NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Orion, Fallen the Goddess of Death

Soyeon melesat sangat cepat dari balkon Istana, melewati mereka berdua. Ledakan itu tidak melukainya, hanya membuatnya semakin marah. Matanya yang merah menyala tertuju lurus ke targetnya: Tara, Veronica, dan terutama Ikaeda.

"Kau tidak bisa menghindariku!" teriak Soyeon, suaranya penuh amarah.

Pria berambut merah dan Ayunda sadar bahwa tujuan Soyeon telah bergeser.

"LARI! LARI, IKAEDA! VERONICA!" teriak Pria berambut merah itu dengan urgensi yang nyata, tanpa ada sisa-sisa kemalasan dengan dirinya terikat oleh benang-benang merah Soyeon.

"PERGI DARI SANA!" teriak Ayunda, memasang busurnya lagi, mencoba menembak Soyeon yang bergerak seperti kilat.

.

.

.

.

.

.

Peringatan mendesak dari Pria berambut merah dan Ayunda baru saja sampai ke telinga Ikaeda dan Veronica, ketika Soyeon sudah tiba. Sosoknya melesat bak bayangan, amarahnya memancar.

Soyeon mengulurkan tangan, siap mencengkeram Ikaeda—umpan utamanya—atau Veronica, yang merupakan gangguan tak terduga.

Tiba-tiba, Tara, dengan sisa-sisa tenaga yang ia kumpulkan dari dalam dirinya, bertindak. Dengan gerakan yang cepat dan penuh keputusasaan, ia mendorong Veronica dan Ikaeda dengan sekuat tenaga ke samping.

Bruk!

Veronica dan Ikaeda terlempar, terpisah dari Tara yang kini berdiri sendirian, menjadi sasaran yang mudah.

Soyeon tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Pedang tipis berwarna hitam pekat yang entah sejak kapan sudah berada di tangannya, melesat dan menancap lurus ke dada Tara.

Jleb!

Darah merah segar menyembur. Veronica dan Ikaeda yang terkejut melihat kejadian itu, hanya bisa menatap ngeri.

"Tara!" teriak Veronica, mencoba merangkak kembali.

Soyeon tidak menunjukkan emosi, ia justru menyeringai puas. Ia memandang Tara yang kini terbatuk-batuk, darah keluar dari bibirnya. Dengan dingin, Soyeon memutar dan mendalamkan tusukannya.

"Kau tidak perlu terkejut, Veronica," ujar Soyeon dengan nada tenang dan kejam, suaranya pelan di tengah pertarungan yang masih berlangsung di belakangnya. "Meskipun Ikaeda adalah keturunan Sang Dewi, ia tidak memiliki kekuatan ilahi yang murni. Sementara kau, Veronica, hanyalah kawan lama yang sentimental."

Soyeon mencondongkan tubuhnya ke Tara, matanya yang merah menyala menatap Tara.

"Sejak awal," bisik Soyeon, "Aku memang mengincar dirimu, Tara. Kau adalah kawan setia Sang Dewi Ibu, seorang pejuang murni yang jiwanya telah disentuh oleh Pohon Kehidupan. Kau adalah benang emas yang hilang dari jaringanku. Darahmu... jiwamu... adalah segel terakhir yang kubutuhkan untuk ritual agung ini."

Tubuh Tara limbung, rasa sakitnya tak terperi, tetapi mendengar kebenaran yang keji itu, memicu percikan terakhir kekuatannya.

Dengan sisa tenaga yang luar biasa, Tara mengangkat tangan kanannya yang berlumuran darah. Kekuatan emosi murni yang ia tahan sejak dikendalikan, keluar dalam satu gerakan.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Soyeon. Itu adalah tamparan yang lemah, tetapi merupakan manifestasi emosi yang kuat.

Tara menatap mata Soyeon, air mata mengalir bersama darah di wajahnya.

"Aku... Aku... tidak akan pernah... membiarkanmu menang, dasar Makhluk Keji!" desis Tara, kata-katanya penuh kebencian dan kelelahan. "Aku... memilih Veronica... Aku memilih Araya... Aku memilih K... Kehidupan!"

Setelah mengeluarkan semua yang ia tahan, tubuh Tara menjadi lemas sepenuhnya, pedang Soyeon masih menancap di dadanya. Veronica dan Ikaeda, menyaksikan pengorbanan yang menyakitkan itu, merasa jiwa mereka tercabik-cabik.

.

.

.

Melihat pedang hitam Soyeon menancap dalam di dada Tara, dan mendengar bisikan perpisahan yang penuh kepahitan dari sahabatnya, Veronica tersentak hebat. Rasa sakit dan kengerian membanjiri dirinya.

