Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Menguntit
Setelah insiden memalukan yang menimpanya, Olivia bergegas meninggalkan ruangan dengan dada membara oleh rasa malu dan amarah yang bercampur aduk. Kepalanya tertunduk, namun langkah kakinya cepat, seolah ingin menjauh sejauh mungkin dari tempat itu.
[Anak itu... Berani-beraninya mempermalukan orang sepertiku!] geramnya dalam hati. Bayangan ekspresi Herald kembali terlintas di benaknya — sorot mata tajam penuh kecurigaan yang seakan-akan merendahkannya.
[Arghhh! Rasanya aku ingin menonjok wajahnya saat itu juga!]
Olivia menggertakkan gigi. Sepanjang hidupnya, belum pernah ia merasa sedemikian terhina, apalagi oleh anak muda seperti Herald. Meski hatinya berontak, dia tahu dirinya tidak bisa bertindak gegabah. Rasa malu itu harus dia telan, dipendam dalam-dalam, seberapa pun pahitnya.
Dengan langkah tergesa, Olivia terus berlari menyusuri koridor hingga akhirnya tiba di depan kamarnya. Ia mengabaikan tatapan bingung dari para penjaga yang berdiri di sisi pintu. Tanpa sepatah kata pun, ia mendorong pintu lebar-lebar, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang.
Bantal empuk segera ia raih dan ditekan keras-keras ke wajahnya, berusaha membungkam raungan kesal yang hampir saja meledak keluar.
Beberapa saat kemudian, perlahan Olivia menurunkan bantal itu, memperlihatkan kedua matanya yang kini menyipit penuh perhitungan. Ada sesuatu yang berputar di kepalanya — rencana kecil yang mulai tumbuh dari bara amarahnya.
[Ini tidak bisa dibiarkan... Aku harus memperbaiki nama baikku. Dan dia — dia harus diberi pelajaran!]
Sebuah ide pun terlintas. Olivia bertekad untuk mencari celah, mengungkap kesalahan Herald — atau lebih baik lagi, sesuatu yang bisa merusak hubungan Herald dengan Clara. Ia tidak peduli seberapa kecil peluangnya, selama bisa membalas penghinaan yang telah ia terima.
Tak membuang waktu, Olivia melompat bangkit dari ranjang, membenahi sedikit penampilannya, lalu melangkah keluar.
Di luar kamar, para prajurit yang masih sempat menoleh karena kepergian mendadak Olivia, kini kembali terperangah. Hanya dalam hitungan menit, pintu kamar terbuka dengan kasar, dan wanita itu melangkah keluar dengan langkah lebar dan ekspresi penuh tekad. Tidak sepatah kata pun terucap dari bibirnya, meninggalkan para prajurit saling berpandangan, bingung dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
[Kurasa aku akan menemukan kesalahan mereka... Cepat atau lambat.]
***
Di Kebun.
Kini Olivia sudah berada di area kebun mansion, bersembunyi di balik salah satu pohon besar di tepi taman. Dari celah daun, matanya tajam mengamati dua sosok yang berdiri di tengah kebun — Herald dan Clara.
Sebelum sampai di sini, Olivia sempat berkeliling mansion, bertanya-tanya dengan para prajurit dan pelayan untuk mengorek informasi tentang keberadaan mereka. Usahanya tidak sia-sia; bisikan seorang pelayan mengarahkannya ke tempat ini.
[Baiklah... Mari kita lihat apa yang kalian sembunyikan. Kuharap ada sesuatu yang menarik,] pikirnya sambil memasang seringai licik.
Dengan sabar, Olivia mengamati setiap gerak-gerik mereka. Beberapa menit berlalu, tapi sayangnya, tidak ada satu pun adegan yang mencurigakan. Herald dan Clara hanya berbincang ringan, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.
Olivia mendesah pelan, menahan rasa bosan yang mulai menggerogoti semangatnya.
[Heh, sungguh membosankan...] pikirnya, matanya hampir saja berputar. [Kalau terus begini, tak akan ada apa-apa yang bisa kupakai untuk membalas orang itu. Mereka hanya berdiri di sana, berbicara seperti dua anak kecil.]
Ia bersandar sedikit ke batang pohon, tangan bersilang di dada, menimbang-nimbang langkah berikutnya. Tapi satu hal pasti dalam pikirannya — ia belum menyerah. Tidak sekarang.
Sesaat, pandangan Olivia teralihkan ketika melihat Herald tiba-tiba melangkah pergi, meninggalkan Clara sendirian di tengah kebun. Olivia segera memusatkan perhatiannya, matanya menyipit penuh kecurigaan.
[Kemana dia pergi...?] pikirnya, matanya mengikuti punggung Herald yang semakin menjauh.
