Seorang mafia kejam yang menguasai Italia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki sisi gelap serupa dengannya. Mereka saling terobsesi dalam permainan mematikan yang penuh gairah, kekerasan, dan pengkhianatan. Namun, di antara hubungan berbahaya mereka, muncul pertanyaan: siapa yang benar-benar mengendalikan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Don Morelli
Kabar kematian Isabella Ricci menyebar lebih cepat daripada peluru di dunia bawah. Dan bersamanya, muncul satu kenyataan yang mengguncang banyak pihak: Dante Salvatore masih hidup.
Mereka yang selama ini berpesta merayakan “hilangnya” salah satu Raja Bayangan Italia, kini mulai panik. Dan mereka yang selama ini menyimpan dendam, melihat ini sebagai undangan terbuka.
Valeria meletakkan amplop berdarah itu di meja kayu mereka, surat tanpa kata—hanya simbol. Simbol dari keluarga Gavino, salah satu kelompok mafia lama yang dulu hampir dihancurkan Dante.
“Mereka tahu,” katanya datar.
Dante mengambil amplop itu, matanya menyipit. “Dan mereka ingin main.”
Malam itu, mereka kembali ke mode mereka yang dulu: menyusun peta, mencari celah, menyusun strategi. Mereka tahu, ini bukan soal bertahan. Ini soal mengirim pesan ke dunia lama yang berpikir mereka bisa bangkit di atas jasad Dante.
“Kita tidak bisa bersembunyi lagi,” ujar Valeria sambil menyisipkan pisau ke ikat pinggangnya.
“Kita tidak pernah bersembunyi,” balas Dante, menatap matanya. “Kita hanya membiarkan mereka berpikir begitu.”
---
Dua hari kemudian, markas rahasia keluarga Gavino di Napoli meledak dalam kobaran api merah menyala. Tak ada peringatan. Tak ada sisa.
Tiga orang dari keluarga Bartoli ditemukan mati di hotel bintang lima, satu dengan senyum terkunci di wajahnya, yang lain dengan jarum di jantung. Itu tanda khas Valeria.
Dan video pendek tersebar di dark web: Dante duduk di kursi, Valeria berdiri di belakangnya, keduanya menatap kamera dengan satu kalimat—
“Kami kembali.”
Kini, seluruh dunia bawah sadar: permainan belum berakhir.
Valeria dan Dante telah menari kembali ke panggung...
Dan siapapun yang menghalangi—akan menjadi bagian dari simfoni kehancuran mereka.
Keluarga Morelli, yang pernah menjadi sekutu lama keluarga Gavino dan Sekutu dari pembunuh keluarga Valeria, merasa terhina. Ledakan di Napoli tidak hanya menghapus mitra bisnis mereka, tapi juga mencoreng reputasi mereka di mata dunia bawah.
Di ruang bawah tanah vila mereka di Palermo, Don Ernesto Morelli—pria tua yang tampak ringkih tapi menyimpan kemarahan seperti api yang tak pernah padam—menatap layar besar. Di sana, wajah Dante dan Valeria membeku dalam video pendek mereka.
“Dia kembali,” gumamnya pelan. “Dan dia membawa iblis perempuan bersamanya.”
“Perintah, Don?” tanya salah satu anak buahnya.
Don Morelli mengangkat tangannya. “Rekrut siapa pun yang bisa kau temukan. Pembunuh bayaran. Mantan militer. Penjual jiwa. Aku ingin mereka mati. Perlahan.”
---
Di sisi lain, Valeria mencium perubahan udara lebih cepat dari siapa pun.
“Kita diikuti,” katanya pada Dante saat mereka tengah menyamar di pasar tua di Verona.
“Aku tahu,” balas Dante tenang. “Mereka mencoba membuat kita takut.”
“Tapi mereka lupa,” bisik Valeria dengan senyum gila, “rasa takut adalah mainan kita. Don Morelli harus membayar atas kematian keluargaku bukan? ”
--
Malam berikutnya, Dante dan Valeria mendapati markas kecil mereka di Florence dirusak. Salah satu penghubung tepercaya mereka, Matteo, ditemukan mati—tubuhnya tergantung dengan tulisan di dinding:
“Ini baru awal. - M.”
Dante menatap darah itu dengan mata kosong, lalu memandang Valeria. “Ernesto mulai bermain.”
Valeria hanya menjilat bibirnya pelan. “Saatnya kita balas… tapi bukan dengan api. Dengan rasa kehilangan.”
Dante mengangguk. “Kita tidak akan bunuh dia dulu.”
“Tidak,” bisik Valeria. “Kita ambil segalanya dulu. Satu-satu.”
---
Vila Morelli di Palermo berdiri megah di tepi bukit, dikelilingi oleh pagar besi tinggi dan kamera pengawas setiap sudut. Tapi malam itu, kabut menyelimuti tanah, dan dua bayangan menyelinap dari balik pepohonan—sunyi, tepat, mematikan.
Dante bergerak di depan, mengenakan pakaian hitam yang menyatu sempurna dengan gelap. Di tangannya, pisau baja tipis, bukan untuk bertarung… tapi untuk membungkam.
Valeria berada di belakangnya—tenang seperti hantu, tetapi wajahnya penuh gairah. Ini bukan sekadar infiltrasi. Ini adalah permainan. Dan ia menikmati setiap langkahnya.
“Belok kanan, dua penjaga. Aku ambil yang kiri,” bisik Valeria di alat komunikasinya.
“Jangan terlalu menikmatinya,” balas Dante.
“Aku selalu menikmatinya,” jawabnya dengan tawa ringan.
Beberapa menit kemudian…
Darah mengalir di lantai marmer koridor barat vila. Penjaga Morelli bahkan tidak sempat menjerit. Valeria menyelipkan pisaunya kembali ke pinggang dan mencuri salah satu lencana elektronik untuk membuka akses ruang bawah tanah.
Di dalam ruangan utama, Don Ernesto Morelli tengah bersantai, dikelilingi dua wanita muda dan segelas anggur merah. Ia tak tahu, dalam waktu kurang dari lima menit, sejarah hidupnya akan berubah.
Dante menyelinap lewat pintu belakang, dan Valeria dari atas balkon kecil. Mereka bergerak serempak. Saat dua pengawal Don bereaksi, Dante sudah menjatuhkan satu dengan peluru sunyi. Valeria melompat dari atas dan menusuk leher yang lain.
Kini hanya Ernesto tersisa.
“Dante… Valeria,” gumamnya sambil mundur ke dinding, keringat mengalir di pelipisnya. “Kupikir kalian mati di Napoli.”
“Dan itu kesalahan terakhirmu,” kata Dante dingin.
“Tapi… kalian tidak akan berani membunuhku di sini. Polisi, media—”
“Siapa bilang kita akan membunuhmu malam ini?” sela Valeria, mendekat dengan senyum penuh kegilaan.
Dante menoleh dan berkata, “Kami hanya ingin kau tahu… bahwa permainan sudah dimulai. Dan kami sudah berada di dalam rumahmu.”
Mereka tak membunuh Don Ernesto malam itu.
Tapi mereka meninggalkan sebuah pesan yang ditulis dengan darah di dinding ruang tamu:
“Hilang segalanya. Baru kau tahu rasanya.”