Saat itu juga, di tengah hiruk pikuk pertempuran dan jeritan keputusasaan, sebuah memori dari pertemuan mereka di kantor Araya melintas cepat di benak Veronica.

.

.

.

.

.

.

.

Kilasan Balik:

Setelah Ikaeda keluar dari ruangan, Araya menatap Veronica dengan pandangan yang serius, jauh dari candaan khasnya.

"Veronica," suara Araya kala itu sangat rendah dan penuh kehati-hatian. "Aku ingin menanyakan ini kepadamu, sebagai seorang sahabat, bukan sebagai Pemimpin Benua."

Veronica mengingat dirinya mengangguk, siap mendengarkan.

Araya kemudian bertanya, "Apakah engkau... benar-benar ingin menyelamatkan Tara?"

Pertanyaan itu terasa tajam, menusuk jauh ke dalam hati Veronica.

Araya melanjutkan dengan nada yang lebih berat, "Aku sudah menyelidiki kekuatan di Orion. Entitas yang menguasai tempat itu, Soyeon, menggunakan jaringan darah yang mengerikan. Setelah seseorang terjerat dalam benang-benangnya, tidak ada jalan kembali."

"Sekalipun Tara berhasil lolos dari kendalinya," lanjut Araya, matanya menunjukkan rasa sakit. "Dia akan menjadi terkontaminasi. Jiwanya akan tercemar. Dia akan terus-menerus sakit-sakitan, kekuatannya akan meredup, dan umurnya akan sangat singkat."

Araya menatap Veronica, memberikan skenario terburuk yang ia sembunyikan dari Ikaeda. "Dan skenario terburuknya, sisa-sisa energi gelap itu akan mengambil alih dirinya. Tara mungkin akan berubah menjadi... iblis yang hilang kendali, makhluk yang akan mengancam Benua yang telah kita lindungi."

"Apakah engkau siap menerima konsekuensi itu, Veronica?" tanya Araya, menuntut kejujuran penuh.

Veronica mengingat dirinya menjawab dengan tegas, meskipun hatinya terasa sakit. "Ya, Araya. Aku harus mencobanya. Dia adalah sahabatku. Apapun yang terjadi, aku tidak bisa meninggalkannya."

.

.

.

.

.

Kembali ke Masa Kini:

Kini, Tara terbatuk, darah mengalir dari luka yang fatal. Pengorbanannya untuk mendorong mereka menjauh telah menggenapi skenario terburuk Araya, hanya saja dengan kematian yang jauh lebih cepat.

Veronica tersentak dari ingatannya. Sebuah teriakan pahit lolos dari bibirnya. Ia merangkak ke samping Tara, mengabaikan ancaman Soyeon yang kini menarik pedangnya keluar dari tubuh sahabatnya.

"Tara! Tidak! Kau... kau sudah tahu, kan?" ratap Veronica, air matanya kini mengalir deras, membasahi wajah Tara yang dingin. "Kau tahu risikonya, tapi kau tetap melakukan ini!"

Soyeon berdiri tegak, memandang Tara yang terkapar. "Pengorbanan yang sia-sia," ejeknya dingin. Ia menjentikkan jarinya, dan benang merah yang sangat tebal melesat menuju tubuh Tara yang sekarat, siap mengikat dan menyerap jiwanya untuk ritual.

"Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu mengambilnya!" teriak Veronica. Ia berdiri di atas tubuh Tara, mengarahkan pedangnya yang gemetar ke arah Soyeon.

Ikaeda, menyaksikan keputusasaan Veronica, merasakan kemarahan yang membakar. Ia bukan hanya menyaksikan kematian Tara, tetapi juga melihat kehancuran batin mentor sekaligus teman Ibunya. Tekanan Soyeon kini terasa tidak penting. Yang penting adalah, ia harus melindungi apa yang tersisa.

.

.

.

.

.

Kengerian yang melanda Veronica dan Ikaeda seketika berubah menjadi rasa sakit yang membakar.

Tepat saat Veronica berdiri di atas tubuh Tara, dan Ikaeda bersiap maju, benang-benang Soyeon yang sangat padat dan cepat melesat, mengikat kedua tubuh mereka dengan erat. Benang-benang itu menancap di kulit mereka, dan Soyeon segera berusaha menarik energi kehidupan mereka.

Namun, benang-benang itu hanya mencapai batas tertentu. Tubuh Ikaeda dan Veronica diselimuti cahaya keemasan yang sangat tipis dan samar, sebuah perisai tak terlihat.

