Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Between Us
Acara hampir mencapai puncaknya ketika suara riuh kecil terdengar dari salah satu sudut galeri. Beberapa tamu menoleh, termasuk Luna yang saat itu baru saja selesai berbicara dengan kolektor dari Milan.
Seorang anak kecil berusia sekitar lima tahun, berlari tanpa pengawasan dan tersandung tepat di depan salah satu lukisan Luna yang dipajang rendah. Tangan mungilnya tak sengaja menyenggol gelas jus yang ia bawa, membuat cairan merah muda itu tumpah, membasahi sebagian kanvas yang tergantung. Lukisan itu kini ternoda di bagian bawah, warnanya luntur bercampur lengket.
“Astaga!” seru ibunya, buru-buru menarik si anak dan memeriksa lukisan tersebut. “Ya Tuhan, saya minta maaf, sungguh, saya tidak—”
Luna langsung menghampiri, tanpa panik sedikit pun. Ia berjongkok, menatap anak kecil itu yang sudah memanyunkan bibirnya hampir menangis.
“Tidak apa-apa, Sayang,” ucap Luna lembut, mengusap rambut bocah itu. “Kau baik-baik saja?”
Anak itu mengangguk kecil, menatap Luna dengan mata yang membulat bersalah.
“Kalau begitu, tidak ada masalah. Lukisan itu cuma lukisan, tapi kamu jauh lebih penting,” tambahnya sambil tersenyum hangat.
Ibunya menunduk dalam-dalam, wajahnya penuh rasa bersalah. “Saya sungguh tidak tahu harus bagaimana menebus ini. Tolong biarkan saya membayar lukisan itu. Saya tahu ini pasti mahal—”
Luna berdiri, menggeleng cepat. “Jangan. Lukisan itu memang untuk dinikmati, dan kalau pun rusak, itu hanya menambah cerita. Mungkin nanti akan kujadikan inspirasi untuk karya baru.”
“Tapi—”
“Sungguh, saya tidak akan menerima uang untuk sesuatu yang tidak perlu ditebus.” Luna tersenyum lagi, mengarahkan pandangan hangat ke si anak. “Tapi kalau nanti kamu mau menggambar sesuatu bareng aku, aku akan sangat senang.”
Kejadian kecil itu ternyata tak luput dari perhatian salah satu kolektor ternama yang berdiri tak jauh dari sana — pria paruh baya bernama Mr. Rinaldi, yang dikenal tidak mudah terkesan oleh karya maupun seniman baru.
Ia memandangi interaksi Luna dengan tatapan mengamati, lalu mendekat ke salah satu asistennya dan berbisik beberapa perintah.
Tak lama kemudian, saat Luna kembali ke belakang panggung untuk mengecek daftar peminat lukisan, ia tertegun.
“Ini... semuanya terjual?” tanyanya pada salah satu staf.
“Ya, barusan ada pembeli anonim yang memborong semua karya Anda. Ia hanya meninggalkan satu kartu nama dan pesan singkat.”
Luna membuka kartu itu. Di sana tertulis:
> “Seniman sejati tak hanya membuat karya indah, tapi juga memiliki hati yang indah. – R.R.”
Luna menatap kartu itu lama. Senyumnya pelan namun tulus. Malam ini, ia tidak hanya menjual karya, tapi juga menyentuh hati seseorang — dan itu, baginya, jauh lebih berarti.
Luna masih berdiri di balik panggung kecil galeri, menatap deretan space kosong di dinding tempat lukisan-lukisannya tadi tergantung. Sekejap perasaannya mengambang—antara tidak percaya dan bahagia yang tak bisa dijelaskan.
“Kau menatap dinding kosong seperti baru saja kehilangan sesuatu.” Suara bariton yang sangat dikenalnya terdengar dari belakang.
Luna menoleh. Xavier berdiri di sana, dengan setelan jas hitam elegan, satu tangannya memegang dua gelas—yang satu berisi espresso, yang satunya lagi berisi latte.
“Aku malah baru saja mendapatkan sesuatu, mungkin juga kehilangan sebagian kecil darinya.” Luna menyambut gelas latte yang diulurkan Xavier.
“Maksudmu?”
“Seseorang membeli semua lukisanku. Aku… belum tahu harus senang atau takut. Rasanya seperti melepas bagian dari diriku sendiri.”
Xavier menatapnya sejenak, lalu mendekat, membiarkan jarak di antara mereka menjadi nyaris tidak ada. “Itu tandanya kau berhasil menyentuh hati orang lain lewat karyamu. Dan itu, Luna, adalah bentuk keabadian seorang seniman.”
Luna menatap mata Xavier, dan untuk sesaat waktu berhenti bergerak di antara mereka. Lalu Xavier menyelipkan tangan ke saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil berwarna hitam.
“Sebagai bentuk perayaan kecil—dan karena aku tahu kau tidak akan sempat membelikan sesuatu untuk dirimu sendiri.” Ia membuka kotaknya, memperlihatkan sebuah liontin perak berbentuk palet lukisan kecil, dengan batu-batu mungil sebagai cat warna.