Kini, hanya Clara yang tersisa di antara barisan tanaman yang tertata rapi. Gadis itu tampak membungkuk sedikit, mengelus lembut dedaunan hijau yang tumbuh subur di sana. Olivia terus mengawasi, dan tanpa sadar, ia merasakan sesuatu yang berbeda — ada kesunyian yang menguar dari Clara, berbeda sekali dengan keceriaan sederhana yang ia tunjukkan saat bersama Herald.
Di sela tatapannya yang tajam, secercah ingatan lama menyergap Olivia — begitu cepat dan samar, namun cukup kuat untuk membuat dadanya bergetar. Sebuah potongan kenangan: seorang gadis kecil berambut pirang yang dikelilingi oleh sekelompok orang, dibuli, didesak ke sudut, hingga akhirnya terisak dalam kesendirian.
Sekejap gambaran itu menghilang, layaknya bayangan tipis di tengah kabut. Tapi dalam kebingungan emosinya, tanpa sadar, bibir Olivia bergetar mengucapkan nama yang tak seharusnya terdengar.
"Clara...." bisiknya lirih.
Belum sempat ia menyadari keanehan itu, diam-diam seseorang mendekat dari belakang. Tanpa suara, dengan langkah ringan, sosok itu kini berdiri hanya beberapa jengkal dari tempatnya bersembunyi.
Orang itu — Herald.
Dengan santai, ia meniru gaya Olivia yang mengintip dari balik pohon, lalu berkata seolah-olah mereka hanya dua teman yang sedang berbagi rahasia.
"Hm, dari sini... Clara terlihat begitu jelas, ya."
Refleks, Olivia mengangguk kecil, sepenuhnya larut dalam pikirannya. Namun, kurang dari sedetik kemudian, kesadarannya kembali. Panik melanda. Ia cepat menoleh, dan mendapati Herald berdiri di sebelahnya dengan ekspresi tenang.
"S-Sejak kapan kamu ada di sini?!" serunya, melompat mundur dalam kepanikan.
[Sejak kapan dia bisa berada di sini?! Padahal aku jelas-jelas melihatnya pergi...] pikirnya kalut. Kepalanya berusaha keras mencari penjelasan, dan satu kemungkinan terlintas.
[Apa jangan-jangan...]
Namun sebelum Olivia sempat menarik kesimpulannya sendiri, Herald lebih dulu berbicara, suaranya tenang namun mengandung tekanan tersembunyi.
"Nona Olivia," katanya, menekankan setiap kata. "Apa yang Anda lakukan di tempat seperti ini? Bukankah orang sepertimu seharusnya berada di dalam mansion, di ruang nyaman dan sejuk... bukannya di tempat panas, penuh serangga seperti ini?"
Olivia bergeser mundur, mencari alasan yang bisa menyelamatkan harga dirinya. "A-Apa urusanmu menanyakan itu? Itu bukan urusanmu!" balasnya ketus, berusaha mempertahankan wibawanya.
Herald hanya tersenyum tipis — senyum yang bukan sekadar ramah, tapi lebih seperti senyum seseorang yang sudah tahu lebih dari yang ia tunjukkan.
"Tak masalah jika Anda tidak ingin menjawab," ujarnya santai. "Hanya saja, semenjak tuduhan aneh yang Anda lontarkan kepadaku dan Clara, aku mulai merasa ada yang tidak beres. Dan sekarang... melihat Anda menguntitnya seperti ini, aku tidak bisa menutup mata. Sebagai pengawal pribadinya, aku punya kewajiban untuk melindunginya."
Herald mendekat selangkah, sorot matanya berubah menjadi lebih dingin.
"Pasti Anda sedang merencanakan sesuatu yang buruk untuk Clara, bukan?"
Serangan kata-kata itu membuat Olivia terdiam. Tak ada bantahan yang muncul dari bibirnya. Mulutnya terbuka, seolah hendak berbicara, namun tak ada suara yang keluar selain geram tertahan.
Akhirnya, dengan kemarahan yang memuncak, ia membalas dengan gertakan — satu-satunya senjata yang masih bisa ia andalkan.
"Dasar sialan...! Berani-beraninya kamu menuduhku yang tidak-tidak! Ingat di mana posisimu, Pengawal! Hah?!"
Dia mengangkat dagunya, memainkan status bangsawannya sebagai tameng terakhir.
Namun, yang didapatnya hanyalah pandangan tajam dari Herald. Tidak ada rasa takut, tidak ada keraguan. Hanya ketegasan murni.
"Aku tidak peduli siapa Anda," ujar Herald, suaranya tegas namun tetap terkontrol. "Tapi satu hal yang harus Anda camkan baik-baik — jangan pernah menyakiti Clara. Meskipun Anda adalah kakaknya sekalipun... aku tidak akan membiarkannya."
Suasana di antara mereka menegang, seperti busur yang ditarik hingga batas. Di antara panas matahari dan desiran angin kebun, pertarungan yang tak terlihat mulai membara — bukan dengan pedang, tapi dengan tekad dan niat tersembunyi.
