NovelToon NovelToon
Paman, Aku Mencintaimu

Paman, Aku Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Enemy to Lovers
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.

Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30 - Kenyataan Yang Terlalu Nyata

Tari tidak keluar kamar seharian.

Langit Jakarta mendung. Hujan turun perlahan, mengetuk jendela kamarnya seperti ingin menenangkannya. Tapi tidak ada yang bisa menenangkan pikirannya. Tidak saat dunia yang ia kenal berubah dalam satu kalimat.

"Paman..."

Kata itu terngiang-ngiang di benaknya. Menggema, berputar, menabrak dinding pikirannya yang letih.

Ia duduk di ujung ranjang dengan bantal dipeluk erat. Baju yang ia kenakan masih sama seperti semalam. Rambutnya berantakan, matanya sembab. Tapi ia tidak peduli.

Ia sudah melewati fase menangis. Sekarang, yang tersisa hanyalah kehampaan.

Seakan seluruh dunia menutup pintu pada dirinya, meninggalkannya bertarung dengan kekosongan sendiri.

Ketika Mbok Narti mengetuk pintu dan membawakan makan siang, Tari hanya menjawab lirih, “Taruh saja di meja.”

Ia tidak lapar. Tapi ia juga tidak punya tenaga untuk melawan kepedihannya. Ia hanya duduk membatu, mendengar suara hujan dan gemuruh samar dari langit.

Menjelang sore, Mbok Narti kembali. Tapi kali ini ia tidak hanya membawa makanan atau air hangat. Ia membawa sesuatu yang dibungkus amplop putih, sedikit basah di sudutnya karena embun.

"Ini dikirim tadi pagi oleh kurir," kata Mbok Narti pelan, suaranya seperti bisikan di tengah badai.

Tari menerima amplop itu dengan tangan gemetar. Ia tahu siapa pengirimnya bahkan sebelum membukanya.

Gilang.

Dengan napas tertahan, Tari membuka amplop itu. Di dalamnya, selembar surat dengan tulisan tangan yang sangat ia kenal.

“Tari, Aku pergi bukan karena ingin lari. Tapi karena aku takut. Takut menyakitimu lebih dari ini.

Tapi aku tahu satu hal pasti: perasaanku padamu bukan salah.Tapi dunia ini kadang terlalu keras untuk membiarkan dua orang saling mencintai dengan tenang. Aku minta maaf karena membuatmu percaya. Lalu meninggalkanmu.  Tapi mungkin ini satu-satunya cara aku bisa melindungimu... bahkan kalau itu berarti menjauh.Maafkan aku, Gilang.”

Tari menatap surat itu lama, membiarkan setiap kata-kata itu menancap dalam. Matanya panas, dadanya sesak.

Ia membayangkan Gilang menulis surat itu. Mungkin di tengah malam. Mungkin sambil menahan air mata juga.

Ia memeluk surat itu ke dadanya. Membiarkan dirinya larut dalam rasa kehilangan yang tak bisa dijelaskan.

Keesokan paginya, Bu Tirta mengetuk pintu kamarnya.

“Boleh aku masuk?” suaranya terdengar ragu, tidak seperti biasanya.

Tari mengangguk pelan. Ia duduk di kursi dekat jendela, masih mengenakan sweater panjang dan celana kain. Matanya sembab, tapi wajahnya lebih tenang dari kemarin.

Bu Tirta masuk pelan. Duduk di seberangnya.

“Aku tahu kamu hancur, Tar,” katanya. “Tapi kamu juga harus berpikir jernih.”

Tari menoleh, sorot matanya kosong.

“Jernih? Setelah tahu orang yang aku cintai mungkin pamanku sendiri?”

“Makanya aku menjauhkan kalian. Dari awal,” kata Bu Tirta, suaranya melemah. “Karena takut kamu jatuh cinta. Dan sudah terlalu dalam.”

Tari memalingkan wajah ke luar jendela, menatap pohon mangga yang daunnya bergoyang tertiup angin.

“Aku ingin kamu bertemu Harri lagi. Setidaknya beri dia kesempatan.”

Tari menghela napas, panjang dan berat. “Aku tidak punya ruang, Bu Tirta. Tidak sekarang. Mungkin tidak pernah.”

Namun seminggu kemudian, Harri tetap datang. Membawa bunga lili putih dan senyuman yang selalu hangat, seakan ia bisa memperbaiki dunia yang sudah hancur.

“Aku cuma mau tahu kamu baik-baik aja,” katanya. “Kalau kamu mau cerita, aku bisa dengerin. Kalau enggak, aku bisa duduk diem aja.”

Dan benar saja, mereka duduk di teras rumah. Diam. Tanpa banyak bicara. Tapi diam itu... terasa sedikit lebih ringan daripada kesendirian mutlak.

Harri tidak menuntut. Tidak menekan. Ia hanya ada. Menjadi pelarian tanpa sadar.

Malam itu, saat Mbok Narti masuk ke kamar untuk mengambil baju kotor Tari, ia menatap majikannya itu lama, penuh pertimbangan.

“Ada yang ingin saya sampaikan, Mbak,” katanya pelan. “Tentang Mas Gilang.”

Tari menoleh, matanya langsung penuh harap.

“Saya pernah dengar percakapan Bu Tirta dulu. Katanya... surat tentang asal-usul Mas Gilang... bisa jadi bukan dari siapa-siapa. Bisa jadi hanya taktik lama dari almarhum suami beliau.”

Tari merasa jantungnya berdetak lebih cepat.

“Maksudmu... surat itu palsu?”

Rahma mengangguk, meski dengan ragu.

“Saya nggak tahu pasti. Tapi saya tahu satu hal... Mas Gilang selalu setia. Selalu melindungi. Termasuk... Mbak Tari.”

Tari menahan napas, tenggorokannya tercekat.

Ada secercah harapan yang muncul di balik reruntuhan hatinya.

Ia berjalan menuju kamar Gilang yang kosong.

Pintunya masih sama. Gagangnya dingin. Tirai di dalamnya terbuka sedikit, membiarkan cahaya lampu taman masuk samar-samar.

Ia melangkah pelan ke dalam, menatap setiap sudut kamar itu. Masih ada sisa aroma Gilang. Meja kerja yang rapi. Lemari yang tertutup rapat. Dan di atas meja... fotonya. Foto Tari, yang dicetak kecil dan dibingkai sederhana.

Tari menatap foto itu lama, jemarinya menyentuh kaca bingkai dengan getaran kecil.

Lalu ia duduk di ranjang, membuka kembali surat dari Gilang yang ia simpan di saku sweaternya.

Membacanya lagi. Perlahan. Kata demi kata.

 “...perasaanku padamu bukan salah...”

Air matanya jatuh. Membasahi surat di tangannya.

Bersama gumaman kecil dari bibirnya.

“Kalau semua ini dusta... kenapa aku harus kehilangan kamu?”

Hening.

Dan hanya suara hujan malam yang menjawab.

1
Rendi Best
lanjutkan thor🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!