Luna ternganga kecil. “Xavier… ini cantik sekali.”
“Itu bukan hadiah biasa. Itu lambang bahwa aku… bangga padamu.”
Xavier sendiri hampir tak bisa menahan sorot bangga dan hangat yang mengalir di matanya.
“Dan mungkin… sedikit ingin menunjukkan pada dunia bahwa kau punya seseorang yang akan selalu jadi pendukung pertamamu.”
Luna menunduk, senyum kecil mengembang. “Kau tahu, kau terlalu manis untuk ukuran seorang dokter dingin yang katanya tidak romantis.”
Xavier mendekat sedikit lagi. “Dan kau terlalu memesona untuk perempuan yang katanya tidak ingin dicintai.”
Suasana antara Luna dan Xavier masih hangat dan intim ketika suara langkah kaki menggema di lorong galeri. Zora muncul, anggun seperti biasa.
Senyumnya mengembang ketika melihat Xavier dan Luna berdiri berdekatan, meski matanya sempat menatap Luna dengan tatapan sulit ditebak.
“Xavier,” panggil Zora pelan namun jelas. “Mama Anet menunggumu. Makan malamnya sudah dipesan.”
Xavier menoleh, sedikit tersentak dari momen pribadinya dengan Luna. “Oh, ya. Aku hampir lupa.”
Luna tersenyum kecil, lalu melangkah sedikit menjauh. “Kau harus pergi. Makan malam keluarga, bukan?”
“Kau ikut?” tanyanya lembut pada Luna, mencoba memberi isyarat bahwa dia ingin Luna menjadi bagian dari malam itu juga.
Namun Luna menggeleng cepat. “Aku rasa tidak. Aku masih harus membereskan beberapa hal di sini. Lagi pula, itu acara keluarga.”
“Luna—”
“Tidak apa,” potong Luna dengan suara yang terdengar lebih ringan dari perasaannya. “Nikmati waktu kalian. Mama-mu sudah menunggu, bukan?”
Xavier masih ingin membujuk, tetapi Luna sudah tersenyum lagi, senyum yang tampak tulus tapi juga penuh batas. Zora ikut tersenyum, kali ini dengan raut yang tidak bisa sepenuhnya disembunyikan—seolah ia lega dengan keputusan Luna.
“Baiklah,” kata Xavier akhirnya, meski nada suaranya merendah. “Tapi jangan pulang terlalu malam.”
“Tenang saja, aku hanya akan ngobrol sebentar dengan tim,” balas Luna.
Zora dan Xavier pun beranjak pergi, meninggalkan Luna sendiri di tengah galeri yang perlahan mulai sepi. Ia menarik napas dalam, lalu menatap kembali ruang pameran yang tadi dipenuhi decak kagum. Kali ini, hening terasa sangat tebal.
Bibir Luna membentuk senyum samar, meski perasaan di dadanya tak seramah wajahnya.
*
Di sebuah restoran fine dining di tengah kota, suasana makan malam begitu hangat dan akrab. Mama Anet duduk anggun di antara Xavier dan Zora. Di hadapan mereka, meja dipenuhi hidangan-hidangan mewah yang disusun rapi.
“Pamerannya sangat cantik,” ucap Mama Anet sembari menyesap wine-nya. “Dan lukisan-lukisan itu… punya emosi yang kuat. Mama bisa merasakannya.”
"Aku setuju, lukisan Luna memang tidak pernah mengecewakan." Sahut Zora.
“Jadi dia… Luna,” lanjut Mama Anet, padahal ia sudah tahu, tetapi seakan kembali ingin memastikan. “Gadis yang sering kau bicarakan itu, Xavier.”
Xavier yang sedang memotong steaknya, menoleh sekilas. “Iya, dia sahabatku,” jawabnya singkat.
“Mama melihatnya sebentar tadi,” imbuh Mama Anet. “Cantik. Tapi ada sesuatu di matanya… yang membuat Mama penasaran.”
Zora menimpali cepat, “Dia memang sedikit tertutup, Ma. Tapi sebenarnya sangat berbakat dan baik hati. Banyak hal tentangnya yang bisa membuat siapa pun mudah menyukai dia.”
Mama Anet tersenyum samar, lalu menatap Xavier dengan tatapan yang sulit ditebak. “Lalu, bagaimana menurutmu, Xav?”
Xavier diam sejenak. Pisau dan garpunya berhenti bergerak.
“Dia berbeda,” jawab Xavier akhirnya. “Dalam cara yang tak bisa aku jelaskan.”
Mama Anet hanya mengangguk pelan, tanpa menanggapi lebih lanjut. Tapi dalam hatinya, ia tahu—nama Luna akan terus muncul. Dan itu membuatnya mulai menyusun banyak pertanyaan.
To Be Continued >>>
semangaaattt ya thor