Soyeon mendengus kecewa. "Perisai dari Sang Dewi Ibu... Sebuah perlindungan yang merepotkan. Dia benar-benar menyayangi putranya."

Meskipun terikat dan merasakan sakit yang menusuk, Ikaeda dan Veronica tidak kehilangan kesadaran atau energi mereka. Kekuatan Araya melindungi mereka dari penyerapan jiwa.

Soyeon tidak membuang waktu. Jika ia tidak bisa mengambil mangsa barunya, ia akan menggunakan apa yang tersisa.

"Baiklah," ujar Soyeon, matanya memancarkan kegilaan. "Jika aku tidak bisa mengambilmu, aku akan mengambil apa yang tersisa!"

Soyeon mengangkat kedua tangannya ke langit. Benang-benang darah di seluruh kota, yang terikat pada setiap bangunan, kini mulai berdenyut dan menarik energi dengan kecepatan yang mengerikan.

Seketika, suara pecahan daging yang serentak terdengar dari setiap rumah dan bangunan di sekeliling mereka. Suara itu begitu nyaring, memuakkan, dan melanda dari segala arah. Itu adalah suara jiwa dan raga penduduk kota yang diserap habis hingga ke partikel terakhir.

Jaringan benang merah Soyeon menjadi sangat tebal, bersinar dengan warna merah gelap yang menakutkan, menunjukkan peningkatan kekuatan yang besar.

Ayunda yang masih berjuang melawan serangan benang, juga terikat sesaat. Ayunda hanya bisa melihat dengan merinding, menyaksikan pemandangan mengerikan itu.

"Ini... Ini gila," gumam Ayunda, suaranya tercekat.

Perhatian Soyeon kini kembali kepada target utama ritualnya yang sekarat: Tara.

Benang tebal yang Soyeon luncurkan tadi kini menyambar Tara, yang hanya bisa menatap Veronica dengan senyum tipis di wajahnya. Senyum itu adalah senyum terima kasih dan perpisahan, senyum seorang sahabat yang memilih takdirnya sendiri.

.

.

.

.

.

.

"Selamat tinggal, Veronica..." bisik Tara, kata terakhirnya sebelum benang itu sepenuhnya melingkari tubuhnya.

Pecah.

Dalam sekejap mata, tubuh Tara hancur dan pecah, terserap sepenuhnya oleh benang-benang Soyeon. Tidak ada sisa, bahkan tulangnya pun ikut lenyap, meninggalkan genangan darah yang dengan cepat diserap oleh benang-benang di bawahnya.

Veronica berteriak histeris, teriakan yang memilukan. Ia meronta dalam ikatan benang, air mata dan kesedihan membanjiri ekspresinya. Pengorbanan Tara, yang ia saksikan secara langsung, menghancurkan hatinya.

Ikaeda, yang terikat di sampingnya, merasakan amarah yang dingin menyelimuti dirinya. Ia melihat kengerian absolut, dan menyaksikan kehancuran yang tak termaafkan.

Soyeon tertawa keras, tawa yang penuh kemenangan dan kekejian, bergema di atas alun-alun yang kini dipenuhi bau darah dan kematian.

"Haha! Aku akhirnya mendapatkanmu, Tara! Sekarang, Benua Shirasakura, tunduklah pada Dewi Kematianmu!" seru Soyeon, energinya memuncak.

Soyeon menatap ekspresi Veronica yang hancur dan Ikaeda yang marah.

"Lihatlah dirimu, Putra Sang Dewi," ejek Soyeon, "Hanya bisa menonton saat orang yang kau cintai dan sayangi hancur di depan matamu. Inilah akhir dari Era Kehidupan. Sekarang giliran Era Kematian!"

.

.

.

.

Di tengah tawa kemenangan Soyeon yang membahana, dan saat energi gelapnya memuncak dari penyerapan massal, Ayunda dengan cepat melompat dan menempel di balik sisa tembok batu, menghindari fokus serangan utama. Ia melihat Pria berambut merah itu, yang entah sejak kapan, sudah melepaskan diri dari ikatan benang dan berdiri di dekatnya.

Ayunda berbisik cepat, matanya terpaku pada sosok Soyeon yang kini melayang di atas alun-alun.

"Senior," bisik Ayunda, suaranya dipenuhi ketakutan. "Kekuatan ini... Ini terlalu besar. Kita harus mundur. Kita tidak bisa menghadapinya. Kita harus segera melaporkan ini pada Nyonya Araya."

Pria berambut merah itu, yang kembali pada ekspresi malasnya meskipun dalam situasi paling berbahaya, menatap Ayunda. Pedang-pedang sihirnya kini mengambang tenang di sampingnya.

