wajahnya.Dia sudah punya rencana.

© Malam Teror: Kegelapan yang Mengintai©

Hernan dan Arga berdiri di depan rumah Yasmin, menikmati udara malam yang dingin.

"Kita buat ini lebih menarik," kata Hernan sambil memainkan pisau kecil di tangannya.

Arga tertawa pelan. "Aku sudah menyiapkan kejutan untuk keluarganya. Aku ingin tahu bagaimana wajah Yasmin nanti."

Hernan melirik rumah itu.Lampu-lampu masih menyala. Mereka bisa melihat bayangan Yasmin yang tampak berbicara dengan seseorang,mungkin orang tuanya.

"Sebaiknya kita mulai," bisik Hernan.

Dalam sekejap, mereka bergerak.

Arga mengambil sebotol cairan dan menyiramkannya ke pintu depan. Sementara Hernan mengambil secarik kertas dan mulai menuliskan sesuatu.

"Sentuhan terakhir," kata Hernan, menyelipkan kertas itu ke pintu.

Mereka kemudian mundur, menikmati hasil kerja mereka.Beberapa menit kemudian, Yasmin keluar untuk membuang sampah.

Begitu matanya melihat pintu rumahnya, napasnya tercekat.

Ada tulisan besar di sana.

"Jangan sentuh yang bukan milikmu. Ini peringatan terakhir."

Dan tepat di bawah tulisan itu... ada bangkai seekor burung, lehernya patah dengan darah masih menetes.Yasmin terjatuh ke tanah, tangannya menutup mulutnya yang gemetar.

Ini... bukan sekedar ancaman.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!