Olivia tersentak, tubuhnya kaku untuk beberapa saat. Baru kali ini dia diperlakukan seperti itu — digertak balik, hingga lidahnya kelu dan pikirannya buntu. Kekalahan telak. Tak bisa berkata apa-apa lagi, Olivia hanya menundukkan kepala, membiarkan bayang-bayang rambutnya menutupi wajahnya yang memerah oleh rasa malu dan amarah. Tanpa sepatah kata pun, dia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Herald yang masih berdiri di tempat.
Herald, yang baru saja mengucapkan ancaman penuh tekanan, kini berdiri termenung, sedikit kebingungan akan reaksi lawannya yang tiba-tiba saja diam dan menghindar.
"Oi, oi, mau pergi ke mana? Oi, tunggu sebentar...!" serunya, mencoba memanggil. Namun, yang ia dapatkan hanyalah punggung Olivia yang menjauh tanpa sedikit pun menoleh.
Dengan nada sedikit keras, Herald menambahkan, "Ingat apa yang aku katakan tadi!"
Setidaknya, ia sudah memperingatkannya. Herald menghela napas panjang, lalu bergumam pada dirinya sendiri, "Heh, sungguh orang yang aneh..."
Tak lama setelah itu, seberkas kesadaran menampar pikirannya — Clara. Ia baru teringat bahwa ia telah meninggalkan gadis itu sendirian di tengah kebun.
"Ah! Aku harus cepat kembali!" katanya panik.
Tanpa membuang waktu, Herald berlari kembali ke arah tempat Clara menunggu. Kekhawatiran menggerakkan langkahnya. Ia tak tahu sudah berapa lama ia menghilang, dan membayangkan Clara mungkin khawatir membuatnya semakin mempercepat langkah.
Begitu tiba, Herald segera memanggil dengan napas sedikit tersengal, "Nona Clara, aku sudah kembali. Maaf membuatmu menunggu lama."
Clara, yang tengah membelai lembut daun-daun tanaman, langsung menoleh dan tersenyum kecil saat melihat Herald datang.
"Oh, Herald, kamu sudah kembali. Mm, tidak apa-apa kok," jawabnya lembut. Lalu, dengan nada ingin tahu, ia bertanya, "Ngomong-ngomong, tadi kamu pergi ke mana?"
Herald menggaruk kepalanya, seolah mencari jawaban yang tidak mencurigakan. "Eh... itu, tidak terlalu penting kok," jawabnya dengan tawa canggung.
Namun, sadar bahwa alasannya terdengar terlalu mengada-ada, Herald segera mengganti topik.
"Oh ya! Mari kita lanjutkan apa yang tadi sempat tertunda sebelum hari semakin siang."
Clara tampak ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Mm, baiklah."
Beruntung, Clara tampaknya tidak mendesak lebih jauh. Herald pun bisa bernapas lega. Sesuai janjinya, ia segera kembali fokus kepada kegiatan mereka. Masih ada beberapa jam sebelum matahari mencapai puncaknya.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan, Herald?" tanya Clara penuh semangat.
"Hmm, apa yah...?" Herald berpura-pura berpikir sejenak, sebelum tersenyum penuh arti. "Oh, aku tahu. Aku yakin kamu akan tertarik dengan yang satu ini."
Clara menatapnya dengan mata berbinar. "Kedengaran menarik! Baiklah, ayo kita lakukan!"
**
Sementara itu, di dalam mansion yang sejuk, Olivia melangkah masuk dengan gerakan serampangan. Wajahnya merah, bukan hanya karena terik matahari yang membakar kulitnya, melainkan juga oleh campuran rasa malu, amarah, dan kekesalan yang bergejolak dalam dadanya.
[Sialan dia! Berani-beraninya memperlakukanku seolah kami setara! Dia pikir dia siapa?!]
Olivia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, berjalan cepat melintasi koridor tanpa mempedulikan tatapan para pelayan.
Namun, di tengah badai emosinya, terlintaslah bayang samar dari apa yang Herald katakan padanya.
"Aku tidak peduli siapa dirimu, tapi ingat, jangan sampai kamu melakukan hal yang buruk kepada Clara, walaupun kamu itu adalah kakaknya. Tolong ingat itu."
Ucapan yang sederhana, namun penuh ketegasan, seolah mewakili seseorang yang mempertaruhkan segalanya demi melindungi orang yang ia sayangi. Sebuah ketulusan yang jarang sekali Olivia lihat... bahkan dalam dunia yang penuh dengan topeng seperti tempat ia berasal.
[Hmph! Aku akan lihat sendiri... apakah semua emang sungguhan atau hanyalah sekedar bualan. Kita lihat aja nanti.]
Jadi, untuk hari ini dia akan mengurungkan niatnya terlepas dari kegagalan yang terjadi pada hari ini. Masih ada hari esok dan esoknya lagi.