"Mundur? Melaporkan?" tanya Pria itu, menggeleng pelan. "Kau lihat seberapa cepat dia menyerap seluruh kota? Jika kita mundur sekarang, dia akan menyelesaikan ritualnya sebelum kita mencapai perbatasan kabut."

Ia mengamati Soyeon, yang kini memancarkan aura kehancuran murni, dan kemudian menoleh ke Ikaeda dan Veronica yang terikat.

"Ikuti saja dulu alurnya, Ayunda," ujar Pria berambut merah itu dengan nada tenang yang sangat kontras dengan situasi. "Biarkan dia percaya dia menang. Aku akan mencari celah. Selalu ada celah dalam kesempurnaan. Terlalu banyak kekuatan yang diserap dalam waktu singkat, pasti ada kelemahan dalam menstabilkannya."

Ayunda menatap Seniornya dengan ragu, tetapi ia tahu bahwa ketika Seniornya berbicara dengan ketenangan seperti itu, berarti ia telah menemukan suatu rencana.

"Baik, Senior," jawab Ayunda, merapatkan busurnya. "Aku akan menjagamu dari belakang. Tapi jika kau tidak bertindak cepat, kita semua akan menjadi abu."

Soyeon tidak memperhatikan bisikan mereka. Seluruh fokusnya adalah pada proses kebangkitannya. Energi dari Tara dan seluruh penduduk Orion kini mengalir ke dalam dirinya, membuat benang-benang darahnya berdenyut dengan kekuatan baru.

Soyeon mengulurkan tangannya ke atas, ke arah Istana. "Benua Shirasakura, kini kau terikat padaku! Aku adalah penguasa barumu!"

Di bawah, Ikaeda, meskipun terikat, menatap Soyeon dengan tatapan penuh kebencian dan kemarahan. Ia mengabaikan rasa sakit dari benang yang mengikatnya, dan memfokuskan pikirannya pada satu hal: membalas kematian Tara.

Sementara itu, Pria berambut merah itu tersenyum tipis. Ia menutup matanya, sihir analisisnya bekerja keras, memindai setiap fluktuasi energi Soyeon, mencari ketidakstabilan sekecil apa pun di tengah kekuatannya yang tak terbatas. Ia menunggu waktu yang tepat.

.

.

.

.

.

.

.

Gelombang energi hitam dan merah memancar dari Soyeon, merobek atmosfer kota yang telah terkontaminasi. Sosoknya di tengah alun-alun mulai berubah, memancarkan cahaya gelap yang membutakan. Benang-benang darah di sekelilingnya menarik diri, menyatu dengannya, menjadikannya inti dari semua kengerian.

Dalam sekejap mata, Soyeon bangkit.

Wujud fananya yang anggun hilang, digantikan oleh sosok yang sepenuhnya ilahi. Ia kini melayang di atas reruntuhan kota, diselimuti gaun putih panjang yang kontras dengan latar belakang Istana yang gelap. Rambutnya yang hitam berubah menjadi putih pucat, memanjang, dan di tangannya ia memegang sebuah sabit besar berwarna perak—lambang mutlak dari kematian. Ia kini adalah Dewi Kematian yang sempurna.

Aura yang dipancarkannya kini tidak hanya melumpuhkan, tetapi juga mematikan. Rasa dingin yang menusuk tulang berganti menjadi kehampaan yang terasa menarik jiwa keluar dari tubuh.

Veronica, Ikaeda, dan Ayunda, yang sebelumnya merasakan ketakutan, kini melongo dengan kengerian yang berlipat ganda. Rasa pasrah dan putus asa terasa begitu nyata, membebani udara di sekitar mereka. Kematian terasa tidak hanya dekat, tetapi juga tak terhindarkan.

Veronica, yang terikat dan menyaksikan wujud Tara hancur, hanya bisa menundukkan kepala. Ia telah gagal.

Ikaeda, meskipun dilindungi perisai Ibunya, merasakan jiwanya menciut di hadapan kekuatan murni ini. Pedangnya terasa seperti mainan.

Pria berambut merah itu, sang Senior, masih bersembunyi di dalam kegelapan yang tersisa, matanya setengah tertutup, memantau setiap denyutan energi dari Soyeon. Ia menunggu, dengan kesabaran seorang pemburu yang mengetahui targetnya memiliki kelemahan yang tersembunyi.

Soyeon mengulurkan tangannya yang memegang sabit. Suaranya, kini bergema dengan lembut namun dipenuhi dominasi yang kuat, memantul di seluruh kota, menggetarkan fondasi Istana.

"Dunia baru telah lahir. Aku adalah Dewi Kematian. Tidak ada yang bisa menentang kehendakku. Era kehidupan yang dipimpin oleh Araya telah berakhir. Kini, hanya ada kepatuhan dan keabadian dalam ketiadaan."

Di tengah suasana mencekam itu, Ayunda, yang terikat di samping Ikaeda, bergumam pelan, mencoba mengalihkan ketakutannya dengan hal-hal remeh.

"Padahal... seharusnya nama Benua kita itu Shirayuki Sakura," bisik Ayunda, matanya masih menatap ke langit. "Bukan hanya 'Shirasakura' saja. Dia menyebut Benua kita salah. Astaga. Araya pasti akan marah besar jika tahu nama Benua yang diperjuangkan dengan susah payah olehnya diucapkan dengan tidak benar oleh musuhnya!"

Ironi kecil itu—bahwa di ambang kiamat, Ayunda masih memikirkan etika penamaan Benua—adalah upaya terakhir mereka untuk mempertahankan kewarasan.

Soyeon mendengus mendengar bisikan itu. "Nama-nama fana tidak berarti apa-apa bagi seorang Dewi. Kau semua hanyalah debu yang akan kususun menjadi takdir baru."

Ia mengangkat sabitnya, bersiap untuk mengakhiri drama kecil ini. "Kini, saksikan bagaimana aku mengklaim hadiah utamaku: jiwa dari Putra Sang Dewi."

.

.

.

.

.

.

.

Melihat sabitnya terangkat, Soyeon mengaktifkan sihirnya sepenuhnya. Kekuatan ilahi murni dari Dewi Kematian tidak hanya menyerang fisik, tetapi juga pikiran dan jiwa.

Veronica, Ikaeda, dan Ayunda, yang terikat dan menyaksikan wujud Soyeon yang mengerikan, seketika merasakan pandangan mereka menjadi aneh. Lingkungan di sekitar mereka berputar dan terdistorsi. Realitas menghilang, digantikan oleh ilusi yang diciptakan oleh Soyeon.

Di hadapan mereka, sabit perak di tangan Soyeon tidak lagi tampak sebesar senjata biasa. Sabit itu membesar, menjulang tinggi hingga mencapai langit yang gelap, ukurannya kini seperti sebuah gerbang kehancuran. Bayangan sabit raksasa itu menyelimuti mereka, menenggelamkan mereka dalam kegelapan mutlak.

Mereka bertiga terjebak dalam kengerian yang dibuat oleh Soyeon. Dalam ilusi itu, mereka melihat sabit raksasa itu meluncur ke bawah, membidik leher mereka, siap memenggal kepala mereka bertiga secara serentak. Ini adalah serangan mental dan spiritual terakhir Soyeon, yang bertujuan untuk menghancurkan kehendak mereka sebelum membunuh tubuh mereka.

Veronica berteriak tanpa suara dalam ilusi itu. Ikaeda mencengkeram benang darah yang mengikatnya dengan putus asa, wajahnya dipenuhi keringat dingin. Ayunda berusaha melepaskan diri, namun tubuhnya terasa seperti batu.

Swoosh!

Sabit raksasa itu memenggal kepala mereka dalam ilusi itu.

Dan kemudian, kegelapan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mereka bertiga pingsan seketika, jatuh tak sadarkan diri di atas bebatuan alun-alun. Meskipun pikiran dan kehendak mereka hancur, tubuh mereka tetap utuh.

Soyeon mendengus, sedikit kesal. "Perisai itu lagi. Kekuatan Araya melindungi jiwa-jiwa fana ini."

Ia melihat tubuh-tubuh yang tak sadarkan diri itu. Benang darahnya masih mengikat, tetapi energi mereka tidak dapat ditarik. Dengan kekuatan ilahi Araya yang melindungi setiap penduduk Benua, Soyeon tidak bisa begitu saja menyerap jiwa mereka.

"Tidak masalah," gumam Soyeon, suaranya tenang. "Meskipun aku tidak bisa mengambil jiwa mereka, aku bisa mengklaim hadiah utamaku."

Soyeon mengarahkan sabitnya ke Ikaeda yang pingsan. Tubuh Putra Sang Dewi itu kini menjadi piala yang Soyeon inginkan, untuk dipajang sebagai bukti kemenangannya dan digunakan untuk memancing Sang Dewi Ibu keluar dari persembunyian.

Di balik sisa tembok, Pria berambut merah itu, yang sedari tadi menunggu dengan sabar, membuka matanya sepenuhnya. Matanya kini tidak lagi menunjukkan kemalasan, melainkan perhitungan yang tajam dan dingin.

"Sekarang," bisiknya pelan, senyum tipis terukir di bibirnya. "Momen kelemahanmu, Soyeon."

Meskipun Soyeon telah bangkit dan kekuatannya tak terukur, Pria itu telah menemukan celahnya: puncak ketenangan setelah serangan brutal. Saat dia fokus pada klaim kemenangannya, pertahanan sihirnya yang paling kompleks akan sedikit terbuka. Waktunya telah tiba.

.

.

.

.

.

.

.

Soyeon menunduk, matanya yang merah bercahaya menatap Pria berambut merah yang kini keluar dari persembunyiannya. Aura kemenangannya sedikit terusik oleh keberanian sosok fana itu.

"Aku terlalu ceroboh," ujar Soyeon, suaranya lembut namun dingin. "Aku membiarkan tikus merah berkeliaran terlalu lama. Kau mengganggu klaim kemenanganku."

Pria berambut merah itu hanya tersenyum tipis sambil mengenakan syal hitamnya, senyum yang santai namun penuh percaya diri, membalas tatapan Soyeon.

...

...

"Tikus punya waktu yang lebih baik untuk menyerang daripada singa," balas Pria itu. "Dan aku selalu suka momen-momen yang ceroboh."

Pria itu kemudian merentangkan tangan kanannya ke depan. Sebuah kilatan energi berkumpul di udara, dan dalam sekejap, sebuah Katana yang indah dengan bilah yang tampak kuno dan bercahaya biru-keemasan muncul di genggamannya. Energi yang dipancarkan dari pedang itu sangat kontras dengan energi gelap di sekeliling.

"Sekarang," kata Pria berambut merah itu, mencengkeram erat gagang pedangnya. Energi yang sebelumnya ia simpan dan fokuskan kini dilepaskan. Kekuatan penuhnya, yang digunakan untuk menganalisis dan menembakkan Busur Phoenix, kini telah kembali sepenuhnya dan terkonsentrasi pada dirinya sendiri.

"Aku perkenalkan diriku sekali lagi," ujar Pria itu. "Nama pedang ini adalah Sayaka. Dan aku akan menggunakannya untuk menendangmu kembali ke neraka asalku."

Syuut!

Dengan kecepatan yang tak terduga, Pria berambut merah itu melesat maju, mengabaikan benang-benang Soyeon yang masih tersisa, dan langsung memulai pertarungan satu lawan satu.

Dentang!

Sabit perak Soyeon beradu dengan Katana Sayaka. Benturan itu menghasilkan gelombang kejut yang merobek alun-alun, dan menyebabkan ikatan benang pada Veronica, Ikaeda, dan Ayunda terlepas.

Soyeon terdorong mundur satu langkah. Matanya yang bercahaya menunjukkan keterkejutan yang nyata. "Mustahil! Kau... kau bisa mengimbangiku? Aku adalah Dewi, dan kau hanyalah fana! Tidak ada manusia yang bisa menahan serangan Sabit Kematianku!"

Pria berambut merah itu tersanjung. Ia menyeringai lebar, sebuah ekspresi yang jarang Ikaeda lihat. "Aku tersanjung mendengarmu menyebutku 'hanya manusia biasa'. Itu adalah pujian terbaik yang bisa kuterima hari ini, Nona Dewi."

Soyeon semakin bingung dan marah. Ia menyerang lagi dengan kecepatan dan kekuatan dewa, tetapi Pria itu menangkisnya dengan ketenangan ahli pedang yang sempurna.

"Siapa kau?!" teriak Soyeon, nadanya penuh tuntutan. "Kekuatanmu bukan berasal dari dunia ini! Kau bukan manusia, kau bukan dewa... Lantas siapa kau sebenarnya?!"

Pria berambut merah itu melompat mundur setelah serangan terakhir. Ia membersihkan debu dari jubah hitamnya dengan sikap acuh tak acuh.

"Kau tidak perlu tahu, Nona Soyeon," jawabnya dengan suara malas, namun matanya memancarkan peringatan serius. "Kita bertemu dalam kondisi yang tidak menyenangkan, dan aku yakin kita akan berpisah lagi segera setelah aku menyelesaikan tugasku."

"Anggap saja aku... seseorang yang kebetulan lewat, yang diperintahkan oleh Pemimpin Benua untuk membersihkan 'tikus-tikus' yang mengganggu taman bermain putranya."

Di belakang, Ikaeda, Veronica, dan Ayunda yang kini bebas, hanya bisa melihat pertarungan dua kekuatan yang jauh melampaui pemahaman mereka. Mereka tahu, Senior mereka, yang selalu tampak malas dan mengeluh, kini sedang berjuang dengan seluruh kekuatan terbesarnya untuk mempertahankan dunia mereka.

.

.

.

.

.

.

Kelegaan karena terlepas dari ikatan benang segera digantikan oleh rasa pusing yang hebat bagi Ikaeda, efek samping dari serangan ilusi Soyeon. Ia harus bersandar pada tembok yang tersisa, mencoba menstabilkan dirinya.

Veronica terduduk lemas di tanah, pandangannya kosong. Kematian Tara dan trauma ilusi Soyeon telah menguras habis kekuatannya, baik fisik maupun emosi.

Ayunda, meskipun juga terguncang, segera memfokuskan dirinya kembali pada pertarungan. Ia menganalisis setiap gerakan Seniornya yang beradu dengan Soyeon.

"Gerakannya gesit, tekniknya sempurna," gumam Ayunda pada dirinya sendiri. "Tapi... mengapa dia tidak mengakhiri ini? Dia terlihat... dia seperti tidak serius."

Ikaeda, yang mulai pulih, menimpali dengan suara yang masih sedikit serak. "Memang. Dia hanya menganggap ini... latihan."

Ayunda menoleh, tidak percaya. "Latihan? Ini adalah pertempuran melawan entitas setingkat dewa! Senior sedang bertarung dengan kekuatan penuhnya, Ikaeda!"

Ikaeda tersenyum tipis, sebuah senyum yang mengandung pemahaman yang dalam tentang Seniornya. "Kau tidak tahu kemampuan penuhnya, Ayunda. Percayalah padaku. Saat ini, dia hanya mengeluarkan sekitar lima persen dari kekuatan sejatinya."

Veronica, yang mendengar angka itu, mengangkat kepalanya dengan ekspresi terkejut. "Lima persen? Itu tidak mungkin. Lima persen dari kekuatannya mampu menandingi seorang Dewi yang baru bangkit?"

"Lihatlah," ujar Ikaeda, menunjuk ke arena pertarungan di mana Pria berambut merah itu berputar dengan gesit. "Dia tidak menggunakan sihir masif, dia tidak tampak kelelahan, dan dia terus membalas ejekan Soyeon. Dia mempermainkan Soyeon."

Di tengah pertarungan, Pria berambut merah itu, dengan Sayaka, bergerak seperti bayangan. Katana itu berkelebat, menangkis serangan sabit dan memotong udara. Soyeon, dengan wujud dewinya yang baru, mulai kewalahan. Ia tidak menduga akan ada fana—atau apa pun pria itu—yang bisa mengimbangi kekuatannya yang telah berlipat ganda.

"Kau berani menguji kesabaranku!" teriak Soyeon, amarahnya menyebabkan energi gelap dan benang darah memancar lebih banyak lagi dari tubuhnya. Jaringan benang yang sudah hancur mulai beregenerasi dengan cepat.

Namun, Pria berambut merah itu menanggapi serangan balik itu dengan mudah. Ia memegang Sayaka dengan kedua tangan, lalu melakukan serangkaian tebasan cepat dan presisi. Setiap tebasan menghasilkan gelombang kejut yang murni, menghalau semuanya dengan mudah. Benang-benang itu putus sebelum mencapai jarak serangannya.

"Kau terlalu berisik, Nona Dewi," ujar Pria berambut merah itu, suaranya terdengar jengkel. "Kau mengganggu ketenangan pertarungan. Bisakah kau bertarung dengan lebih efisien? Aku punya banyak hal lain yang harus kulakukan setelah ini."

Ikaeda menoleh ke Veronica dan Ayunda, senyumnya semakin yakin. "Lihat? Mempermainkannya. Dia sedang mencari titik lemah dalam kebangkitan itu tanpa menghabiskan tenaganya sendiri."

Ayunda, melihat bagaimana Seniornya bermain-main dengan dewi kematian, hanya bisa menarik napas panjang. "Astaga, benar-benar Senior. Aku tidak akan pernah bisa memahami batasnya."

.

.

.

.

.

Pertarungan antara kekuatan ilahi dan keahlian pedang yang melampaui batas terus berlanjut. Pria berambut merah itu, dengan Sayaka, terus mendesak Soyeon, memaksa Dewi Kematian untuk menggunakan energi tanpa henti, mencari celah dalam kebangkitannya.

Soyeon, yang marah karena dipermainkan, melancarkan tebasan sabit yang masif, menciptakan retakan di udara. Pria berambut merah itu menghindarinya dengan gerakan cepat, dan saat Soyeon sedikit lengah untuk menarik kembali sabitnya, Pria itu memanfaatkan sepersekian detik itu.

Ia membuka tangan kirinya yang sebelumnya tersembunyi, mengarahkan telapak tangannya ke lokasi Tara tewas.

"Aku pinjam sebentar," gumam Pria itu.

Di tanah, pedang yang ditinggalkan Tara, yang sempat ia jatuhkan saat didorong, bergetar hebat.

...

...

Pedang itu tiba-tiba memberontak dari tempatnya menancap, terlepas dari cengkeraman sihir Soyeon, dan berputar cepat menuju Pria berambut merah itu.

Tepat saat pedang itu mendarat sempurna di tangan kirinya, Pria itu melompat ke udara, berputar di atas Soyeon.

Soyeon, yang baru menyadari serangan ganda itu, berteriak kaget, "Tidak! Itu pedang—"

Terlambat. Pria berambut merah itu menusukkan pedang Tara, yang kini bersinar redup, langsung ke inti kehidupan di dada Soyeon.

Jleb!

Soyeon tersentak, energinya yang baru saja memuncak seketika meredup. Tubuhnya yang bercahaya putih mulai berkedip.

"Tidak... tidak mungkin!" teriak Soyeon, suaranya dipenuhi rasa tidak percaya yang mutlak. "Aku... aku bahkan belum keluar dari Orion! Aku belum mengklaim Benua itu!"

Pria berambut merah itu menarik pedangnya. Soyeon terhuyung di udara. Wujud dewinya runtuh dengan cepat. Ia terjatuh ke tanah, dan saat tubuhnya menyentuh bebatuan, ia perlahan lenyap, berubah menjadi jutaan bulu burung yang indah berwarna putih bersih, yang kemudian terbang tersapu angin. Sisa-sisa terakhir dari Dewi Kematian telah menghilang.

Pria berambut merah itu mendarat dengan tenang di hadapan Ikaeda, Veronica, dan Ayunda. Ia masih memegang pedang Tara di tangan kirinya, sementara Sayaka disimpan kembali ke dimensi sihirnya.

Veronica, meskipun masih terguncang, menatap pedang yang ia kenali dengan baik. "Pedang Tara..."

Pria berambut merah itu mengangguk, lalu berjalan ke arah Veronica.

"Pedang ini memiliki ikatan yang kuat dengan Tara, kawan lamamu," jelas Pria itu, nadanya kembali santai. "Saat Tara menjadi bagian dari jaringan Soyeon, pedang ini secara otomatis terikat dengan batu kehidupan yang baru dibentuk Soyeon."

Ia menyerahkan pedang itu kepada Veronica. "Tara, dalam pengorbanannya, secara tidak langsung menciptakan senjata pamungkas. Pedang ini memiliki kemampuan untuk memecah batu kehidupan yang menjadi sumber energi Soyeon. Itulah mengapa seranganku berhasil. Pedang ini adalah hadiah terakhir Tara untukmu, Veronica."

Veronica menerima pedang itu dengan tangan gemetar.

Saat itulah, getaran kuat mengguncang tanah. Lingkungan di sekitar mereka mulai beriak, seperti air. Bangunan-bangunan batu gelap, menara-menara suram, dan sisa-sisa benang darah—semuanya mulai memudar dan menghilang.

"Lihat!" seru Ikaeda, terkejut.

Istana Orion yang mengerikan, kota yang penuh dengan ilusi kematian, runtuh menjadi udara tipis. Beberapa detik kemudian, tempat yang mereka pijak berubah total. Kini mereka berdiri di atas pulau tak berpenghuni yang diselimuti kabut. Tidak ada istana, tidak ada kota, hanya tebing curam dan vegetasi jarang.

"Ternyata," gumam Pria berambut merah itu, menatap ke sekeliling. "Seluruh Kerajaan Orion, benang darah, bahkan Istana megah itu... hanyalah ilusi yang sangat kuat yang diciptakan oleh Soyeon. Dia menggunakan sihir ilusi kuno untuk menutupi pulau tak berpenghuni ini, menjadikannya sarang."

Ayunda, yang kini berdiri di samping Seniornya, mendesah. "Jadi, semua kengerian itu, semua pertarungan, hanya di atas pulau karang biasa."

Veronica memandang pedang Tara di tangannya, kemudian ke laut lepas. "Tidak. Tara nyata. Kematiannya nyata. Tapi, setidaknya, sekarang dia bisa beristirahat dengan tenang."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!